Gagasan dan pemikiran lain tentang bagaimana mengelola Pendidikan Islam di Indonesia. Guru Besar dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof DR Muhammad Amin Suma mengatakan, kehadiran buku ini menambah khazanah perbukuan dalam bidang pendidikan agama Islam dan institusinya, juga insya Allah memberikan tambahan informasi dan wawasan tentang madrasah dan pesantren yang selama ini masih dirasakan kurang sosialisasinya ditengah-tengah masyarakat luas.
Buku Revitalisasi Pendidikan Islam
H. Jazuli Juwaini, MA, Senin, 14 November 2011Akses Pendidikan Perempuan Banten
H. Jazuli Juwaini, MA, Senin, 02 Mei 2011Bila merujuk kepada data GDI (Gender Development Index), ranking negara Indonesia cukup memprihatinkan. GDI mengukur bagaimana kualitas hidup perempuan dan dijadikan acuan untuk menentukan maju tidaknya kualitas hidup perempuan di suatu negara.
Sayangnya, Indonesia masih perlu mengejar berbagai ketertinggalan. Ranking GDI Indonesia adalah 0.721 atau masuk ranking ke 79 dari 156 negara atau di bawah negara Honduras dan Brunei Darussalam. Sangatlah jelas dari ranking GDI, perempuan Indonesia masih tertinggal di berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan representasi politik dan pemerintahan. Perempuan Indonesia lebih miskin dan memiliki tingkat buta huruf yang lebih tinggi dari laki-laki Indonesia.
Penyandang buta aksara di Indonesia menurut data Kemendiknas sebagian besar adalah perempuan, yaitu 63% dari 7,7 juta penyandang buta aksara. Data buta aksara ini ternyata mempunyai pola yang sama dengan penduduk yang tidak pernah sekolah. Dengan kata lain jumlah perempuan yang belum pernah mengenyam pendidikan formal lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Data susenas 2003 menunjukan bahwa penduduk perempuan usia 20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (11,56% berbanding 5,43%).
Propinsi Banten yang jumlah penduduknya lebih dari 8 juta jiwa dan lebih dari 95% dari jumlah tersebut mayoritas beragama Islam, memiliki sumber daya manusia yang potensial untuk dikembangkan terutama kaum perempuannya. Akan tetapi berdasarkan data Disdik Propinsi Banten, tahun 2008 penyandang buta aksara di Propinsi Banten mencapai angka 226.762, dan berada di urutan 10 besar penyandang buta aksara nasional. Karena dari sekitar 11 juta penduduk Indonesia penyandang buta aksara pada tahun 2006-2007, terdapat sekitar 3,3 % berada di Banten. Sementara data lain menyebutkan, jumlah penyandang buta aksara usia 15 tahun ke atas di Propinsi Banten pada tahun 2006 itu mencapai 305.677 orang, terdiri atas 96.668 laki-laki dan 208.502 perempuan. Pada tahun 2008 lalu masih berkisar 300.041 orang.
Kemajuan pembangunan bangsa dan negara tak bisa dilepaskan dari peran serta perempuan, terutama para ibu. Sayangnya, tingkat pendidikan perempuan di Banten juga masih cukup rendah. Angka Partisipasi Sekolah di Propinsi Banten pada tahun 2008 untuk usia 7-12 tahun laki-laki: 97,37% perempuan: 97,99%. Usia 13-15 tahun, laki-laki:81,88% perempuan 79,22%, usia 16-18 tahun laki-laki: 52%, perempuan: 46,96%. Sedangkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi tahun 2008, laki-laki: 14,38% perempuan: 11,79%.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendidikan perempuan di Banten SD-SMP. Semakin tinggi usia perempuan maka angka partisipasi sekolahnya semakin rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Urgensi Pendidikan Perempuan
Di Indonesia sebetulnya pendidikan perempuan sudah dimulai sejak perjuangan RA Kartini di Jepara, Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Mereka bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti. Karena perempuan yang nantinya akan menjadi seorang ibu merupakan pusat pendidikan yang menentukan masa depan bangsa. Peranan ibu sebagai pendidik pertama dan utama sangat strategis dalam membina dan menyiapkan komunitas baru yang baik lagi kuat, serta meretas kader kepemimpinan masa depan yang memiliki integritas watak dan pribadi yang bermoral, ketajaman intelektual dan kreativitas yang tinggi, serta memiliki jiwa leadership yang mantap dan penuh percaya diri.
Untuk melakukan tugas yang mulia ini, seorang perempuan dituntut untuk menjadikan dirinya seorang pendidik yang handal dan bertanggung jawab, serta mempunyai ilmu yang memadai. Bagaimana perempuan dapat mengemban amanah ini jika dirinya sendiri tidak terdidik?
Banyak anak perempuan yang tidak memiliki akses untuk sekolah terbukti dengan rendahnya angka partisipasi pendidikan bagi kaum perempuan. Kenyataan empiris bahwa masih banyak perempuan yang hanya lulusan pendidikan dasar dan tidak melanjutkan ke pendidikan menengah atau bahkan pendidikan tinggi merupakan ironi tersendiri.
Penyebab Rendahnya Tingkat Pendidikan
Ada banyak hal yang menyebabkan tingkat pendidikan perempuan rendah. Bukan semata-mata karena ketidakmampuan menjangkau biaya pendidikan, melainkan juga karena kurangnya akses serta pengaruh lingkungan keluarga. Beberapa penyebab diantaranya:
Pertama, distorsi pemahaman tentang tinjauan teologis bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Lelaki lebih superior sementara perempuan lebih inferior. Padahal dalam Islam, hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sama dalam hal menuntut ilmu dan mengamalkannya.
Kedua, tinjauan sosiologis dan budaya, bahwa perempuan lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Sehingga perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya akan mengurus anak dan rumahnya. Jika kita bandingkan dengan perempuan Korea, mereka berpendidikan tinggi bukan hanya untuk bekerja atau mengejar karir. Tapi lebih dikarenakan agar mereka dapat mendidik anak-anaknya dengan lebih baik dan mempunyai kehidupan yang lebih berkualitas.
Ketiga, tinjauan ekonomi, banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, karena ketidakmampuan ekonomi. Orang tua yang berkemampuan ekonomi lemah lebih memilih mengajak anaknya bekerja. Kalaupun di sekolahkan, akan diutamakan anak laki-laki karena dianggap nantinya akan menanggung hidup keluarganya.
Perluas Akses Pendidikan
Selain lewat bangku sekolah (formal maupun pendidikan luar sekolah), perluasan akses pendidikan perempuan bisa didapatkan melalui kelompok-kelompok kegiatan, seperti PKK, Majelis Taklim, Sanggar Belajar, Karang Taruna, dsb. Lewat kelompok semacam ini, para perempuan dapat mengembangkan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Selain kemampuan dasar seperti membaca dan berhitung juga keterampilan seperti menjahit, memasak, yang nantinya pun bisa dijadikan sebagai penyokong ekonomi keluarga. Kegiatan-kegiatan nonformal dapat memanfaatkan gedung sekolah regular yang difasilitasi pemerintah. Dan harus merata sampai ke daerah terpencil. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi perempuan untuk tidak mengenyam pendidikan.
Dari berbagai penyebab dan fenomena pendidikan perempuan di provinsi Banten khususnya dan Indonesia umumnya, maka pemerintah harus meningkatkan dan memperluas akses pendidikan bagi perempuan. Tidak hanya dengan menjamin kalangan tidak mampu untuk sekolah gratis namun juga harus ada kemudahan dalam mendapatkan pendidikan gratis tersebut. Pemerintah juga seharusnya memberikan sosialisasi akan pentingnya pendidikan bagi seluruh rakyat dengan tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua dan merupakan hak setiap warga negara tidak terkecuali perempuan. Perempuan terdidik akan melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Dengan momen Peringatan Hari Pendidikan pada tanggal 2 Mei 2011 ini dan hanya berselang sepuluh hari dari Peringatan Hari Kartini 21 April 2011 yang lalu, marilah kita meningkatkan dan memperluas akses pendidikan bagi perempuan Banten dan Indonesia.
Media : Koran Radar Banten
Edisi : Senin, 2 Mei
Rubrik: Wacana Publik
youtube video converter, limewire Baca Selengkapnya......
Sinergi Atasi Kemiskinan
H. Jazuli Juwaini, MA, Minggu, 20 Februari 2011Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi VIII DPR/Fraksi PKS
Pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi Millennium Development Goals (MDG’s), yang antara lain menegaskan komitmen internasional untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (29 – 14,5% atau 1,2 triliun menjadi 890 milliar).
Indonesia termasuk di dalamnya dan terikat dengan komitemen tersebut. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Indonesia pada tahun 2009 sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%). Angka ini cukup tinggi dan bukan perkara mudah untuk menurunkannya, apalagi di tengah persoalan-persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang aktual. Perlu upaya kolektif bukan hanya di kalangan pemerintah tetapi seluruh komponen masyarakat.
Regulasi Penanganan Kemiskinan
Di tengah upaya pemerintah untuk mereduksi angka kemiskinan di atas, DPR RI mengambil insiatif dan mengusulkan RUU tentang Penanganan Fakir Miskin dan RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (ZIS). Dua RUU tersebut akan segera dibahas bersama pemerintah pada masa sidang II tahun 2010/2011 ini.
Kedua RUU memiliki pijakan analisis masalah dan argumentasi yang relatif sama yaitu upaya untuk mensejahterakan rakyat yang tergolong fakir miskin atau kurang mampu harus memiliki grand design, komitmen dan konsistensi kebijakan (pro poor), yang diwujudkan dengan dukungan kelembagaan (anggaran, sdm, manajemen) yang kuat. Kedua RUU juga memiliki landasan konstitusional yang berhimpitan yaitu Pasal 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – selain Pasal-Pasal terkait lainnya – yang mengamanatkan perlindungan dan penyejahteraan fakir miskin.
Berdasarkan analisis evaluatif terhadap penanganan fakir miskin selama ini, kedua RUU menilai aturan, kebijakan, kelembagaan, dan program yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun lembaga non-pemerintah selama ini belum efektif untuk mengentaskan kemiskinan secara terukur dan sistematis, sehingga diperlukan penguatan dan perbaikan dalam sejumlah aspek.
RUU Penanganan Fakir Miskin
RUU Penangan Fakir Miskin menilai kebijakan pro-poor belum didukung dengan anggaran, program, dan kelembagaan yang kuat. Oleh karena itu, RUU berharap pemerintah serius untuk mengalokasikan anggaran serta mewujudkan program yang terukur dalam rangka pengentasan kemiskinan. RUU juga berharap ada satu kelembagaan yang bekerja secara sistematis, koordinatif, dan efektif dalam mengentaskan kemiskinan.
Faktanya selama ini, anggaran dan kebijakan pengentasan kemiskinan tersebar di banyak kementerian dan lembaga. Berdasarkan inventarisasi pemerintah ada 20 kementerian/lembaga yang memiliki anggaran dan kebijakan pengentasan kemiskinan. Sayangnya hal tersebut tidak didukung dengan pola koordinasi yang sistematis sehingga kebijakan pengentasan kemiskinan berjalan secara efektif. Yang terjadi kebijakan dan dukungan anggaran bersifat parsial dan cenderung karikatif karena tidak adanya grand design penanganan kemiskinan.
Pemerintah menyadari permasalahan tersebut ketika awal tahun 2010 membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden. TNP2K dibentuk sebagai upaya menyusun desain kebijakan yang integratif, terpadu, dan komprehensif dalam program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah. Namun tim ini hanya bersifat koordinatif dan bukan merupakan leading actor yang kuat dan eksekutorial dalam menjalankan kebijakan dan program penanganan kemiskinan. RUU Penanganan Fakir Miskin menginginkan adanya kelembagaan yang kuat sehingga dapat menjalankan kebijakan penanganan kemiskinan yang kongkrit dan terukur.
RUU Pengelolaan ZIS
RUU Pengelolaan ZIS bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan zakat, infak, dan shodaqoh. Dalam kerangka yang lebih luas, RUU bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. RUU Pengelolaan ZIS menilai potensi umat Islam dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqoh, sebagai bagian dari kewajiban dan anjuran agama Islam, dapat menjadi instrumen yang medukung upaya untuk memajukan kesejahteraan umum dan pengentasan kemiskinan jika dikelola secara profesional.
