Bila merujuk kepada data GDI (Gender Development Index), ranking negara Indonesia cukup memprihatinkan. GDI mengukur bagaimana kualitas hidup perempuan dan dijadikan acuan untuk menentukan maju tidaknya kualitas hidup perempuan di suatu negara.
Sayangnya, Indonesia masih perlu mengejar berbagai ketertinggalan. Ranking GDI Indonesia adalah 0.721 atau masuk ranking ke 79 dari 156 negara atau di bawah negara Honduras dan Brunei Darussalam. Sangatlah jelas dari ranking GDI, perempuan Indonesia masih tertinggal di berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan representasi politik dan pemerintahan. Perempuan Indonesia lebih miskin dan memiliki tingkat buta huruf yang lebih tinggi dari laki-laki Indonesia.
Penyandang buta aksara di Indonesia menurut data Kemendiknas sebagian besar adalah perempuan, yaitu 63% dari 7,7 juta penyandang buta aksara. Data buta aksara ini ternyata mempunyai pola yang sama dengan penduduk yang tidak pernah sekolah. Dengan kata lain jumlah perempuan yang belum pernah mengenyam pendidikan formal lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Data susenas 2003 menunjukan bahwa penduduk perempuan usia 20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (11,56% berbanding 5,43%).
Propinsi Banten yang jumlah penduduknya lebih dari 8 juta jiwa dan lebih dari 95% dari jumlah tersebut mayoritas beragama Islam, memiliki sumber daya manusia yang potensial untuk dikembangkan terutama kaum perempuannya. Akan tetapi berdasarkan data Disdik Propinsi Banten, tahun 2008 penyandang buta aksara di Propinsi Banten mencapai angka 226.762, dan berada di urutan 10 besar penyandang buta aksara nasional. Karena dari sekitar 11 juta penduduk Indonesia penyandang buta aksara pada tahun 2006-2007, terdapat sekitar 3,3 % berada di Banten. Sementara data lain menyebutkan, jumlah penyandang buta aksara usia 15 tahun ke atas di Propinsi Banten pada tahun 2006 itu mencapai 305.677 orang, terdiri atas 96.668 laki-laki dan 208.502 perempuan. Pada tahun 2008 lalu masih berkisar 300.041 orang.
Kemajuan pembangunan bangsa dan negara tak bisa dilepaskan dari peran serta perempuan, terutama para ibu. Sayangnya, tingkat pendidikan perempuan di Banten juga masih cukup rendah. Angka Partisipasi Sekolah di Propinsi Banten pada tahun 2008 untuk usia 7-12 tahun laki-laki: 97,37% perempuan: 97,99%. Usia 13-15 tahun, laki-laki:81,88% perempuan 79,22%, usia 16-18 tahun laki-laki: 52%, perempuan: 46,96%. Sedangkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi tahun 2008, laki-laki: 14,38% perempuan: 11,79%.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendidikan perempuan di Banten SD-SMP. Semakin tinggi usia perempuan maka angka partisipasi sekolahnya semakin rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Urgensi Pendidikan Perempuan
Di Indonesia sebetulnya pendidikan perempuan sudah dimulai sejak perjuangan RA Kartini di Jepara, Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Mereka bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti. Karena perempuan yang nantinya akan menjadi seorang ibu merupakan pusat pendidikan yang menentukan masa depan bangsa. Peranan ibu sebagai pendidik pertama dan utama sangat strategis dalam membina dan menyiapkan komunitas baru yang baik lagi kuat, serta meretas kader kepemimpinan masa depan yang memiliki integritas watak dan pribadi yang bermoral, ketajaman intelektual dan kreativitas yang tinggi, serta memiliki jiwa leadership yang mantap dan penuh percaya diri.
Untuk melakukan tugas yang mulia ini, seorang perempuan dituntut untuk menjadikan dirinya seorang pendidik yang handal dan bertanggung jawab, serta mempunyai ilmu yang memadai. Bagaimana perempuan dapat mengemban amanah ini jika dirinya sendiri tidak terdidik?
Banyak anak perempuan yang tidak memiliki akses untuk sekolah terbukti dengan rendahnya angka partisipasi pendidikan bagi kaum perempuan. Kenyataan empiris bahwa masih banyak perempuan yang hanya lulusan pendidikan dasar dan tidak melanjutkan ke pendidikan menengah atau bahkan pendidikan tinggi merupakan ironi tersendiri.
Penyebab Rendahnya Tingkat Pendidikan
Ada banyak hal yang menyebabkan tingkat pendidikan perempuan rendah. Bukan semata-mata karena ketidakmampuan menjangkau biaya pendidikan, melainkan juga karena kurangnya akses serta pengaruh lingkungan keluarga. Beberapa penyebab diantaranya:
Pertama, distorsi pemahaman tentang tinjauan teologis bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Lelaki lebih superior sementara perempuan lebih inferior. Padahal dalam Islam, hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sama dalam hal menuntut ilmu dan mengamalkannya.
Kedua, tinjauan sosiologis dan budaya, bahwa perempuan lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Sehingga perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya akan mengurus anak dan rumahnya. Jika kita bandingkan dengan perempuan Korea, mereka berpendidikan tinggi bukan hanya untuk bekerja atau mengejar karir. Tapi lebih dikarenakan agar mereka dapat mendidik anak-anaknya dengan lebih baik dan mempunyai kehidupan yang lebih berkualitas.
Ketiga, tinjauan ekonomi, banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, karena ketidakmampuan ekonomi. Orang tua yang berkemampuan ekonomi lemah lebih memilih mengajak anaknya bekerja. Kalaupun di sekolahkan, akan diutamakan anak laki-laki karena dianggap nantinya akan menanggung hidup keluarganya.
Perluas Akses Pendidikan
Selain lewat bangku sekolah (formal maupun pendidikan luar sekolah), perluasan akses pendidikan perempuan bisa didapatkan melalui kelompok-kelompok kegiatan, seperti PKK, Majelis Taklim, Sanggar Belajar, Karang Taruna, dsb. Lewat kelompok semacam ini, para perempuan dapat mengembangkan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Selain kemampuan dasar seperti membaca dan berhitung juga keterampilan seperti menjahit, memasak, yang nantinya pun bisa dijadikan sebagai penyokong ekonomi keluarga. Kegiatan-kegiatan nonformal dapat memanfaatkan gedung sekolah regular yang difasilitasi pemerintah. Dan harus merata sampai ke daerah terpencil. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi perempuan untuk tidak mengenyam pendidikan.
Dari berbagai penyebab dan fenomena pendidikan perempuan di provinsi Banten khususnya dan Indonesia umumnya, maka pemerintah harus meningkatkan dan memperluas akses pendidikan bagi perempuan. Tidak hanya dengan menjamin kalangan tidak mampu untuk sekolah gratis namun juga harus ada kemudahan dalam mendapatkan pendidikan gratis tersebut. Pemerintah juga seharusnya memberikan sosialisasi akan pentingnya pendidikan bagi seluruh rakyat dengan tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua dan merupakan hak setiap warga negara tidak terkecuali perempuan. Perempuan terdidik akan melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Dengan momen Peringatan Hari Pendidikan pada tanggal 2 Mei 2011 ini dan hanya berselang sepuluh hari dari Peringatan Hari Kartini 21 April 2011 yang lalu, marilah kita meningkatkan dan memperluas akses pendidikan bagi perempuan Banten dan Indonesia.
Media : Koran Radar Banten
Edisi : Senin, 2 Mei
Rubrik: Wacana Publik
youtube video converter, limewire Baca Selengkapnya......