Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI/Tim Perumus UU Pembentukan Kota Tangsel



Sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memiliki potensi ideal ditinjau dari berbagai aspek, baik secara ekonomi, sosial politik, kemandirian, manajemen, tata pemerintahan, maupun dari segi kesiapan sdm aparatur dan masyarakat. Dengan potensi ideal tersebut semestinya pemerintahan kota dapat melaksanakan pembangunan secara cepat, tepat sasaran, dan lebih memfokuskan diri pada pelayanan publik dan mengatasi disparitas yang ada.

Dalam rangka ikut memberikan sumbangan pemikiran terhadap proses pembangunan Kota Tangsel, dimana penulis dalam kapasitas sebagai Anggota Komisi Pemerintahan DPR RI ikut mendorong dan membahas UU Pembentukan Kota Tangsel, berikut diulas sejumlah parameter/indikator pokok agar pembentukan daerah otonom, khususnya Kota Tangsel, dapat memenuhi tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pertama, indikator ekonomi. Status otonomi yang diberikan kepada Tangsel harus memberikan dampak langsung pada peningkatan perkapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hak otonomi yang dimiliki sangat memungkinkan daerah untuk berkreasi dalam pembangunan dengan memperhitungkan secara cermat potensi ekonomi. Pemerintah Kota Tangsel harus melakukan perencanaan pembangunan secara bertahap dengan parameter yang tepat. Prioritas pembangunan harus disusun secara cermat mulai dari pembangunan infrastruktur dasar dan seterusnya.

Kedua, indikator sosial politik. Harus dipahami betul bahwa aspirasi pembentukan Tangsel bukan hanya dimonopoli oleh sekelompok elit tertentu, akan tetapi muncul sebagai kesadaran sosial politik seluruh warga dalam rangka membangun dan mensejahterakan daerah. Sehingga siapapun pemimpin Tangsel harus bekerja keras untuk mewujudkan aspirasi kolektif warga masyarakat tersebut. Dengan pemahaman ini, status otonomi Tangsel harus mendorong semakin kuatnya kohesi sosial politik diantara masyarakat. Di sejumlah daerah otonom baru, status otonomi justru menyebabkan perpecahan bahkan berujung konflik horizontal. Hal ini terjadi karena aspirasi otonomi dimaknai sekadar kepentingan politik kekuasaan.

Ketiga, indikator kemandirian. Dalam UU pembentukan daerah otonom baru selalu dimandatkan masa transisi, dimana secara finansial dan administrasi, setiap daerah otonom, termasuk Kota Tangsel, mendapatkan subsidi dari daerah dan/atau provinsi induk. Dalam jangka tertentu, daerah otonom baru harus semakin mantap dan kuat dalam melepaskan diri dari ketergantungan terhadap daerah induk maupun pemerintah pusat. Kemandirian dimaksud bukan hanya secara finansial dan dukungan administrasi pemerintahan akan tetapi tercermin dalam tiga hal yaitu: (1) menyelesaikan masalah sendiri/orientasi masyarakat setempat; (2) dengan inisiatif dan prakarsa solutif masyarakat setempat; serta (3) dengan memanfaat potensi sumber daya setempat.

Keempat indikator organisasi dan manajemen. Status otonomi harus berdampak pada peningkatan dan pertumbuhan organisasi dan manajemen daerah yang berdampak langsung pada kualitas pembangunan. Dengan otonomi seharusnya manajemen daerah harus menjadi semakin efektif dan efisien dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berbagai potensi sumber daya: sumber daya masyarakat, sumber daya aparatur, sumber daya finansial, sumber daya organisasi perangkat, serta prasarana dasar harus semakin tertata dan menghasilkan perbaikan dari waktu ke waktu. Di beberapa daerah pemekaran, keterbatasan SDM Aparatur, Finansial, Organisasi perangkat, dan sarana-prasarana dasar seringkali menjadi masalah besar dan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Patut disyukuri segala potensi sumber daya dimaksud insya Allah tidak ada kendala di Kota Tangsel.

Kelima, indikator jangkauan dan pelayanan. Salah satu alasan utama pembentukan daerah otonom adalah adanya realitas tidak efektif dan efisiennya pelayanan publik, terutama karena jauhnya jarak pemerintahan. Status otonomi harus menjadikan jangkauan pelayanan kepada masyarakat semakin efisien dan efektif karena masyarakat dapat langsung mendapatkan layanan oleh aparat setempat (di daerahnya). Artinya, masyarakat semakin mudah dan murah memenuhi kebutuhannya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pemkot Tangsel harus memantapkan tujuan dasar pemerintahan dalam era otonomi yaitu pelayanan. Pemerintah adalah pelayanan masyarakat (civil servant), bukan abdi negara (yang cenderung melayani penguasa) sebagaimana langgam yang selama ini terjadi.

Keenam, indikator kualitas pelayanan publik. Setelah jangkauan pelayanan semakin dekat, maka kualitas pelayanan harus meningkat sejalan dengan penguatan hak otonomi yang dimiliki daerah otonom baru. Ketersediaan pelayanan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, peningkatan daya beli masyarakat, transportasi dan komunikasi, kependudukan dan lainnya harus secara kualitatif dan kuantitatif mengalami peningkatan. Status otonomi yang tidak berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat harus menjadi tanda tanya besar bagi indikator keberhasilan pembentukan daerah otonom. Pemkot Tangsel dituntut untuk dapat mewujudkan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bahkan, bila menghitung potensi PAD yang dimiliki Kota Tangsel, semestinya kebutuhan dasar tersebut dapat digratiskan.

Ketujuh, indikator good local governance. Musuh utama kewenangan (otonomi) yang melimpah adalah kecenderungan korupsi oleh aparatur pemerintahannya. Oleh karena itu, status otonomi harus membawa efek pada perwujudan tata pemerintahan yang bersih dan baik, bukan sebaliknya justru menyebabkan semakin suburnya korupsi. Good local governance terbentuk jika akuntabilitas pemerintahan daerah semakin baik, transparansi semakin tinggi, prinsip rule of law semakin dapat ditegakkan, partisipasi masyarakat semakin meningkat, pemerintahan yang semakin efisien dan efektif, konflik kepentingan dalam birokrasi dapat dikurangi, dan pengisian jabatan-jabatan karir tidak dipenuhi dengan praktek KKN. Pemkot Tangsel harus mampu menjadi pioner pemerintahan yang bersih, minimal terukur dari kinerja pelaporan keuangan yang setiap tahun diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan terakhir, kedelapan, indikator responsiveness pemerintahan. Status otonomi harus mendorong pemerintahan daerah yang memiliki daya tanggap dalam merumuskan kebutuhan dan potensi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari rencana strategis, program dan implementasi program-program pembangunan. Jika tidak terdapat rencana strategis, program dan implementasi program yang inovatif, maka pembentukan daerah otonom tidak menumbuhkan daya tanggap daerah terhadap potensi dan kebutuhan daerah.

Kedelapan indikator sukses pembangunan daerah otonom baru di atas diharapkan dapat menjadi tolak ukur pembangunan Kota Tangsel yang sama-sama kita cintai. Berkah otonomi sudah sewajarnya tidak berhenti pada euforia pembentukannya semata, melainkan harus diisi dengan kerja-kerja nyata bagi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat Tangsel.

(dimuat di Satelit News, 21/3, Kolom Interupsi)

Comments :

0 komentar to “Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel”

Posting Komentar