Sinergi Atasi Kemiskinan
H. Jazuli Juwaini, MA, Minggu, 20 Februari 2011Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi VIII DPR/Fraksi PKS
Pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi Millennium Development Goals (MDG’s), yang antara lain menegaskan komitmen internasional untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (29 – 14,5% atau 1,2 triliun menjadi 890 milliar).
Indonesia termasuk di dalamnya dan terikat dengan komitemen tersebut. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Indonesia pada tahun 2009 sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%). Angka ini cukup tinggi dan bukan perkara mudah untuk menurunkannya, apalagi di tengah persoalan-persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang aktual. Perlu upaya kolektif bukan hanya di kalangan pemerintah tetapi seluruh komponen masyarakat.
Regulasi Penanganan Kemiskinan
Di tengah upaya pemerintah untuk mereduksi angka kemiskinan di atas, DPR RI mengambil insiatif dan mengusulkan RUU tentang Penanganan Fakir Miskin dan RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (ZIS). Dua RUU tersebut akan segera dibahas bersama pemerintah pada masa sidang II tahun 2010/2011 ini.
Kedua RUU memiliki pijakan analisis masalah dan argumentasi yang relatif sama yaitu upaya untuk mensejahterakan rakyat yang tergolong fakir miskin atau kurang mampu harus memiliki grand design, komitmen dan konsistensi kebijakan (pro poor), yang diwujudkan dengan dukungan kelembagaan (anggaran, sdm, manajemen) yang kuat. Kedua RUU juga memiliki landasan konstitusional yang berhimpitan yaitu Pasal 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – selain Pasal-Pasal terkait lainnya – yang mengamanatkan perlindungan dan penyejahteraan fakir miskin.
Berdasarkan analisis evaluatif terhadap penanganan fakir miskin selama ini, kedua RUU menilai aturan, kebijakan, kelembagaan, dan program yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun lembaga non-pemerintah selama ini belum efektif untuk mengentaskan kemiskinan secara terukur dan sistematis, sehingga diperlukan penguatan dan perbaikan dalam sejumlah aspek.
RUU Penanganan Fakir Miskin
RUU Penangan Fakir Miskin menilai kebijakan pro-poor belum didukung dengan anggaran, program, dan kelembagaan yang kuat. Oleh karena itu, RUU berharap pemerintah serius untuk mengalokasikan anggaran serta mewujudkan program yang terukur dalam rangka pengentasan kemiskinan. RUU juga berharap ada satu kelembagaan yang bekerja secara sistematis, koordinatif, dan efektif dalam mengentaskan kemiskinan.
Faktanya selama ini, anggaran dan kebijakan pengentasan kemiskinan tersebar di banyak kementerian dan lembaga. Berdasarkan inventarisasi pemerintah ada 20 kementerian/lembaga yang memiliki anggaran dan kebijakan pengentasan kemiskinan. Sayangnya hal tersebut tidak didukung dengan pola koordinasi yang sistematis sehingga kebijakan pengentasan kemiskinan berjalan secara efektif. Yang terjadi kebijakan dan dukungan anggaran bersifat parsial dan cenderung karikatif karena tidak adanya grand design penanganan kemiskinan.
Pemerintah menyadari permasalahan tersebut ketika awal tahun 2010 membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden. TNP2K dibentuk sebagai upaya menyusun desain kebijakan yang integratif, terpadu, dan komprehensif dalam program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah. Namun tim ini hanya bersifat koordinatif dan bukan merupakan leading actor yang kuat dan eksekutorial dalam menjalankan kebijakan dan program penanganan kemiskinan. RUU Penanganan Fakir Miskin menginginkan adanya kelembagaan yang kuat sehingga dapat menjalankan kebijakan penanganan kemiskinan yang kongkrit dan terukur.
RUU Pengelolaan ZIS
RUU Pengelolaan ZIS bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan zakat, infak, dan shodaqoh. Dalam kerangka yang lebih luas, RUU bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. RUU Pengelolaan ZIS menilai potensi umat Islam dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqoh, sebagai bagian dari kewajiban dan anjuran agama Islam, dapat menjadi instrumen yang medukung upaya untuk memajukan kesejahteraan umum dan pengentasan kemiskinan jika dikelola secara profesional.
Perhitungan yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menunjukkan bahwa potensi zakat umat Islam bisa mencapai 9 trilyun per tahunnya. Bahkan hasil kajian Pusat Bahasa Budaya UIN (PBB UIN) menegaskan pertahun zakat bisa terhimpun sebanyak 19 trilyun. Potensi dana yang demikian besar harus dipungut dan disalurkan secara profesional agar nyata hasil gunanya. Namun sayangnya, riil penerimaan zakat masih jauh dari potensinya (800 Milyar – 1,5 Triliun versi Baznas). Di sisi lain, pendayagunaan ZIS oleh lembaga-lebaga Amil masih diragukan efektifitasnya dalam mewujudkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan.
Banyaknya lembaga sosial penerima dan penyalur ZIS merupakan potensi sumber daya umat Islam dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam persepektif ini mereka adalah mitra pemerintah guna menumbuhkan kesetiakawanan dan kesadaran berbagi/memberikan pertolongan kepada sesama. Namun lembaga-lembaga sosial tersebut harus dipayungi dengan regulasi yang kuat dan profesional sehingga tujuan sosial kewajiban dan anjuran zakat, infaq, dan shodaqoh dapat terpenuhi dengan baik.
Oleh karena itu, RUU merekomendasikan kelembagaan yang profesional dan mandiri dalam pengelolaan ZIS, yaitu dengan memisahkan kelembagaan yang memiliki kewenangan sebagai regulator dan supervisor dan lembaga yang memiliki kewenangan penghimpunan dan pengelolaan. Lembaga-lembaga penghimpun dan pengelola ZIS harus memiliki kualifikasi profesional tertentu dan dievaluasi secara periodik terkait efektifitas kinerja dalam melaksanakan program pengelolaan ZIS.
Sinergi
Muatan RUU Penanganan Fakir Miskin dan RUU Pengelolaan ZIS dapat disinergikan sebagai upaya untuk mengefektifkan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan nasional. Sinergi dapat diwujudkan dalam bentuk pengaturan yang memungkinkan koordinasi dan konsolidasi sumber daya, berupa sumber daya manusia, dana, perumusan program, dan manajemen pengelolaan program.
Koordinasi dan konsolidasi juga penting dilakukan dalam hal data kemiskinan dan peta program/bantuan. Selama ini pemerintah berjalan dengan data-data resmi sementara lembaga-lembaga sosial menghimpun dan mempresentasikan datanya sendiri berdasarkan hasil penelitian yang mereka lakukan secara mandiri. Ketidaksatuan peta program/bantuan menyebabkan program/bantuan kemiskinan tidak merata dan seringkali mengalami redundansi dan overaleaping sehingga tidak akan efektif.
Koordinasi dan konsolidasi sumber daya dapat dilakukan dengan menekankan peran aktif pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi program-program peningkatan kapasitas kelembagaan lembaga-lembaga sosial, khususnya lembaga penerima dan pengelola ZIS. Selain itu, perlu aturan yang memungkinkan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial dapat melakukan kerjasama pemberdayaan masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut, perlu diberikan ruang bagi lembaga-lembaga sosial untuk dapat mengakses dana dan program pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat, baik dalam bentuk block grant maupun specific grant. Pemerintah dapat memberdayakan lembaga-lembaga sosial sebagai pelaksana atau fasilitator program di lapangan. Dengan sinergi tersebut, diyakini potensi kemandirian masyarakat dapat terhimpun sekaligus dapat mengefektifkan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan nasional.
(diterbitkan Republika)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar