Buku Revitalisasi Pendidikan Islam



Gagasan dan pemikiran lain tentang bagaimana mengelola Pendidikan Islam di Indonesia. Guru Besar dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof DR Muhammad Amin Suma mengatakan, kehadiran buku ini menambah khazanah perbukuan dalam bidang pendidikan agama Islam dan institusinya, juga insya Allah memberikan tambahan informasi dan wawasan tentang madrasah dan pesantren yang selama ini masih dirasakan kurang sosialisasinya ditengah-tengah masyarakat luas.

Baca Selengkapnya......

Akses Pendidikan Perempuan Banten

Bila merujuk kepada data GDI (Gender Development Index), ranking negara Indonesia cukup memprihatinkan. GDI mengukur bagaimana kualitas hidup perempuan dan dijadikan acuan untuk menentukan maju tidaknya kualitas hidup perempuan di suatu negara.

Sayangnya, Indonesia masih perlu mengejar berbagai keter­tinggalan. Ranking GDI Indonesia adalah 0.721 atau masuk ranking ke 79 dari 156 negara atau di bawah negara Honduras dan Bru­­nei Darussalam. Sangatlah jelas dari ranking GDI, perem­puan Indonesia masih tertinggal di berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan representasi politik dan pemerintahan. Perempuan Indo­nesia lebih miskin dan memiliki tingkat buta huruf yang lebih tinggi dari laki-laki Indonesia.
Penyandang buta aksara di Indonesia menurut data Kemen­diknas sebagian besar adalah pe­rem­puan, yaitu 63% dari 7,7 juta penyandang buta aksara. Data buta aksara ini ternyata mem­punyai pola yang sama dengan penduduk yang tidak pernah sekolah. Dengan kata lain jumlah perempuan yang belum pernah mengenyam pen­didikan formal lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Data susenas 2003 me­nunjukan bahwa penduduk perempuan usia 20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah se­kolah jumlahnya dua kali lipat pen­duduk laki-laki (11,56% berbanding 5,43%).
Propinsi Banten yang jumlah penduduknya lebih dari 8 juta jiwa dan lebih dari 95% dari jum­lah tersebut mayoritas ber­agama Islam, memiliki sumber daya manusia yang potensial untuk dikembangkan terutama kaum perempuannya. Akan te­tapi berdasarkan data Disdik Propinsi Banten, tahun 2008 pe­nyandang buta aksara di Propinsi Banten mencapai angka 226.762, dan berada di urutan 10 besar penyandang buta ak­sara nasional. Karena dari sekitar 11 juta penduduk Indonesia pe­nyandang buta aksara pada tahun 2006-2007, terdapat sekitar 3,3 % berada di Banten. Sem­entara data lain menyebutkan, jumlah penyandang buta aksara usia 15 tahun ke atas di Propinsi Banten pada tahun 2006 itu mencapai 305.677 orang, terdiri atas 96.668 laki-laki dan 208.502 perempuan. Pada tahun 2008 lalu masih berkisar 300.041 orang.
Kemajuan pembangunan bangsa dan negara tak bisa dilepaskan dari peran serta perempuan, terutama para ibu. Sayangnya, tingkat pendidikan perempuan di Banten juga masih cukup rendah. Angka Partisipasi Sekolah di Propinsi Banten pada tahun 2008 untuk usia 7-12 tahun laki-laki: 97,37% perempuan: 97,99%. Usia 13-15 tahun, laki-laki:81,88% perempuan 79,22%, usia 16-18 tahun laki-laki: 52%, perempuan: 46,96%. Sedangkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi tahun 2008, laki-laki: 14,38% perempuan: 11,79%.
Dari data tersebut dapat di­simpulkan bahwa rata-rata pendidikan perempuan di Banten SD-SMP. Semakin tinggi usia perem­puan maka angka partisipasi sekolahnya semakin rendah dibandingkan dengan laki-laki.


Urgensi Pendidikan Perempuan
Di Indonesia sebetulnya pen­didikan perempuan sudah dimulai sejak perjuangan RA Kartini di Jepara, Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Mereka bercita-cita mem­beri bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti. Karena perempuan yang nantinya akan menjadi seorang ibu merupakan pusat pendidikan yang menentukan masa depan bangsa. Peranan ibu sebagai pendidik pertama dan utama sangat strategis dalam membina dan menyiapkan komunitas baru yang baik lagi kuat, serta meretas kader ke­pe­mimpinan masa depan yang memiliki integritas watak dan pri­­badi yang bermoral, keta­jaman intelektual dan kreativitas yang tinggi, serta memiliki jiwa leadership yang mantap dan penuh percaya diri.
Untuk melakukan tugas yang mu­lia ini, seorang perempuan di­tuntut untuk menjadikan diri­nya seorang pendidik yang han­dal dan bertanggung jawab, se­­­rta mempunyai ilmu yang memadai. Bagaimana perempuan dapat mengemban amanah ini jika dirinya sendiri tidak terdidik?
Banyak anak perempuan yang tidak memiliki akses untuk sekolah terbukti dengan rendah­nya angka partisipasi pendidikan bagi kaum perempuan. Kenya­taan empiris bahwa masih banyak perempuan yang hanya lulusan pen­didikan dasar dan tidak melan­jutkan ke pendidikan me­nengah atau bahkan pendidikan tinggi merupakan ironi tersendiri.

Penyebab Rendahnya Tingkat Pendidikan
Ada banyak hal yang menye­babkan tingkat pendidikan pe­rem­puan rendah. Bukan semata-mata karena ketidakmampuan menjangkau biaya pendidikan, melainkan juga karena kurangnya akses serta pengaruh lingkungan keluarga. Beberapa penyebab di­antaranya:
Pertama, distorsi pemahaman ten­tang tinjauan teologis bahwa pe­rempuan adalah bagian dari lelaki. Lelaki lebih superior se­men­tara perempuan lebih inferior. Padahal dalam Islam, hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sama dalam hal menuntut ilmu dan meng­amalkannya.
Kedua, tinjauan sosiologis dan budaya, bahwa perempuan lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Sehingga perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya akan mengurus anak dan rumahnya. Jika kita ban­dingkan dengan perempuan Ko­rea, mereka berpendidikan tinggi bukan hanya untuk bekerja atau mengejar karir. Tapi lebih di­karenakan agar mereka dapat men­didik anak-anaknya dengan le­bih baik dan mempunyai ke­hidupan yang lebih berkualitas.
Ketiga, tinjauan ekonomi, ba­nyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, ka­rena ketidakmampuan eko­nomi. Orang tua yang berkemam­puan ekonomi lemah lebih memilih mengajak anaknya bekerja. Kalaupun di sekolahkan, akan diutamakan anak laki-laki karena dianggap nantinya akan me­nanggung hidup keluarganya.

Perluas Akses Pendidikan
Selain lewat bangku sekolah (for­mal maupun pendidikan lu­ar sekolah), perluasan akses pen­­­didikan perempuan bisa di­dapatkan melalui kelompok-kel­ompok kegiatan, seperti PKK, Majelis Taklim, Sanggar Belajar, Ka­rang Taruna, dsb. Lewat kel­ompok semacam ini, para perem­puan dapat mengem­bangkan berbagai pengetahuan dan ke­terampilan. Selain kemampuan dasar seperti membaca dan berhitung juga keterampilan seperti menjahit, memasak, yang nantinya pun bisa dijadikan sebagai penyokong ekonomi keluarga. Kegiatan-kegiatan nonformal dapat memanfaatkan gedung sekolah regular yang difasilitasi pemerintah. Dan ha­rus merata sampai ke daerah ter­­pencil. Sehingga tidak ada ala­san lagi bagi perempuan untuk tidak mengenyam pendidikan.
Dari berbagai penyebab dan feno­­mena pendidikan perem­puan di provinsi Banten khusus­nya dan Indonesia umumnya, maka pemerintah harus me­ning­katkan dan memperluas akses pendidikan bagi perem­puan. Tidak hanya dengan menjamin kalangan tidak mam­pu untuk sekolah gratis namun juga harus ada kemu­dahan dalam menda­pat­­kan pendidikan gratis ter­sebut. Pemerintah juga seharus­nya memberikan sosialisasi akan pentingnya pendidikan bagi seluruh rakyat dengan tidak membeda-bedakan antara pe­rempuan dan laki-laki. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua dan merupakan hak­ setiap warga negara tidak ter­­kecuali perempuan. Perem­puan terdidik akan melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Dengan momen Per­ingatan Hari Pendidikan pada ta­nggal 2 Mei 2011 ini dan hanya ber­selang sepuluh hari dari Per­ingatan Hari Kartini 21 April 2011 yang lalu, marilah kita me­ning­katkan dan memperluas akses pendidikan bagi perem­puan Banten dan Indonesia.



Media : Koran Radar Banten
Edisi : Senin, 2 Mei
Rubrik: Wacana Publik











































































































































































































































































































































































































youtube video converter, limewire

Baca Selengkapnya......

Birokrat Harus Melayani

Baca Selengkapnya......

