Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI 2004-2009/Caleg DPR RI Dapil Banten III
Pemilu 2009 kali ini sesungguhnya memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia khususnya setelah bangsa ini melewati fase reformasi di tahun 1997. Dua kali pemilu setelah reformasi, yakni Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, dicatat dengan tinta emas oleh dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis, meski ada kekurangan di sana-sini. Indonesia menjadi satu negara yang sukses melewati transisi demokrasi tanpa berdarah-darah sebagaimana umumnya dialami negara-negara dunia ketiga lainnya. Hal ini, di satu sisi, menunjukkan kedewasaan politik rakyat Indonesia untuk tidak memilih jalan kekerasan (chaos), namun di sisi lain hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelembagaan politik kita.
Kesuksesan pemilu 1999 dan pemilu 2004 semestinya menjadi titik tolak bagi kita untuk menatap dan melaksanakan pemilu 2009. Masa transisi yang cukup gemilang kita lewati semestinya berlanjut pada fase konsolidasi demokrasi yang lebih solid dan mapan. Artinya, jika di pemilu 1999 dan pemilu 2004 kita masih berkutat pada soal-soal prosedural demokrasi yakni soal teknis pemilu yang luber jurdil, sudah semestinya di pemilu yang akan datang kita harus beranjak pada soal-soal demokrasi subtansial, yaitu bagamaina pemilu dapat menghasilkan kesejahteraan rakyat.
Pemilu untuk kesejahteraan bermakna: bukan hanya pemilu harus berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan, akan tetapi pemilu memang harus ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan. Harga ekonomi (economic cost) yang digelontorkan untuk penyelenggaraan pemilu harus dimaknai sebagai investasi untuk menghasilkan (return of investment) kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif sehingga mampu mensejahterakan rakyat.
Dalam kerangka tujuan di atas maka seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pemilu harus berperan aktif dengan memahami dan memaknai pemilu 2009 lebih dari sekadar pesta demokrasi lima tahunan.
Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Penyelenggara harus mencanangkan target pemilu bukan sekadar memenuhi ukuran-ukuran prosedural demokrasi, seperti pemilu tepat jadwal, logostik terdistribusi, pemilih terdaftar, pemilih tahu mekanisme memilih atau tahu gambar atau nama celeg, serta soal-soal teknis lainnya.
Persoalan-persoalan teknis tersebut perlu/penting tapi tidak cukup (necessary but not sufficient). Lebih dari itu, penyelenggara memiliki tugas penting untuk memastikan setiap pemilih memahami pilihannya dan secara sadar menggunakan hak pilihnya. Oleh karenanya, mengacu pada UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, KPU diwajibkan untuk mengumumkan nama-nama caleg dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Sayangnya, DCT yang dipublikasikan KPU dan dapat diakses publik tidak memuat profil lengkap para calon sehingga tergambar rekam jejak atau track record-nya.
Kedua, partai politik dan caleg. Parpol dan caleg merupakan aktor penting, disamping pemilih, dalam setiap perhelatan pemilu. Sebagai peserta pemilu, parpol dan caleg memainkan peran meraih simpati pemilih agar memperoleh suara dan akhirnya menjadi caleg terpilih (aleg). Peran terpenting yang harus dilakukan parpol dan caleg adalah mengenalkan diri dengan faktor-faktor yang rasional objektif seperti rekam jejak, kontribusi, program riil, dan menjalin ikatan dengan pemilih berdasarkan faktor-faktor objektif dimaksud, bukan dengan paksaan atau imbalan materi (money politics).
Ketiga, pemilih. Pemilihlah aktor sesungguhnya dari pemilu mengingat pemilu berdasarkan konstitusi kita adalah manifestasi dari kadaulatan rakyat. Melalui pemilu rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan melalui figur-figur yang dipilih di balik bilik suara. Jika pemilih memilih calon yang berkualitas dengan komitmen dan kontribusi yang jelas, maka pemerintahan akan berjalan sesuai mandat rakyat tersebut. Sebaliknya, jika rakyat memilih orang yang salah, tidak memiliki rekam jejak atau bahkan memiliki rekam jejak negatif, yang hanya pandai merayu dengan janji-janji kosong, maka pemerintahan tidak akan berjalan amanah dan profesional.
Pemilih harus didorong untuk mengenal calon – sebelum akhirnya memilih – berdasarkan pertimbangan kualitas, kredibilitas, rekam jejak, dan program riil pada masyarakat. Antara pemilih dengan yang dipilih memiliki ikatan kontraktual yang secara kritis harus terus dijaga: pemilih selalu memantau pemenuhan program dan janji caleg serta mengingatkan jika terlewat atau terlupakan. Sementara yang dipilih (parpol atau caleg) harus selalu menjaga amanah rakyat yang telah dibebankan kepadanya lewat pemilu.
Tiga aktor pemilu di atas bisa ditambahkan dengan peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif memberikan edukasi pemilu agar lebih bermakna. Penulis mendukung sepenuhnya inisiatif sejumlah LSM yang melakukan kampanye publik untuk memilih wakil yang tepat dan tolak politisi bermasalah atau politisi busuk. LSM semestinya juga dapat memahamkan masyarakat soal kriteria wakil rakyat yang tepat untuk dipilih.
Akhirnya, jika semua pihak berpartisipasi konstruktif untuk melembagakan demokrasi yang semakin bermakna dan tidak dengan sengaja menodai nilai-nilai pemilu yang luber jurdil, maka transisi demokrasi kita hari ini akan semakin cepat menghasilkan konsolidasi demokrasi bagi kesejahteraan rakyat.
Menjadikan Pemilu Bermakna
H. Jazuli Juwaini, MA, Selasa, 07 April 2009
Label:
Pemilu Bermakna
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar