Pendidikan Untuk Semua

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS


Realitas pendidikan Indonesia hari ini belum menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Hal ini bisa dilihat dari segi pemerataan akses pendidikan dan dari kualitas mutu pendidikan yang berdampak pada daya saing sdm hasil pendidikan.

Dari segi pemerataan, kenyataannya, mayoritas rakyat belum bisa terlayani atau terjangkau pemerataan pendidikan secara baik khususnya di kalangan ekonomi menengah dan miskin. Bahkan, kalau dicermati, pendidikan di Indonesia masih berpihak pada orang-orang yang secara ekonomi tergolong mampu untuk menikmati fasilitas pendidikan berkualitas tinggi.

Pihak-pihak yang mendapatkan kesempatan menikmati sekolah unggulan atau favorit mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi (PT), mereka adalah anak-anak dari golongan keluarga kaya. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin sulit menjangkau pendidikan bermutu.

Dari segi mutu pendidikan dan kualitas sdm hasil pendidikan, posisi Indonesia masih jauh dari ideal. Hal ini bisa dilihat dari peringkat Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis oleh United Nations Development Program (UNDP). Menurut laporan tersebut memang ada kemajuan dalam pembangunan manusia (human development) di Indonesia dari tahun ke tahun. IPM tahun 1975 sebesar 0,471, tahun 1985 (0,585), tahun 1995 (0,670), dan tahun 2005 (0,728). Namun, kenaikan itu masih kalah dibandingkan dengan negara lain, setidaknya dengan sesama Negara ASEAN.

Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109.

Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tiga indikator yang merupakan indikator kualitas hidup manusia. Ketiganya adalah (1) Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; (2) Indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan (3) indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah.

Berkaitan dengan itu, hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat besar. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta).

Angka kemiskinan tersebut menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.

Berdasarkan data-data di atas nampak jelas, program peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan akses pendidikan harus menjadi prioritas utama khususnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada kelompok miskin. Karenanya pendidikan murah atau bahkan pendidikan gratis harus menjadi konsen kebijkaan publik.

Pendidikan Untuk Semua
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sesungguhnya telah menjadi komitmen bersama. Konstitusi telah mengamanatkan pendidikan merupakan hak warga Negara dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Konstitusi hasil amandemen telah pula mewajibkan pemerintah untuk mengalokasi minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Meskipun demikian, pemerintah tak kunjung mampu memenuhi amanat tersebut karena cekaknya dana APBN sampai akhirnya, di tahun 2009, 20% anggaran pendidikan terpenuhi dengan memasukkan komponen gaji guru dan dosen.

Strategi pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN terus dilakukan oleh pemerintah mengingat Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 menyatakan bahwa selama anggaran pendidikan belum mencapai 20% sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, maka APBN akan selalu bertentangan dengan UUD 1945.

Amanat konstitusi yang diperkuat dengan Putusan MK tersebut sesungguhnya memberikan pesan yang kuat bagi setiap pengambil kebijakan tentang pentingnya pendidikan yang secara implementatif semestinya dapat diwujudkan melalui kemudahan setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan dengan dana yang ditanggung negara.

Sejalan dengan hal tersebut, program pendidikan gratis telah menjadi tema penting sejalan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all). UUD 1945 dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan wajib belajar 9 tahun dan bersamaan dengan itu mewajibkan penggratisan biayanya. Sejumlah daerah telah menggratiskan biaya pendidikan SD dan SMP sebagaimana amanat UUD dan UU tersebut, sebut saja seperti: Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana, dan Kota Yogjakarta. Namun sebagian yang lain belum bisa memenuhi dengan dalih keterbatasan anggaran. Kita yakin pendidikan gratis 9 tahun bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan jika pemerintah pusat dan setiap pemda memiliki komitmen terhadap dunia pendidikan.

Langkah-langkah strategis bisa dilakukan antara lain dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah, pengetatan anggaran, dan pemangkasan anggaran departemen/dinas sehingga benar-benar efektif menunjang program pendidikan gratis.