Sinergi Atasi Kemiskinan





Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi VIII DPR/Fraksi PKS

Pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi Millennium Development Goals (MDG’s), yang antara lain menegaskan komitmen internasional untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (29 – 14,5% atau 1,2 triliun menjadi 890 milliar).

Indonesia termasuk di dalamnya dan terikat dengan komitemen tersebut. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Indonesia pada tahun 2009 sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%). Angka ini cukup tinggi dan bukan perkara mudah untuk menurunkannya, apalagi di tengah persoalan-persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang aktual. Perlu upaya kolektif bukan hanya di kalangan pemerintah tetapi seluruh komponen masyarakat.

Regulasi Penanganan Kemiskinan

Di tengah upaya pemerintah untuk mereduksi angka kemiskinan di atas, DPR RI mengambil insiatif dan mengusulkan RUU tentang Penanganan Fakir Miskin dan RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (ZIS). Dua RUU tersebut akan segera dibahas bersama pemerintah pada masa sidang II tahun 2010/2011 ini.

Kedua RUU memiliki pijakan analisis masalah dan argumentasi yang relatif sama yaitu upaya untuk mensejahterakan rakyat yang tergolong fakir miskin atau kurang mampu harus memiliki grand design, komitmen dan konsistensi kebijakan (pro poor), yang diwujudkan dengan dukungan kelembagaan (anggaran, sdm, manajemen) yang kuat. Kedua RUU juga memiliki landasan konstitusional yang berhimpitan yaitu Pasal 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – selain Pasal-Pasal terkait lainnya – yang mengamanatkan perlindungan dan penyejahteraan fakir miskin.

Berdasarkan analisis evaluatif terhadap penanganan fakir miskin selama ini, kedua RUU menilai aturan, kebijakan, kelembagaan, dan program yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun lembaga non-pemerintah selama ini belum efektif untuk mengentaskan kemiskinan secara terukur dan sistematis, sehingga diperlukan penguatan dan perbaikan dalam sejumlah aspek.

RUU Penanganan Fakir Miskin

RUU Penangan Fakir Miskin menilai kebijakan pro-poor belum didukung dengan anggaran, program, dan kelembagaan yang kuat. Oleh karena itu, RUU berharap pemerintah serius untuk mengalokasikan anggaran serta mewujudkan program yang terukur dalam rangka pengentasan kemiskinan. RUU juga berharap ada satu kelembagaan yang bekerja secara sistematis, koordinatif, dan efektif dalam mengentaskan kemiskinan.

Faktanya selama ini, anggaran dan kebijakan pengentasan kemiskinan tersebar di banyak kementerian dan lembaga. Berdasarkan inventarisasi pemerintah ada 20 kementerian/lembaga yang memiliki anggaran dan kebijakan pengentasan kemiskinan. Sayangnya hal tersebut tidak didukung dengan pola koordinasi yang sistematis sehingga kebijakan pengentasan kemiskinan berjalan secara efektif. Yang terjadi kebijakan dan dukungan anggaran bersifat parsial dan cenderung karikatif karena tidak adanya grand design penanganan kemiskinan.

Pemerintah menyadari permasalahan tersebut ketika awal tahun 2010 membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden. TNP2K dibentuk sebagai upaya menyusun desain kebijakan yang integratif, terpadu, dan komprehensif dalam program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah. Namun tim ini hanya bersifat koordinatif dan bukan merupakan leading actor yang kuat dan eksekutorial dalam menjalankan kebijakan dan program penanganan kemiskinan. RUU Penanganan Fakir Miskin menginginkan adanya kelembagaan yang kuat sehingga dapat menjalankan kebijakan penanganan kemiskinan yang kongkrit dan terukur.

RUU Pengelolaan ZIS

RUU Pengelolaan ZIS bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan zakat, infak, dan shodaqoh. Dalam kerangka yang lebih luas, RUU bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. RUU Pengelolaan ZIS menilai potensi umat Islam dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqoh, sebagai bagian dari kewajiban dan anjuran agama Islam, dapat menjadi instrumen yang medukung upaya untuk memajukan kesejahteraan umum dan pengentasan kemiskinan jika dikelola secara profesional.
Perhitungan yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menunjukkan bahwa potensi zakat umat Islam bisa mencapai 9 trilyun per tahunnya. Bahkan hasil kajian Pusat Bahasa Budaya UIN (PBB UIN) menegaskan pertahun zakat bisa terhimpun sebanyak 19 trilyun. Potensi dana yang demikian besar harus dipungut dan disalurkan secara profesional agar nyata hasil gunanya. Namun sayangnya, riil penerimaan zakat masih jauh dari potensinya (800 Milyar – 1,5 Triliun versi Baznas). Di sisi lain, pendayagunaan ZIS oleh lembaga-lebaga Amil masih diragukan efektifitasnya dalam mewujudkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan.

Banyaknya lembaga sosial penerima dan penyalur ZIS merupakan potensi sumber daya umat Islam dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam persepektif ini mereka adalah mitra pemerintah guna menumbuhkan kesetiakawanan dan kesadaran berbagi/memberikan pertolongan kepada sesama. Namun lembaga-lembaga sosial tersebut harus dipayungi dengan regulasi yang kuat dan profesional sehingga tujuan sosial kewajiban dan anjuran zakat, infaq, dan shodaqoh dapat terpenuhi dengan baik.
Oleh karena itu, RUU merekomendasikan kelembagaan yang profesional dan mandiri dalam pengelolaan ZIS, yaitu dengan memisahkan kelembagaan yang memiliki kewenangan sebagai regulator dan supervisor dan lembaga yang memiliki kewenangan penghimpunan dan pengelolaan. Lembaga-lembaga penghimpun dan pengelola ZIS harus memiliki kualifikasi profesional tertentu dan dievaluasi secara periodik terkait efektifitas kinerja dalam melaksanakan program pengelolaan ZIS.

Sinergi

Muatan RUU Penanganan Fakir Miskin dan RUU Pengelolaan ZIS dapat disinergikan sebagai upaya untuk mengefektifkan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan nasional. Sinergi dapat diwujudkan dalam bentuk pengaturan yang memungkinkan koordinasi dan konsolidasi sumber daya, berupa sumber daya manusia, dana, perumusan program, dan manajemen pengelolaan program.

Koordinasi dan konsolidasi juga penting dilakukan dalam hal data kemiskinan dan peta program/bantuan. Selama ini pemerintah berjalan dengan data-data resmi sementara lembaga-lembaga sosial menghimpun dan mempresentasikan datanya sendiri berdasarkan hasil penelitian yang mereka lakukan secara mandiri. Ketidaksatuan peta program/bantuan menyebabkan program/bantuan kemiskinan tidak merata dan seringkali mengalami redundansi dan overaleaping sehingga tidak akan efektif.

Koordinasi dan konsolidasi sumber daya dapat dilakukan dengan menekankan peran aktif pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi program-program peningkatan kapasitas kelembagaan lembaga-lembaga sosial, khususnya lembaga penerima dan pengelola ZIS. Selain itu, perlu aturan yang memungkinkan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial dapat melakukan kerjasama pemberdayaan masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, perlu diberikan ruang bagi lembaga-lembaga sosial untuk dapat mengakses dana dan program pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat, baik dalam bentuk block grant maupun specific grant. Pemerintah dapat memberdayakan lembaga-lembaga sosial sebagai pelaksana atau fasilitator program di lapangan. Dengan sinergi tersebut, diyakini potensi kemandirian masyarakat dapat terhimpun sekaligus dapat mengefektifkan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan nasional.

(diterbitkan Republika)

Baca Selengkapnya......

RUU Fakir Miskin




Anggaran kesejahteraan/pengentasan kemiskinan secara agregat di dalam APBN 2009 kurang lebih mencapai Rp66 triliun. Anggaran tersebut akan naik pada alokasi APBN 2010. Filantropi yang dikumpulkan oleh umat Islam melalui kewajiban zakat, infak, sedekah (ziswaf) secara aktual mencapai lebih dari Rp 348,9 miliar/per tahun (Baznas, 2008). Secara potensial jauh lebih besar, bahkan hitungan kasarnya bisa mencapai Rp 10-20 triliun. Umat agama lain memiliki tuntunan yang sama dalam menumbuhkan kedermawanan sosial pemeluknya, dengan jumlah dan besaran yang bervariasi. Berapa dana corporate social responsibility (CSR) yang berhasil disisihkan oleh perusahaan di negara ini? Tidak ada data pasti, tapi diyakini jumlahnya ratusan miliar hingga puluhan triliun.

Apa yang bisa dicerna dari paparan potensi aktual dana pengentasan kemiskinan di atas? Adalah fakta bahwa dana yang berhasil dihimpun dan difokuskan untuk upaya penanggulangan kemiskinan jumlahnya cukup besar, dan jumlah tersebut hanyalah hitungan di atas kertas. Artinya, secara potensial masih sangat besar dana yang bisa dihimpun untuk mengatasi kemiskinan.

Persoalannya, mengapa kemiskinan tetap menggejala di mana-mana? Lembaga resmi se-macam Badan Pusat Statistik (BPS) secara reguler melansir angka kemiskinan yang tren-nya memang menunjukkan penurunan, tetapi fakta lapangan menunjukkan begitu ba-nyak kelompok masyarakat miskin yang tak tersentuh tangan negara. Pun demikian, tidak banyak informasi yang merilis kesuksesan program pengentasan kemiskinan dengan indikator yang jelas: perubahan status kelompok masyarakat miskin menjadi sejahtera sehingga angka kemiskinan menurun drastis. Apa yang salah?

Tingginya angka kemiskinan Indonesia memberikan kontribusi pada rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia. Laporan United Nations Development Program (UNDP) terkait Human Development Index-HDI (Indeks Pembangunan Manusia-IPM), Indonesia menempati posisi ke-108 dari 177 negara di tahun 2007 dengan IPM 0.728, yang masuk kategori menengah.

Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan pengentasan kemiskinan melalui berbagai kebijakan, yang dapat dikelompokkan menjadi lima macam program. Pertama, program pelayanan dasar berupa (1) peningkatan akses dan kualitas pendidikan melalui BOS serta kejar paket, (2) peningkatan layanan kesehatan melalui askeskin dan jamkesmas, (3) peningkatan infrastruktur dasar bagi masyarakat miskin melalui penyediaan rumah dan perbaikan lingkungan kumuh. Kedua, program perlindungan sosial yang ditujukan pada keluarga atau komunitas miskin melalui bantuan langsung tunai (15LT), program keluarga harapan (PKH), dan bantuan kelompok usaha bersama (KUBE).
Ketiga, program penanganan masalah gizi dan pangan melalui kebijakan raskin, posyandu, dan pemenuhan gizi anak. Keempat, program perluasan kesempatan usaha melalui pemberian dana bergulir, lembaga keuangan mikro (LKM), dan kelompok usaha bersama (KUBE). Kelima, program yang bersi fat pemberdayaan, seperti PNPM, program pengembangan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK), serta program pembangunan infrastruktur perdesaan (PPIP).

Uraian tersebut menunjukkan bahwa banyak kebijakan dan program yang telah dilakukan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, tentu saja disertai pendanaan yang tidak sedikit. Digabungkan dengan upaya swasta dan dunia usaha melalui program CSR-nya serta program bantuan dan pemberdayaan oleh lembaga-lembaga swadaya dan lembaga nonprofit (pengumpul ziswaf dan filantropi lainnya).

Lalu, apa urgensi pembentukan RUU tentang Fakir Miskin atau RUU Kemiskinan, yang masuk dalam daftar Prolegnas 2010 dan kini tengah dibahas di DPR RI? Bukankah semakin banyak undang-undang semakin menambah beban koordinasi dan integrasi kebijakan kemiskinan, apakah UU yang ada tidak memadai, dan apakah RUU ini memiliki manfaut nyata dalam upaya pengentasan kemiskinan?

RUU Fakir Miskin harus dibaca dalam spirit untuk menata guna semua upaya dan potensi pengentasan kemiskinan, yang kini telah berjalan berikut kerangka perbaikannya di masa datang. Kehingga, arsitektur pengentasan kemiskinan Indonesia dapat tergambar dengan jelas. Karena itu, RUU ini harus diarahkan menjadi semacam UU Payung (umbrella rule) yang mengintegrasikan berbagai regulasi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan nasional, tidak hanya yang dijalankan oleh pemerintah (pusat dan daerah), tetapi juga harus mampu mengafirmasi kedermawanan sosial yang dihimpun dari swasta/dunia usaha dan masyarakat.

Untuk tujuan di atas, RUU harus menggariskan desain arsitektur penanggulangan kemiskinan nasional sehingga jelas arah, paradigma, konsep, kebijakan, dan strategi yang komprehensif dan integratif. Selanjutnya, RUU harus menegaskan satu pintu kebijakan perianggulangan kemiskinan nasional sehingga lini yang menjadi leading actor kebijakan menjadi jelas dan tegas. RUU juga penting secara imperatif menetapkan porsi minimal anggaran kesejahteraan/pengentasan kemiskinan dalam APBN dan APBD, Porsi ini penting untuk melakukan akselerasi/percepatan penurunan angka kemiskinan, Tahap awal penetapan minimal anggaran ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan anggaran program kesejahteraan/pengentasan kemiskinan yang sekima ini berada di lintas sektor/departemen/lembaga.

Media : Harian Republika
Edisi : Kamis, 6 Mei 2010
Rubrik :Opini, Hal : 4

Baca Selengkapnya......

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan




KEMISKINAN menjadi salah satu isu internasional utama yang menjadi perhatian pemerintahan di berbagai belahan dunia. Isu ini menjadi semakin penting sejak 189 anggota PBB menyepakati Millennium Development Goals (MDG's) tahun 2000, yang antara lain menegaskan komitmen internasional untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (29 -14,5% atau 1,2 triliun menjadi 890 milliar). Hal ini diperkuat dalam World Summit on Sustainable Development tahun 2002 yang menegaskan penanggulangan kemiskinan sebagai agenda prioritas dalam pembangunan.

Merespon target MDG's tersebut berbagai paket kebijakan dan program penanggulangan kemis-kinan dicetuskan oleh Pemerintah. Dasar pijaknya tentu saja tinggi-nya angka kemiskinan Indonesia. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir, angka kerniskinan Indonesia pada tahun 2009 sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%), mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 34.96 juta (15%).

Tingginya angka kemiskinan tersebut memaksa pemerintah untuk melakukan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan. Pada awal tahun ini, pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). TNP2K dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Wakil Presiden Boediono sebagai Ketua, didampingi Menko Kesra dan Menko Perekonomian. masing-masing sebagai Wakil Ketua. Serta menteri-menteri/kepala lembaga terkait sebagai anggota. Tim ini bertanggung jawab kepada Presiden.

Pembentukan TNP2K cukup memberikan optimisme karena didasari argumentasi untuk mengatasi kelemahan yang dikandung oleh kebijakan dan program pengentasan kemiskinan selama ini. Kelemahan tersebut adalah tidak adanya desain kebijakan yang integratif, terpadu, dan komprehensif dalam program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah.

Tertera jelas dalam dokumen pembentukannya, tugas TNP2K mencakup titik-titik lemah kebijakan kemiskinan selama ini, yakni: (1) menyusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; (2) melakukan sinergi melalui sinkronisasi,harmonisasi, dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan di kementerian/lembaga; (3) melakukan pengawasan dan pengendalian peiaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan.

Upaya mensinergikan dan mengintegrasikan program-program kemiskinan menjadi catatan penting yang harus dilakukan pemerintah karena selama ini program dan anggaran pro-fakir miskin (pro poor) tersebar di berbagai kementerian/lembaga dan dijalankan secara sektoral/parsial. Melalui TNP2K pemerintah memang telah mengkategori program-pro¬gram pengentasan kemiskinan yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga, akan tetapi masih pedu menunggu langkah kongkrit sinergitas program-program yang ada di lapangan sehingga efektif mengangkat harkat dan martabat fakir miskin.

Berdasarkan tujuan dan sasarannya, terdapat 5 kelompok program penanggulangan kemiskinan pemerintah SBY. Pertama, program pelayanan dasar berupa (1) peningkatan akses dan kualitas pendidikan meialui BOS, kejar paket, dll, (2) peningkatan layanan kesehatan melalui askeskin, jamkesmas, dll. (3} peningkatan insfrastruktur dasar bagi masyarakat miskin meialui penyediaan rumah, perbaikan lingkungan kumuh, dll. Kedua, program perlindungan sosial yang ditujukan pada keluarga atau komunitas miskin melalui bantuan langsung (BLT), program keluarga harapan (PKH). bantuan kelompok usaha bersama(KUBE),dll.

Ketiga, program penanganan masalah gizi dan pangan melalui kebijakan raskin, posyandu, pemenuhan gizi anak. dll. Keempat, program perluasan kesempatan usaha melalui pemberian dana bergulir, lembaga keuangan mikro (LKM), kelempok usaha bersama
(KUBE), dll. Kelima, program yang bersifat pemberdayaan seperti PNPM, program pengem-bangan daerah teringgal dan khusus (P2DTK), program insfrastruktur perdesaan (PPIP), dil. Pertanya-annya, apakah klasifikasi program tersebut telah sinergis, efektif, dan tepat sasaran dalam mengatasi problem kemiskinan di lapangan?

RUU FAKIR MISKIN

Merangkum berbagai pertanyaan dan permasalahan dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan tersebut di atas, DPR RI mengambil inisiatif untuk mengajukan RUU tentang Fakir Miskin. RUU ini telah disetujui masuk dalam daftar Prolegnas 2010, dan kini pembahasannya telah dimulai. RUU ini dapat dimaknai sebagai komitmen DPR (dan Pemerintah) untuk memperkuat kerangka kebijakan percapaian penanggulangan kemiskinan nasional,

RUU Fakir Miskin - dalam perkembangan pembahasan di DPR akan diubah judulnya menjadi RUU Percepatan Penanggulangan Kemiskinan - harus dibaca dalam spirit untuk menataguna semua upaya dan potensi pengentasan kemiskinan nasional sehingga memiliki landasan hukurn yang kuat. RUU ini diarahkan menjadi semacam UU Payung (umbrella rule) yang mengintegrasikan berbagai regulasi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan nasional.

RUU menggariskan desain arsitektur penanggulangan kemiskinan nasional meliputi arah, paradigma konsep, kebijakan, dan strat yang komprehensif dan integral RUU akan menegaskan satu lembagaan nasionai yang menj koordinator dan integrator kebijakan penanggulanan kemiskii nasional sehingga terjadi sinerg dan kepaduan antar sektor kebijakan.

RUU juga penting secara imperatif menetapkan porsi minimal anggaran kesejahteraan/pengentasan kemiskinan dalam APPN dan APBD. Porsi anggaran pro poor ini penting dalam rangka percepatan penurunan angka kemiskinan. Tahap awal penetapan minimal anggaran ini bisa dilakukan dengan mengintegrasi anggaran program kesejahteraan; pengentasan kemiskinan yang selama ini berada di lintas sektor departemen, lembaga.

Terakhir. yang tak kalah penting RUU membangun mekanisme efektif untuk mengintegrasi: program-program berbasis kedermawanan sosial yang dikelola swasta/dunia usaha dan masyarakat ke dalam arsitektur penanggulangan kemiskinan sional. Dengan semua itu. UU Fakir Miskin nantinya diharapkan dapat menjadi payung hukum kuat dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan.


Jazuli Juwaini, Anggota Komisi VIII DPR RI

Media : Harian Radar Banten
Edisi : Rabu, 26 Mei 2010
Rubrik: Wacana Publik, Hal : 2

Baca Selengkapnya......

Bermacam Alasan Ongkos Naik Haji HarusTurun

Rabu, 16 Juni 2010


Rapat panitia kerja biaya perjalanan ibadah haji {BPIH)antara Komisi VIII dan pemerintah mengalami deadlock dan gagal menentukan BPIH 2010 sesuai jadwal. Biaya naik haji yang sedianya diketok 9 Juni disepakati mundur sampai maksimal tanggal 15 Juni yang akhimya terlewati juga. Sudah menjadi informasi publik bahwa alasan deadlock karena tidak bertemunya aspirasi DPR yang menginginkan biaya naik haji turun USD 150-200. Sementara di pihak lain pemerintah mengajukan proposal biaya naik, haji naik USD 133 dari 2009.

Mengapa Harus Turun?

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2008, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya pemerintah membangun perangkat sistem dan kebi jakan mulai dari pendaftaran, penyediaan fasilitas, hingga pembinaan bagi calon jamaah haji. Pada praktiknya banyak kritik yang dialamatkan terhadap sistem dan kebijakan yang dilaksanakan Kementerian Agama selama ini, utamanya dalam pengelolaan dan efisiensi dana haji.

Sistem pendaftaran melalui Siskohat menganut prinsip first come first served arahnya sudah tepat, tetapi tidak jelas dan tidak transparan dalam memberikan informasi pemanfaatan dana setoran haji serta pemanfaatan dana abadi umat.Dari dana setoran awal saja dengan perhitungan Rp20 juta dikalikan 1.073.996 juta orang, dalam waiting list (Data Kementerian Agama per 3 Mei), saat ini telah terhimpun lebih dari Rp20 triliun. Nominal ini tentu harus ditambahkan perolehan dari jasa dan bagi hasil dari bank penerima setoran.

Sejak April 2009 menteri agama menginvestasikan sebagian besar dana haji dan DAU melalui instrumen surat berharga syariah negara (SBSN) atau lebih dikenal dengan sukuk. Dasar invesiasi tersebut "hanya" berupa MoU antara menteri agama dan menteri ke-uangan. Sukuk memang memberikan imbal jasa yang jauh lebih besar(kisaran 7,6-8,5%)daripada deposito atau instrumen bank lainnya (yang hanya berkisar 5%).

Berdasarkan data Kemenkeu per Mei 2010 jumlah dana haji dan DAU yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk mencapai Rp7,592 triliun.Dari dana tersebut, imbal jasa yang telah diperoleh Kementerian Agama sebesar (netto) Rp205,2 miliar, Dengan dana sebesar itu semestinya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menurunkan biaya haji dan meningkatkan pelayanan, Faktanya ongkos naik haji terus naik tiap tahun, sementara masalah pelayanan selalu berulang: berkutat di soal pemondokan, transportasi, dan katering.

KPK dalam presentasinya di hadapan Komisi VIII menemukan indikasi inefisiensi ratusan miliar dalam pengelolaan dana haji,Dana sebesar itu tidak dikelola dengan prinsip manajemen dan akuntansi yang memadai. Kementerian Agama semestinya memiliki treasury yang kuat didukung sumberdaya manusia yang memahami manajemen dan akuntansi keuangan yang handal dan profesional. Mengacu pada kajian KPK (Januari 2009-Maret 2010) ditemukan fakta SDM pengelola dana haji Kementerian Agama tidak memadai, prinsip pencatatan keuangan tidak akuntabel karena tidak sesuai standar akuntansi keuangan yang lazim, serta tidak ada prosedur standar tentang pengelolaan dana dan pelayanan minimum.

Jika fakta tersebut dijawab dengan baik oleh Kementerian Agama, efisiensi BPIH sangat mungkin dilakukan. Dana optimaiisasi dapat memberikan kontribusi bagi penurunan ongkos naik haji dan perbaikan pelayanan sekaligus. Untuk itu, segera setelah Panja BPIH menetapkan BPIH 2010, Komisi VIII akan segera membentuk Panja Haji yang salah satu butir rekomendasinya adalah pembentukan RUU tentang Pengelolaan Dana Haji.

RUU Pengelolaan Dana Haji akan menegaskan sislem pengelolaan dana haji yang profesional dan akuntabel didukung oleh kapasitas SDM yang memenuhi standar dan memadai. RUU juga mengafirmasi kebutuhan untuk mengoptimalkan dana haji dan DAU melalui instrurnen investasi yang lebih menguntungkan seperti Tabung Haji di Malaysia atau mungkin berbentuk semacam Badan Layanan Umum atau BUMN haji yang beroperasi sesuai prinsip syariah sehingga keuntungan yang diperoleh dapat meringankan beban biaya jamaah dan meningkatkan peiayanan haji.

Penerbangan Haji
Komisi VIII berpendapat bahwa efisieiisi juga dimungkinkan dari komponen penerbangan. Dalam struktur BPIH komponen ini menyerap 50% lebih biaya ibadah haji. Sebagian kalangan menilai penerbangan menjadi tidak efisien karena dilaksanakan secara monopolistik. Penetapan maskapai tidak dilaksanakan melalui mekanisme tender terbuka sehingga tidak terjadi kompetisi harga yang cenderung mengarah pada efisiensi. Pandangan tersebut sah saja dan benar adanya karena selama ini pemerintah hanya menggunakan dua maskapai, Garuda Indonesia dan Saudi Airlines, melalui mekanisme penunjukan.

Faktanya, penawaran harga dua maskapai tersebut selama ini dinilai sangat tinggi (di atas rata-rata harga penerbangan ke Arab Saudi).Tahun ini Garuda menawarkan harga USD1.779 dengan asumsi margin keuntungan 3,01%. Sebagai pembanding, Komisi VIII menerima tawaran harga Batavia Air pada posisi USD1.S20 sehingga ada selisih sekitar USD250 dengan Garuda.

Komisi VIII meminta pemerintah melobi Garuda agar mau menurunkan harga USD150-200 sebagai kontribusi penurunan BPIH tahun ini. Komisi VIII melihat masih banyak celah efisiensi yang dimungkinkan dari komponen penerbangan Garuda. Namun, Garuda baru man menurunkan harga sebesar USD18 sehingga harga hanya turun menjadi USD1.761.

Selanjutnya, Komisi VIII berharap pada 2011 proses tender terbuka bisa dilakukan. Tender terbuka diyakini akan menjadikan biaya penerbangan semakin efisien. Garuda Indonesia tentu siap dengan mekanisme ini karena menang dari segi pengalaman. Hal ini juga mendorong perusahaan plat merah ini semakin profesional dan kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada jamaah haji. Itu akan lebih menarik jika tahun ini Garuda beritikad kuat untuk menurunkan biaya penerbangannya sebagaimana aspirasi Komisi VIII DPR RI dan masyarakat luas.

Komisi VIII juga masih melihat kemungkinan efisiensi di sejumlah komponen indirect cost yang hingga saat ini masih terus diupayakan formulanya dalam rapat Panja BPIH sampai 15 Juni mendatang. Karena itu, penurunan biaya haji adalah hal yang niscaya. Masih banyak potential cost yang dapat dikelola secara efisien.Wallahu'alam.{*) .

Media : Harian Seputar Indonesia
Edisi : Rabu, 16 Juni 2010
Rubrik : Opini, Hal : 6

Baca Selengkapnya......