Selamat Datang Undang-Undang Pelayanan Publik

DPR RI segara mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Publik menjadi undang-undang (UU) pada rapat paripurna mendatang, setelah RUU tersebut mendapat pengesahan dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Rabu (17/6).

Hal ini patut kita syukuri karena pertama, pembahasan RUU ini telah berlangsung lama, sejak tahun 2005, ketika pertama kali RUU masuk ke DPR RI sebagai prioritas legislasi nasional. Kedua, subtansi RUU ini sangat penting karena berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat terkait pelayanan publik dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar. Hadirnya negara dengan segala instrumennya pada prinsipnya adalah untuk melayani warganya. Oleh karena itu, hadirnya UU ini merupakan tonggak bagi perbaikan pelayanan publik di negeri ini, yang harus kita akui masih jauh dari harapan.

Raison d’ etre
Pada hakekatnya, pelayanan publik adalah berbagai aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara berkaitan dengan barang dan jasa publik yang harus disediakan negara. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Meskipun selama 64 tahun bangsa ini telah mengupayakan terwujudnya cita-cita bangsa tersebut, namun bagi sebagian besar kalangan masyarakat cita-cita mulia ini masih jauh dari kenyataan. Rendahnya pelayanan publik di negeri ini telah menghadirkan krisis kepercayaan di tengah masyarakat, sampai-sampai mereka merasakan tidak ada negara dalam kehidupan mereka, kalaupun ada: negara sedang tidur.

Oleh karenanya alasan utama lahirnya UU Pelayanan Publik harus mampu menjawab realitas pelayanan publik yang jauh dari harapan di negeri ini. Realitas pelayanan publik kita antara lain tergambar dari proses yang lama dan berbelit, berbiaya mahal, pelayanan seadanya, sikap pelayan publik yang tidak professional, serta proses penyelesaian sengketa pelayanan yang lama dan cenderung merugikan penerima layanan.

Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik berkat sorotan media secara luas sesungguhnya merupakan fenomena puncak gunung es yang menyembul ke permukaan. Seperti kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni di Serpong Tangerang, lalu muncul kasus dugaan malpraktek medis di rumah sakit yang sama, serta berbagai kasus malpraktek birokrasi yang sering kita dengar dan rasakan sendiri, hal ini merepresentasikan tumpukan persoalan dengan kompleksitas yang tinggi dari minimnya peran birokrasi pemerintah, baik sebagai penyelenggara pelayanan publik secara langsung maupun sebagai regulator.

Realitas pelayanan publik tersebut kita jadikan refleksi serta contoh kasus dalam menyusun pasal demi pasal dalam RUU ini, selain tentu saja kita juga melihat best practice pelayanan publik di sejumlah tempat dan daerah berikut standar-standar pelayanan publik yang berlaku secara nasional maupun internasional. Hasil dari pembahasan tersebut insya Allah sudah tercermin di dalam naskah RUU yang sebentar lagi akan disahkan menjadi undang-undang ini.

Subtansi Penting
Terkait subtansi RUU secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, RUU memberikan defenisi dan ruang lingkup yang jelas terkait pelayanan publik. Pelayanan publik dalam RUU dijelaskan meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Hal ini meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan social, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Lalu siapa penyenggara pelayanan publik yang dicakup dalam RUU ini? Yang menarik, di dalamnya bukan saja mencakup penyedia jasa publik oleh instansi pemerintah, tapi juga oleh badan usaha maupun korporasi yang melaksanakan misi pelayanan publik. Defenisi dan cakupan ini menarik karena menjangkau pelaku pelayanan publik swasta sepanjang yang bersangkutan melaksanakan misi pelayanan publik.

Kedua, RUU memberikan pengaturan yang jelas terkait manajemen organisasi penyelenggara pelayanan publik. Di dalamnya memuat siapa yang bertanggung jawab dan mengkoordinir pelakasanaan pelayanan publik, berikut manajemen pengelolaannya sehingga pelayanan publik memenuhi unsur akuntabilitas publik.

Ketiga, RUU menegaskan hak, kewajiban, dan larangan bagi penyelenggara serta hak dan kewajiban bagi masyarakat. Pelanggaran atas hak, kewajiban, dan larangan tersebut mengandung konsekuensi sanksi yang dirumuskan dalam RUU ini yang dinilai secara cermat akan memberikan efek jera.

Keempat, RUU mengatur jelas dan tegas aspek penyelenggaraan pelayanan publik menyangkut standar pelayanan yang harus dipatuhi dan bagaimana standar pelayanan tersebut dilaksanakan secara konsekuen oleh penyelenggara pelayanan publik. Serta menyangkut pengelolaan pelayanan publik secara umum terkait manajemen informasi, manajemen sarana dan fasilitas, manajemen pelayanan, manajemen biaya dan tarif, manajemen pengaduan, hingga manajemen penilaian dan evaluasi pelayanan publik.

Kelima, RUU menegaskan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik. Partisipasi masyarakat tersebut dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki ruang deliberasi dalam menentukan pelayanan yang mereka inginkan.

Keenam, RUU menjamin hak-hak masyarakat dalam melakukan pengaduan terkait pelayanan publik. RUU memberikan banyak alternatif saluran pengaduan pelayanan publik yaitu langsung kepada penyelenggara dan/atau kepada ombudsman dan/atau kepada dewan perwakilan rakyat sesuai tingkatannya, maupun ke pengadilan jika berupa pelanggaran hukum. Mekanisme pengaduan ke masing-masing lembaga tersebut diatur secara jelas, berikut kewajiban masing-masing lembaga untuk memproses pengaduan dengan tahapan, proses, dan limit waktu yang jelas. Khusus menyangkut lembaga ombudsman, RUU ini memberikan penegasan kewajiban untuk membentuk ombudsman di setiap daerah. Hal ini untuk menjamin pengawasan pelayanan publik hingga ke daerah-daerah.

Dan ketujuh, RUU memberikan sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Jenis-jenis sanksi berupa teguran tertulis, penurunan gaji, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian dari jababatan baik dengan hormat maupun tidak hormat sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan. Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik bisa dikenakan sanksi pembekuan misi dan/atau izin hingga pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Sebaliknya, bagi penerima layanan terdapat ketentuan mendapatkan ganti rugi jika terdapat kerugian sebagaimana diatur dalam RUU ini.

Komitmen Pemimpin dan Aparatur Negara
RUU tentang Pelayanan Publik hanyalah konsep di atas kertas jika pemimpin negara dan aparaturnya tidak memiliki kemauan kuat untuk mengubah kultur birokrasi yang ada. Paradigma birokrasi yang dikembangkan haruslah merupakan paradigma pelayanan. Aparatur negara harus secara tegas menyatakan dirinya sebagai pelayanan masyarakat (civil servant) dan menanggalkan segala kultur aparat atau pejabat yang selalu dan melulu minta dihormati dan dilayani. Kehormatan bagi aparatur adalah ketika mereka mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

RUU Pelayanan Publik telah memberikan aturan yang jelas dan tegas yang diharapkan dapat menjadi panduan (guidance) sekaligus payung hukum bagi siapapun penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan. Pada saat yang sama RUU juga menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik secara baik dan berkualitas. Wallahua’lam.

Baca Selengkapnya......