Bersamaan dengan komitmen pemerintah tersebut, peran partisipatif warga masyarakat melalui kemadirian lokal dan komunitas harus terus didukung. Lahirnya inisiatif sekolah rakyat, sekolah komunitas, dan lain sebagainya sangat membantu mewujudkan tujuan pendidikan untuk semua, sekaligus membantu mengatasi ketaksanggupan pendanaan pemerintah.

Baca Selengkapnya......

Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI/Tim Perumus UU Pembentukan Kota Tangsel



Sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memiliki potensi ideal ditinjau dari berbagai aspek, baik secara ekonomi, sosial politik, kemandirian, manajemen, tata pemerintahan, maupun dari segi kesiapan sdm aparatur dan masyarakat. Dengan potensi ideal tersebut semestinya pemerintahan kota dapat melaksanakan pembangunan secara cepat, tepat sasaran, dan lebih memfokuskan diri pada pelayanan publik dan mengatasi disparitas yang ada.

Dalam rangka ikut memberikan sumbangan pemikiran terhadap proses pembangunan Kota Tangsel, dimana penulis dalam kapasitas sebagai Anggota Komisi Pemerintahan DPR RI ikut mendorong dan membahas UU Pembentukan Kota Tangsel, berikut diulas sejumlah parameter/indikator pokok agar pembentukan daerah otonom, khususnya Kota Tangsel, dapat memenuhi tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pertama, indikator ekonomi. Status otonomi yang diberikan kepada Tangsel harus memberikan dampak langsung pada peningkatan perkapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hak otonomi yang dimiliki sangat memungkinkan daerah untuk berkreasi dalam pembangunan dengan memperhitungkan secara cermat potensi ekonomi. Pemerintah Kota Tangsel harus melakukan perencanaan pembangunan secara bertahap dengan parameter yang tepat. Prioritas pembangunan harus disusun secara cermat mulai dari pembangunan infrastruktur dasar dan seterusnya.

Kedua, indikator sosial politik. Harus dipahami betul bahwa aspirasi pembentukan Tangsel bukan hanya dimonopoli oleh sekelompok elit tertentu, akan tetapi muncul sebagai kesadaran sosial politik seluruh warga dalam rangka membangun dan mensejahterakan daerah. Sehingga siapapun pemimpin Tangsel harus bekerja keras untuk mewujudkan aspirasi kolektif warga masyarakat tersebut. Dengan pemahaman ini, status otonomi Tangsel harus mendorong semakin kuatnya kohesi sosial politik diantara masyarakat. Di sejumlah daerah otonom baru, status otonomi justru menyebabkan perpecahan bahkan berujung konflik horizontal. Hal ini terjadi karena aspirasi otonomi dimaknai sekadar kepentingan politik kekuasaan.

Ketiga, indikator kemandirian. Dalam UU pembentukan daerah otonom baru selalu dimandatkan masa transisi, dimana secara finansial dan administrasi, setiap daerah otonom, termasuk Kota Tangsel, mendapatkan subsidi dari daerah dan/atau provinsi induk. Dalam jangka tertentu, daerah otonom baru harus semakin mantap dan kuat dalam melepaskan diri dari ketergantungan terhadap daerah induk maupun pemerintah pusat. Kemandirian dimaksud bukan hanya secara finansial dan dukungan administrasi pemerintahan akan tetapi tercermin dalam tiga hal yaitu: (1) menyelesaikan masalah sendiri/orientasi masyarakat setempat; (2) dengan inisiatif dan prakarsa solutif masyarakat setempat; serta (3) dengan memanfaat potensi sumber daya setempat.

Keempat indikator organisasi dan manajemen. Status otonomi harus berdampak pada peningkatan dan pertumbuhan organisasi dan manajemen daerah yang berdampak langsung pada kualitas pembangunan. Dengan otonomi seharusnya manajemen daerah harus menjadi semakin efektif dan efisien dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berbagai potensi sumber daya: sumber daya masyarakat, sumber daya aparatur, sumber daya finansial, sumber daya organisasi perangkat, serta prasarana dasar harus semakin tertata dan menghasilkan perbaikan dari waktu ke waktu. Di beberapa daerah pemekaran, keterbatasan SDM Aparatur, Finansial, Organisasi perangkat, dan sarana-prasarana dasar seringkali menjadi masalah besar dan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Patut disyukuri segala potensi sumber daya dimaksud insya Allah tidak ada kendala di Kota Tangsel.

Kelima, indikator jangkauan dan pelayanan. Salah satu alasan utama pembentukan daerah otonom adalah adanya realitas tidak efektif dan efisiennya pelayanan publik, terutama karena jauhnya jarak pemerintahan. Status otonomi harus menjadikan jangkauan pelayanan kepada masyarakat semakin efisien dan efektif karena masyarakat dapat langsung mendapatkan layanan oleh aparat setempat (di daerahnya). Artinya, masyarakat semakin mudah dan murah memenuhi kebutuhannya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pemkot Tangsel harus memantapkan tujuan dasar pemerintahan dalam era otonomi yaitu pelayanan. Pemerintah adalah pelayanan masyarakat (civil servant), bukan abdi negara (yang cenderung melayani penguasa) sebagaimana langgam yang selama ini terjadi.

Keenam, indikator kualitas pelayanan publik. Setelah jangkauan pelayanan semakin dekat, maka kualitas pelayanan harus meningkat sejalan dengan penguatan hak otonomi yang dimiliki daerah otonom baru. Ketersediaan pelayanan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, peningkatan daya beli masyarakat, transportasi dan komunikasi, kependudukan dan lainnya harus secara kualitatif dan kuantitatif mengalami peningkatan. Status otonomi yang tidak berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat harus menjadi tanda tanya besar bagi indikator keberhasilan pembentukan daerah otonom. Pemkot Tangsel dituntut untuk dapat mewujudkan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bahkan, bila menghitung potensi PAD yang dimiliki Kota Tangsel, semestinya kebutuhan dasar tersebut dapat digratiskan.

Ketujuh, indikator good local governance. Musuh utama kewenangan (otonomi) yang melimpah adalah kecenderungan korupsi oleh aparatur pemerintahannya. Oleh karena itu, status otonomi harus membawa efek pada perwujudan tata pemerintahan yang bersih dan baik, bukan sebaliknya justru menyebabkan semakin suburnya korupsi. Good local governance terbentuk jika akuntabilitas pemerintahan daerah semakin baik, transparansi semakin tinggi, prinsip rule of law semakin dapat ditegakkan, partisipasi masyarakat semakin meningkat, pemerintahan yang semakin efisien dan efektif, konflik kepentingan dalam birokrasi dapat dikurangi, dan pengisian jabatan-jabatan karir tidak dipenuhi dengan praktek KKN. Pemkot Tangsel harus mampu menjadi pioner pemerintahan yang bersih, minimal terukur dari kinerja pelaporan keuangan yang setiap tahun diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan terakhir, kedelapan, indikator responsiveness pemerintahan. Status otonomi harus mendorong pemerintahan daerah yang memiliki daya tanggap dalam merumuskan kebutuhan dan potensi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari rencana strategis, program dan implementasi program-program pembangunan. Jika tidak terdapat rencana strategis, program dan implementasi program yang inovatif, maka pembentukan daerah otonom tidak menumbuhkan daya tanggap daerah terhadap potensi dan kebutuhan daerah.

Kedelapan indikator sukses pembangunan daerah otonom baru di atas diharapkan dapat menjadi tolak ukur pembangunan Kota Tangsel yang sama-sama kita cintai. Berkah otonomi sudah sewajarnya tidak berhenti pada euforia pembentukannya semata, melainkan harus diisi dengan kerja-kerja nyata bagi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat Tangsel.

(dimuat di Satelit News, 21/3, Kolom Interupsi)

Baca Selengkapnya......