Perhitungan yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menunjukkan bahwa potensi zakat umat Islam bisa mencapai 9 trilyun per tahunnya. Bahkan hasil kajian Pusat Bahasa Budaya UIN (PBB UIN) menegaskan pertahun zakat bisa terhimpun sebanyak 19 trilyun. Potensi dana yang demikian besar harus dipungut dan disalurkan secara profesional agar nyata hasil gunanya. Namun sayangnya, riil penerimaan zakat masih jauh dari potensinya (800 Milyar – 1,5 Triliun versi Baznas). Di sisi lain, pendayagunaan ZIS oleh lembaga-lebaga Amil masih diragukan efektifitasnya dalam mewujudkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan.
Banyaknya lembaga sosial penerima dan penyalur ZIS merupakan potensi sumber daya umat Islam dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam persepektif ini mereka adalah mitra pemerintah guna menumbuhkan kesetiakawanan dan kesadaran berbagi/memberikan pertolongan kepada sesama. Namun lembaga-lembaga sosial tersebut harus dipayungi dengan regulasi yang kuat dan profesional sehingga tujuan sosial kewajiban dan anjuran zakat, infaq, dan shodaqoh dapat terpenuhi dengan baik.
Oleh karena itu, RUU merekomendasikan kelembagaan yang profesional dan mandiri dalam pengelolaan ZIS, yaitu dengan memisahkan kelembagaan yang memiliki kewenangan sebagai regulator dan supervisor dan lembaga yang memiliki kewenangan penghimpunan dan pengelolaan. Lembaga-lembaga penghimpun dan pengelola ZIS harus memiliki kualifikasi profesional tertentu dan dievaluasi secara periodik terkait efektifitas kinerja dalam melaksanakan program pengelolaan ZIS.
Sinergi
Muatan RUU Penanganan Fakir Miskin dan RUU Pengelolaan ZIS dapat disinergikan sebagai upaya untuk mengefektifkan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan nasional. Sinergi dapat diwujudkan dalam bentuk pengaturan yang memungkinkan koordinasi dan konsolidasi sumber daya, berupa sumber daya manusia, dana, perumusan program, dan manajemen pengelolaan program.
Koordinasi dan konsolidasi juga penting dilakukan dalam hal data kemiskinan dan peta program/bantuan. Selama ini pemerintah berjalan dengan data-data resmi sementara lembaga-lembaga sosial menghimpun dan mempresentasikan datanya sendiri berdasarkan hasil penelitian yang mereka lakukan secara mandiri. Ketidaksatuan peta program/bantuan menyebabkan program/bantuan kemiskinan tidak merata dan seringkali mengalami redundansi dan overaleaping sehingga tidak akan efektif.
Koordinasi dan konsolidasi sumber daya dapat dilakukan dengan menekankan peran aktif pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi program-program peningkatan kapasitas kelembagaan lembaga-lembaga sosial, khususnya lembaga penerima dan pengelola ZIS. Selain itu, perlu aturan yang memungkinkan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial dapat melakukan kerjasama pemberdayaan masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut, perlu diberikan ruang bagi lembaga-lembaga sosial untuk dapat mengakses dana dan program pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat, baik dalam bentuk block grant maupun specific grant. Pemerintah dapat memberdayakan lembaga-lembaga sosial sebagai pelaksana atau fasilitator program di lapangan. Dengan sinergi tersebut, diyakini potensi kemandirian masyarakat dapat terhimpun sekaligus dapat mengefektifkan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan nasional.
(diterbitkan Republika) Baca Selengkapnya......
RUU Fakir Miskin
H. Jazuli Juwaini, MA,Anggaran kesejahteraan/pengentasan kemiskinan secara agregat di dalam APBN 2009 kurang lebih mencapai Rp66 triliun. Anggaran tersebut akan naik pada alokasi APBN 2010. Filantropi yang dikumpulkan oleh umat Islam melalui kewajiban zakat, infak, sedekah (ziswaf) secara aktual mencapai lebih dari Rp 348,9 miliar/per tahun (Baznas, 2008). Secara potensial jauh lebih besar, bahkan hitungan kasarnya bisa mencapai Rp 10-20 triliun. Umat agama lain memiliki tuntunan yang sama dalam menumbuhkan kedermawanan sosial pemeluknya, dengan jumlah dan besaran yang bervariasi. Berapa dana corporate social responsibility (CSR) yang berhasil disisihkan oleh perusahaan di negara ini? Tidak ada data pasti, tapi diyakini jumlahnya ratusan miliar hingga puluhan triliun.
Apa yang bisa dicerna dari paparan potensi aktual dana pengentasan kemiskinan di atas? Adalah fakta bahwa dana yang berhasil dihimpun dan difokuskan untuk upaya penanggulangan kemiskinan jumlahnya cukup besar, dan jumlah tersebut hanyalah hitungan di atas kertas. Artinya, secara potensial masih sangat besar dana yang bisa dihimpun untuk mengatasi kemiskinan.
Persoalannya, mengapa kemiskinan tetap menggejala di mana-mana? Lembaga resmi se-macam Badan Pusat Statistik (BPS) secara reguler melansir angka kemiskinan yang tren-nya memang menunjukkan penurunan, tetapi fakta lapangan menunjukkan begitu ba-nyak kelompok masyarakat miskin yang tak tersentuh tangan negara. Pun demikian, tidak banyak informasi yang merilis kesuksesan program pengentasan kemiskinan dengan indikator yang jelas: perubahan status kelompok masyarakat miskin menjadi sejahtera sehingga angka kemiskinan menurun drastis. Apa yang salah?
Tingginya angka kemiskinan Indonesia memberikan kontribusi pada rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia. Laporan United Nations Development Program (UNDP) terkait Human Development Index-HDI (Indeks Pembangunan Manusia-IPM), Indonesia menempati posisi ke-108 dari 177 negara di tahun 2007 dengan IPM 0.728, yang masuk kategori menengah.
Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan pengentasan kemiskinan melalui berbagai kebijakan, yang dapat dikelompokkan menjadi lima macam program. Pertama, program pelayanan dasar berupa (1) peningkatan akses dan kualitas pendidikan melalui BOS serta kejar paket, (2) peningkatan layanan kesehatan melalui askeskin dan jamkesmas, (3) peningkatan infrastruktur dasar bagi masyarakat miskin melalui penyediaan rumah dan perbaikan lingkungan kumuh. Kedua, program perlindungan sosial yang ditujukan pada keluarga atau komunitas miskin melalui bantuan langsung tunai (15LT), program keluarga harapan (PKH), dan bantuan kelompok usaha bersama (KUBE).
Ketiga, program penanganan masalah gizi dan pangan melalui kebijakan raskin, posyandu, dan pemenuhan gizi anak. Keempat, program perluasan kesempatan usaha melalui pemberian dana bergulir, lembaga keuangan mikro (LKM), dan kelompok usaha bersama (KUBE). Kelima, program yang bersi fat pemberdayaan, seperti PNPM, program pengembangan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK), serta program pembangunan infrastruktur perdesaan (PPIP).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa banyak kebijakan dan program yang telah dilakukan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, tentu saja disertai pendanaan yang tidak sedikit. Digabungkan dengan upaya swasta dan dunia usaha melalui program CSR-nya serta program bantuan dan pemberdayaan oleh lembaga-lembaga swadaya dan lembaga nonprofit (pengumpul ziswaf dan filantropi lainnya).
Lalu, apa urgensi pembentukan RUU tentang Fakir Miskin atau RUU Kemiskinan, yang masuk dalam daftar Prolegnas 2010 dan kini tengah dibahas di DPR RI? Bukankah semakin banyak undang-undang semakin menambah beban koordinasi dan integrasi kebijakan kemiskinan, apakah UU yang ada tidak memadai, dan apakah RUU ini memiliki manfaut nyata dalam upaya pengentasan kemiskinan?
RUU Fakir Miskin harus dibaca dalam spirit untuk menata guna semua upaya dan potensi pengentasan kemiskinan, yang kini telah berjalan berikut kerangka perbaikannya di masa datang. Kehingga, arsitektur pengentasan kemiskinan Indonesia dapat tergambar dengan jelas. Karena itu, RUU ini harus diarahkan menjadi semacam UU Payung (umbrella rule) yang mengintegrasikan berbagai regulasi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan nasional, tidak hanya yang dijalankan oleh pemerintah (pusat dan daerah), tetapi juga harus mampu mengafirmasi kedermawanan sosial yang dihimpun dari swasta/dunia usaha dan masyarakat.
Untuk tujuan di atas, RUU harus menggariskan desain arsitektur penanggulangan kemiskinan nasional sehingga jelas arah, paradigma, konsep, kebijakan, dan strategi yang komprehensif dan integratif. Selanjutnya, RUU harus menegaskan satu pintu kebijakan perianggulangan kemiskinan nasional sehingga lini yang menjadi leading actor kebijakan menjadi jelas dan tegas. RUU juga penting secara imperatif menetapkan porsi minimal anggaran kesejahteraan/pengentasan kemiskinan dalam APBN dan APBD, Porsi ini penting untuk melakukan akselerasi/percepatan penurunan angka kemiskinan, Tahap awal penetapan minimal anggaran ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan anggaran program kesejahteraan/pengentasan kemiskinan yang sekima ini berada di lintas sektor/departemen/lembaga.
Media : Harian Republika
Edisi : Kamis, 6 Mei 2010
Rubrik :Opini, Hal : 4 Baca Selengkapnya......
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
H. Jazuli Juwaini, MA,KEMISKINAN menjadi salah satu isu internasional utama yang menjadi perhatian pemerintahan di berbagai belahan dunia. Isu ini menjadi semakin penting sejak 189 anggota PBB menyepakati Millennium Development Goals (MDG's) tahun 2000, yang antara lain menegaskan komitmen internasional untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 (29 -14,5% atau 1,2 triliun menjadi 890 milliar). Hal ini diperkuat dalam World Summit on Sustainable Development tahun 2002 yang menegaskan penanggulangan kemiskinan sebagai agenda prioritas dalam pembangunan.
Merespon target MDG's tersebut berbagai paket kebijakan dan program penanggulangan kemis-kinan dicetuskan oleh Pemerintah. Dasar pijaknya tentu saja tinggi-nya angka kemiskinan Indonesia. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir, angka kerniskinan Indonesia pada tahun 2009 sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%), mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 34.96 juta (15%).
Tingginya angka kemiskinan tersebut memaksa pemerintah untuk melakukan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan. Pada awal tahun ini, pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). TNP2K dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Wakil Presiden Boediono sebagai Ketua, didampingi Menko Kesra dan Menko Perekonomian. masing-masing sebagai Wakil Ketua. Serta menteri-menteri/kepala lembaga terkait sebagai anggota. Tim ini bertanggung jawab kepada Presiden.
Pembentukan TNP2K cukup memberikan optimisme karena didasari argumentasi untuk mengatasi kelemahan yang dikandung oleh kebijakan dan program pengentasan kemiskinan selama ini. Kelemahan tersebut adalah tidak adanya desain kebijakan yang integratif, terpadu, dan komprehensif dalam program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah.
Tertera jelas dalam dokumen pembentukannya, tugas TNP2K mencakup titik-titik lemah kebijakan kemiskinan selama ini, yakni: (1) menyusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; (2) melakukan sinergi melalui sinkronisasi,harmonisasi, dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan di kementerian/lembaga; (3) melakukan pengawasan dan pengendalian peiaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan.
Upaya mensinergikan dan mengintegrasikan program-program kemiskinan menjadi catatan penting yang harus dilakukan pemerintah karena selama ini program dan anggaran pro-fakir miskin (pro poor) tersebar di berbagai kementerian/lembaga dan dijalankan secara sektoral/parsial. Melalui TNP2K pemerintah memang telah mengkategori program-pro¬gram pengentasan kemiskinan yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga, akan tetapi masih pedu menunggu langkah kongkrit sinergitas program-program yang ada di lapangan sehingga efektif mengangkat harkat dan martabat fakir miskin.
Berdasarkan tujuan dan sasarannya, terdapat 5 kelompok program penanggulangan kemiskinan pemerintah SBY. Pertama, program pelayanan dasar berupa (1) peningkatan akses dan kualitas pendidikan meialui BOS, kejar paket, dll, (2) peningkatan layanan kesehatan melalui askeskin, jamkesmas, dll. (3} peningkatan insfrastruktur dasar bagi masyarakat miskin meialui penyediaan rumah, perbaikan lingkungan kumuh, dll. Kedua, program perlindungan sosial yang ditujukan pada keluarga atau komunitas miskin melalui bantuan langsung (BLT), program keluarga harapan (PKH). bantuan kelompok usaha bersama(KUBE),dll.
Ketiga, program penanganan masalah gizi dan pangan melalui kebijakan raskin, posyandu, pemenuhan gizi anak. dll. Keempat, program perluasan kesempatan usaha melalui pemberian dana bergulir, lembaga keuangan mikro (LKM), kelempok usaha bersama
(KUBE), dll. Kelima, program yang bersifat pemberdayaan seperti PNPM, program pengem-bangan daerah teringgal dan khusus (P2DTK), program insfrastruktur perdesaan (PPIP), dil. Pertanya-annya, apakah klasifikasi program tersebut telah sinergis, efektif, dan tepat sasaran dalam mengatasi problem kemiskinan di lapangan?
RUU FAKIR MISKIN
Merangkum berbagai pertanyaan dan permasalahan dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan tersebut di atas, DPR RI mengambil inisiatif untuk mengajukan RUU tentang Fakir Miskin. RUU ini telah disetujui masuk dalam daftar Prolegnas 2010, dan kini pembahasannya telah dimulai. RUU ini dapat dimaknai sebagai komitmen DPR (dan Pemerintah) untuk memperkuat kerangka kebijakan percapaian penanggulangan kemiskinan nasional,
RUU Fakir Miskin - dalam perkembangan pembahasan di DPR akan diubah judulnya menjadi RUU Percepatan Penanggulangan Kemiskinan - harus dibaca dalam spirit untuk menataguna semua upaya dan potensi pengentasan kemiskinan nasional sehingga memiliki landasan hukurn yang kuat. RUU ini diarahkan menjadi semacam UU Payung (umbrella rule) yang mengintegrasikan berbagai regulasi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan nasional.
RUU menggariskan desain arsitektur penanggulangan kemiskinan nasional meliputi arah, paradigma konsep, kebijakan, dan strat yang komprehensif dan integral RUU akan menegaskan satu lembagaan nasionai yang menj koordinator dan integrator kebijakan penanggulanan kemiskii nasional sehingga terjadi sinerg dan kepaduan antar sektor kebijakan.
RUU juga penting secara imperatif menetapkan porsi minimal anggaran kesejahteraan/pengentasan kemiskinan dalam APPN dan APBD. Porsi anggaran pro poor ini penting dalam rangka percepatan penurunan angka kemiskinan. Tahap awal penetapan minimal anggaran ini bisa dilakukan dengan mengintegrasi anggaran program kesejahteraan; pengentasan kemiskinan yang selama ini berada di lintas sektor departemen, lembaga.
Terakhir. yang tak kalah penting RUU membangun mekanisme efektif untuk mengintegrasi: program-program berbasis kedermawanan sosial yang dikelola swasta/dunia usaha dan masyarakat ke dalam arsitektur penanggulangan kemiskinan sional. Dengan semua itu. UU Fakir Miskin nantinya diharapkan dapat menjadi payung hukum kuat dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan.
Jazuli Juwaini, Anggota Komisi VIII DPR RI
Media : Harian Radar Banten
Edisi : Rabu, 26 Mei 2010
Rubrik: Wacana Publik, Hal : 2 Baca Selengkapnya......
Bermacam Alasan Ongkos Naik Haji HarusTurun
H. Jazuli Juwaini, MA,Rapat panitia kerja biaya perjalanan ibadah haji {BPIH)antara Komisi VIII dan pemerintah mengalami deadlock dan gagal menentukan BPIH 2010 sesuai jadwal. Biaya naik haji yang sedianya diketok 9 Juni disepakati mundur sampai maksimal tanggal 15 Juni yang akhimya terlewati juga. Sudah menjadi informasi publik bahwa alasan deadlock karena tidak bertemunya aspirasi DPR yang menginginkan biaya naik haji turun USD 150-200. Sementara di pihak lain pemerintah mengajukan proposal biaya naik, haji naik USD 133 dari 2009.
Mengapa Harus Turun?
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2008, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya pemerintah membangun perangkat sistem dan kebi jakan mulai dari pendaftaran, penyediaan fasilitas, hingga pembinaan bagi calon jamaah haji. Pada praktiknya banyak kritik yang dialamatkan terhadap sistem dan kebijakan yang dilaksanakan Kementerian Agama selama ini, utamanya dalam pengelolaan dan efisiensi dana haji.
Sistem pendaftaran melalui Siskohat menganut prinsip first come first served arahnya sudah tepat, tetapi tidak jelas dan tidak transparan dalam memberikan informasi pemanfaatan dana setoran haji serta pemanfaatan dana abadi umat.Dari dana setoran awal saja dengan perhitungan Rp20 juta dikalikan 1.073.996 juta orang, dalam waiting list (Data Kementerian Agama per 3 Mei), saat ini telah terhimpun lebih dari Rp20 triliun. Nominal ini tentu harus ditambahkan perolehan dari jasa dan bagi hasil dari bank penerima setoran.
Sejak April 2009 menteri agama menginvestasikan sebagian besar dana haji dan DAU melalui instrumen surat berharga syariah negara (SBSN) atau lebih dikenal dengan sukuk. Dasar invesiasi tersebut "hanya" berupa MoU antara menteri agama dan menteri ke-uangan. Sukuk memang memberikan imbal jasa yang jauh lebih besar(kisaran 7,6-8,5%)daripada deposito atau instrumen bank lainnya (yang hanya berkisar 5%).
Berdasarkan data Kemenkeu per Mei 2010 jumlah dana haji dan DAU yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk mencapai Rp7,592 triliun.Dari dana tersebut, imbal jasa yang telah diperoleh Kementerian Agama sebesar (netto) Rp205,2 miliar, Dengan dana sebesar itu semestinya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menurunkan biaya haji dan meningkatkan pelayanan, Faktanya ongkos naik haji terus naik tiap tahun, sementara masalah pelayanan selalu berulang: berkutat di soal pemondokan, transportasi, dan katering.
KPK dalam presentasinya di hadapan Komisi VIII menemukan indikasi inefisiensi ratusan miliar dalam pengelolaan dana haji,Dana sebesar itu tidak dikelola dengan prinsip manajemen dan akuntansi yang memadai. Kementerian Agama semestinya memiliki treasury yang kuat didukung sumberdaya manusia yang memahami manajemen dan akuntansi keuangan yang handal dan profesional. Mengacu pada kajian KPK (Januari 2009-Maret 2010) ditemukan fakta SDM pengelola dana haji Kementerian Agama tidak memadai, prinsip pencatatan keuangan tidak akuntabel karena tidak sesuai standar akuntansi keuangan yang lazim, serta tidak ada prosedur standar tentang pengelolaan dana dan pelayanan minimum.
Jika fakta tersebut dijawab dengan baik oleh Kementerian Agama, efisiensi BPIH sangat mungkin dilakukan. Dana optimaiisasi dapat memberikan kontribusi bagi penurunan ongkos naik haji dan perbaikan pelayanan sekaligus. Untuk itu, segera setelah Panja BPIH menetapkan BPIH 2010, Komisi VIII akan segera membentuk Panja Haji yang salah satu butir rekomendasinya adalah pembentukan RUU tentang Pengelolaan Dana Haji.
RUU Pengelolaan Dana Haji akan menegaskan sislem pengelolaan dana haji yang profesional dan akuntabel didukung oleh kapasitas SDM yang memenuhi standar dan memadai. RUU juga mengafirmasi kebutuhan untuk mengoptimalkan dana haji dan DAU melalui instrurnen investasi yang lebih menguntungkan seperti Tabung Haji di Malaysia atau mungkin berbentuk semacam Badan Layanan Umum atau BUMN haji yang beroperasi sesuai prinsip syariah sehingga keuntungan yang diperoleh dapat meringankan beban biaya jamaah dan meningkatkan peiayanan haji.
Penerbangan Haji
Komisi VIII berpendapat bahwa efisieiisi juga dimungkinkan dari komponen penerbangan. Dalam struktur BPIH komponen ini menyerap 50% lebih biaya ibadah haji. Sebagian kalangan menilai penerbangan menjadi tidak efisien karena dilaksanakan secara monopolistik. Penetapan maskapai tidak dilaksanakan melalui mekanisme tender terbuka sehingga tidak terjadi kompetisi harga yang cenderung mengarah pada efisiensi. Pandangan tersebut sah saja dan benar adanya karena selama ini pemerintah hanya menggunakan dua maskapai, Garuda Indonesia dan Saudi Airlines, melalui mekanisme penunjukan.
Faktanya, penawaran harga dua maskapai tersebut selama ini dinilai sangat tinggi (di atas rata-rata harga penerbangan ke Arab Saudi).Tahun ini Garuda menawarkan harga USD1.779 dengan asumsi margin keuntungan 3,01%. Sebagai pembanding, Komisi VIII menerima tawaran harga Batavia Air pada posisi USD1.S20 sehingga ada selisih sekitar USD250 dengan Garuda.
Komisi VIII meminta pemerintah melobi Garuda agar mau menurunkan harga USD150-200 sebagai kontribusi penurunan BPIH tahun ini. Komisi VIII melihat masih banyak celah efisiensi yang dimungkinkan dari komponen penerbangan Garuda. Namun, Garuda baru man menurunkan harga sebesar USD18 sehingga harga hanya turun menjadi USD1.761.
Selanjutnya, Komisi VIII berharap pada 2011 proses tender terbuka bisa dilakukan. Tender terbuka diyakini akan menjadikan biaya penerbangan semakin efisien. Garuda Indonesia tentu siap dengan mekanisme ini karena menang dari segi pengalaman. Hal ini juga mendorong perusahaan plat merah ini semakin profesional dan kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada jamaah haji. Itu akan lebih menarik jika tahun ini Garuda beritikad kuat untuk menurunkan biaya penerbangannya sebagaimana aspirasi Komisi VIII DPR RI dan masyarakat luas.
Komisi VIII juga masih melihat kemungkinan efisiensi di sejumlah komponen indirect cost yang hingga saat ini masih terus diupayakan formulanya dalam rapat Panja BPIH sampai 15 Juni mendatang. Karena itu, penurunan biaya haji adalah hal yang niscaya. Masih banyak potential cost yang dapat dikelola secara efisien.Wallahu'alam.{*) .
Media : Harian Seputar Indonesia
Edisi : Rabu, 16 Juni 2010
Rubrik : Opini, Hal : 6 Baca Selengkapnya......
Revitalisasi Pendidikan Moral
H. Jazuli Juwaini, MA,Hari-hari ini ruang publik kita dipenuhi berita dan informasi yang. menyentakkan kembali kesadaran kita akan fondasi karakter dan moralitas kita sebagai bangsa. Parade korupsi, malapraktik administrasi, pergaulan bebas, narkoba, dan yang paling santer adalah soal praktik pornografi di kalangan selebritis. Di antara praktik dekadensi tersebut menyembul harapan besar akan revitalisasi peran pendidikan sebagai pembentuk karakter dan moralitas bangsa.
Visi Pendidikan Kita
Tujuan utama pendidikan adalah menyertai karakter bangsa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam hal ini pendidikan dimaknai sebagai proses belajar dan adaplasi secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita luhur masyarakat dan diorientasikan untuk menghadapi tantangan eksternal,
Salah satu karakter budaya kuat bangsalndonesia adalah pengamalan dan sikap berpegang teguh atas nilai-nilai religiusitas dan moral dalam dimensikehidupan. Indonesia sejak zaman nenek moyang demikian menjunjung tinggi nilai moral, budaya, dan agama dan ini terjadi di bampir semua suku bangsa yang tercermin dalam adat istiadat yang mereka lakukan.
Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar pembangunan tcrmasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter pembangunan manusia Barat yang seku-ler. Pembangunan SDM kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua lini kehidupan baik privat maupun publik. Hal ini sejalan dengan konsepsi dasar . pendidikan yang diletakkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya (Dewantara,1967).
Mohammad Natsir juga menegaskan makna pendidikan kita yang tidak sekuler dalam salah satu artikelnya di dalam buku Capita Selecta, Natsir mengatakan, yang dinamakan pendidikan ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Natsir, 1954).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945 mengamanatkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan "Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa". UUD 1945 menginginkan karakter manusia Indonesia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cerdas dalam kehidupannya.
Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya dijabarkan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Inilah makna pendidikan yang tidak sekularistik atau pendidikan yang membangun manusia Indonesia seutuhnya yaitu memiliki kekuatan moral, spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Revitalisasi Pendidikan Moral
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.
Pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah "to guide the young towards voluntary personal commitment to values",pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai {Philip H. Phenix, 1964). Yang penting di sini ialah bahwa "commitment to values" atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu diluar hati.
Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini memmtut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Pengembangan "kantin kejujuran" di sejumlah sekolah misalnya merupakan bentuk terobosan kegiatan pendidikan moral. Di sejumlah madrasah bahkan telah pula dikembangkan "kelas kejujuran" di mana siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian tanpa pengawasan guru. Jika hal ini menjadi kesadaran kolektif, kita niscaya tidak akan mendengar lagi"perburuan bocoran kunci jawaban" di setiap ujian nasional (UN) dan dalam jangka panjang dapat membangun karakter moral yang kuat,
Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala-surga dan ancaman dosa-neraka, tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak peserta didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan agama ada Ketika karakter moral telah membudaya, ia akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik,perumusan kebijakan,dan praktik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat,terhindar dari berbagai penyimpangan.Lab internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar meialui kegiatan-kegiatan sederhana, tapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para peserta didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak peserta didik dari perbuatan yang dilarang(amoral). Hal ini tentu saja sangat penting bagi fondasi pembangunan bangsa dimasa depan.Ketika karakter moral telah membudaya, ia akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik, perumusan kebijakan, dan praklik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat, terhindar dari berbagai penyimpangan. Wallahu'alam.(*)
Media : Harian Seputar Indonesia
Edisi : Selasa, 20 Juli 2010
Rubrik : Opini Baca Selengkapnya......
Urgensi Aturan Kerukunan Beragama
H. Jazuli Juwaini, MA, Rabu, 09 Februari 2011Selasa, 23 November 2010
Urgensi Aturan Kerukunan Beragama
Negara secara tegas menjamin kebebasan beragama setiap warga negara dan hal ini termaktub di dalam konstitusi.
Namun di sisi lain, umat beragama wajib mengembangkan sikap penghormatan, penghargaan, dan toleransi antarumat beragama dengan kesadaran dan komitmen menjalan aturan dalam kehidupan beragama yang disepakati bersama. Hal ini penting agar pengamalan kebebasan beragama berjalan dengan baik dan bertanggung jawab.
Merawat Kerukunan
Kerukunan antarumat beragama perlu dirawat. Merawatnya dengan berbagai macam cara, tapi yang terpenting cara itu harus didasari atas kesadaran bersama untuk menjaga segala potensi yang merusak bagunan kerukunan. Oleh karena itu setiap umat beragama harus menyadari bahwa kunci utama merawat bangunan itu adalah dengan saling berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka dan dialogis baik secara informal maupun secara formal.
Secara informal sudah selayaknya dikembangkan forum-forum silaturahmi antarumat beragama yang diinisiasi oleh pemuka-pemuka agama dan disosialisasikan kepada umat masing-masing agama. Di lingkungan masyarakat, interaksi yang terbuka antarumat juga perlu dilakukan secara intensif sebagai bagian dari amal sholeh setiap umat beragama. Karenanya sikap tertutup, tidak bergaul, arogan, dan eksklusif harus dieliminir. Para pemuka agama, kepala lingkungan, tokoh setempat, dan warga masyarakat harus tidak segan-segan menegur dan menasihati warganya yang berperilaku demikian.
Secara formal interaksi dialogis antarumat dapat dilakukan, misalnya, dalam upaya bersama untuk mengatur lalu lintas kehidupan umat dalam menjalankan kebebasan beragama yang bersinggungan dengan kebebasan umat lain di dalam masyarakat. Dalam konteks ini, proses lahirnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang antara lain mengatur pendirian rumah ibadah merupakan contoh baik dari interaksi dan komunikasi dialogis diantara umat beragama di Indonesia.
Proses pembentukan PBM melibatkan para wakil resmi umat beragama di tingkat pusat. Mereka berkomunikasi secara dialogis dalam semangat mewujudkan aturan bersama guna menjaga kerukunan antar umat khususnya dalam hal pendirian rumah ibadah. Para pemuka agama menyadari pentingnya aturan bersama ini karena realitas masyarakat kita yang plural dan majemuk dalam agama, tradisi, budaya, dan adat istiadat. Tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap kerukunan antarumat juga berbeda-beda sehingga seringkali terjadi gesekan terkait isu-isu sensitif termasuk dalam konteks pendirian rumah ibadah.
Yang lebih menggembirakan, berdasarkan pemaparan Menteri Agama di hadapan Komisi VIII dalam kesempatan Raker di DPR RI, draf PBM yang pada awalnya disiapkan oleh pemerintah, pada saat ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006, hampir 90 persen isinya mengalami perubahan subtantif berdasarkan masukan dan musyawarah di antara pemuka-pemuka agama. Bahkan setelah satu tahun dilakukan sosialisasi, para pemuka agama menilai PBM masih multitafsir sehingga diperlukan penjelasan berdasarkan latar belakang (original intent) setiap pasalnya. Pemerintah pun kembali memfasilitasi pemuka-pemuka agama untuk menjelaskan secara bersama-sama setiap pasal dari PBM dan dirumuskan dalam bentuk tanya jawab sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa proses PBM sangat partisipatif dan konstruktif karena membuka ruang seluas-luasnya bagi para pemuka agama untuk mewujudkan aturan bersama berdasarkan kesepakatan bersama di antara pemeluk agama. Pemerintah juga sangat bijaksana dengan tidak mengintervensi subtansi PBM khususnya yang mengatur lalu lintas pelaksanaan ajaran agama.
Pemerintah mampu menempatkan diri sebagai fasilitator yang baik dalam rangka terwujudnya kerukunan antarumat beragama karena sesungguhnya tanggung jawab utama untuk mewujudkan kerukunan antarumat harus muncul dari kalangan umat beragama. Kewajiban pemerintah adalah memberikan fasilitas perlindungan dan pelayanan agar setiap umat menjalankan aturan bersama yang disepakati sepanjang menyangkut lalu lintas kehidupan antarumat beragama dalam menjalankan ajaran agama masing-masing.
Penulis menyambut baik upaya penguatan regulasi tentang kerukunan antarumat beragama menjadi undang-undang dan usulannya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Yang terpenting upaya semacam ini tetap harus mengedepankan partisipasi pemuka-pemuka agama sehingga prosesnya berdasarkan kesepahaman dan kesadaran diantara umat beragama.
Dalam hal ini bukan subtansi ajaran agamanya yang diatur, karena hanya Tuhan yang berhak mengaturnya, tetapi persinggungan-persinggungan antarumat beragama dalam menjalankan ajaran itu yang perlu diatur sehingga setiap orang beragama tidak bisa memberlakukan aturannya sepihak mengingat ada umat agama dan masyarakat lain yang bertetangga dan hidup berdampingan dengannya dengan ajaran agama, tradisi, adat-istiadat yang berbeda-beda.
Aturan dalam kehidupan antarumat beragama penting dan harus ditegakkan agar tidak terjadi tirani mayoritas dan arogansi minoritas atau sebaliknya. Tidak boleh mayoritas memaksakan kehendak. Tidak pula minoritas sewenang-wenang dengan kehendaknya. Prinsip kesetaraan dan persamaan di hadapan hukum harus menjadi pedoman karena kita negara hukum. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, umat beragama, dan pihak-pihak terkait harus berkomitmen menjalankan aturan secara konsekuen. Tidak boleh ada kepentingan politik subjektif yang menghalangi pendirian rumah ibadah misalnya, sepanjang secara prosedural telah memenuhi aturan dan perundang-undangan. Wallahua’lam. (*)
Media : Harian Radar Banten
Edisi : Sabtu, 30 Oktober 2010
Rubrik : Wacana Publik Baca Selengkapnya......
Penguatan Kapasitas Penanggulangan Bencana
H. Jazuli Juwaini, MA,Senin, 20 Desember 2010
Penguatan Kapasitas Penanggulangan Bencana
Sejumlah gunung berapi di beberapa daerah dalam status awas dan waspada. Gempa bumi juga masih mengancam di sejumlah wilayah. Letak dan kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, menjadi penyebab sering terjadinya bencana di Indonesia baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam, maupun faktor manusia.
Kita sebenarnya telah memiliki perangkat regulasi penanggulangan bencana yang komprehensif, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. UU juga mengamanatkan pembentukan lembaga penanggulangan bencana baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam praktek, meskipun UU telah menggariskan ketentuan penanggulangan bencana yang sistematis dan komprehensif, kegiatan penanggulangan bencana masih dominan dilakukan pada tahap tanggap darurat. Persoalan mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi nampak belum menjadi prioritas utama dari aktivitas penanggulangan bencana. Penanganan bencana juga masih mengalami persoalan di sana-sini menyangkut koordinasi, kecepatan pertolongan, ketepatan bantuan, dan kemerataan distribusi (logistik) bantuan.
Faktor Kelembagaan
Berdasarkan UU 24/2007, telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dalam proses pembentukan badan serupa di tingkat daerah di seluruh Indonesia. BNPB juga segera membentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) sebanyak 12 buah unit, di sejumlah kawasan. Rinciannya, di pulau Sumatera dua unit, Sulawesi dua, Kalimantan dua, Jawa-Bali tiga, NTT-NTB satu, Papua dua, dan Maluku satu.
Untuk Indonesia dengan potensi bencana yang luar biasa besar, kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana saat ini masih jauh dari ideal dan perlu ditingkatkan. Dalam kerangka peningkatan tersebut, lembaga penanggulangan bencana baik di tingkat pusat maupun daerah haruslah memiliki cetak biru (blue print) penguatan kapasitas kelembagaan dan standar penanganan bencana yang cepat, tanggap, dan profesional sesuai dengan standar internasional (ISO). Hal ini tentu saja harus didukung oleh pendanaan yang terukur dalam APBN dan APBD.
Kita mendambakan satu lembaga penanggulangan bencana yang didukung SDM terlatih yang siap diterjunkan ke medan tersulit sekalipun, dilengkapi peralatan yang standar dan canggih, dan memiliki pusat aktivitas yang menghimpun segala sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka penanggulangan bencana. Di beberapa negara, pusat penanggulangan bencana mereka bermarkas di pangkalan undara, lengkap dengan peralatan canggihnya, bahkan beberapa didudukung dengan pesawat khusus dan kapal tanker yang berfungsi sebagai penyuplai logistik dan rumah sakit darurat, sebagaimana yang pernah kita saksikan saat mereka ikut membantu dalam proses tanggap darurat Tsunami Aceh-Nias.
Tentu lembaga yang kita miliki tidak mesti langsung seideal mereka, akan tetapi penguatan kapasitas kelembagaan dan penyiapan daya dukung penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara terukur dan terencana sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak bencana yang lebih parah.
Dari segi dukungan anggaran, harus terukur kebutuhan dana berdasarkan kalkulasi dampak bencana. Pendanaan harus direncanakan dengan baik bukan hanya untuk kepentingan tanggap darurat, tetapi juga untuk mitigasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi. Dalam aspek ini perlu digaris-bawahi bahwa tidak boleh ada hambatan teknis dalam pencairan anggaran karena yang dihadapi adalah kedaruratan bencana yang membutuhkan respon cepat guna menyelamatkan kehidupan. Namun di sisi lain, pengelolaan dana bencana harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.
Selanjutnya format dan sistem koordinasi lintas lembaga penanggulangan bencana baik di tingkat pusat maupun daerah harus terus ditingkatkan. Banyaknya lembaga yang menangani bencana dapat menimbulkan tumpang tindih dan kebingungan menyangkut domain tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan bencana.
Koordinasi juga perlu ditingkatkan dengan lembaga-lembaga non-pemerintah yang juga melaksanakan tugas kebencanaan dengan menghimpun dan menyalurkan sumber daya dan bantuan bagi penanggulangan bencana. Hal ini harus dikelola dengan baik dan perlu dibangun format komunikasi dan koordinasi yang efektif sehingga tidak menjadi masalah baru dalam proses penanggulangan bencana.
Faktor Kesiagaan Bencana
UU 24/2007 jelas menegaskan bahwa penanggulangan bencana bukan sekadar aksi tanggap darurat. Akan tetapi juga meliputi proses mitigasi (prabencana) dan rekontruksi-rehabilitasi (pascabencana). Berbagai lembaga penanggulangan bencana harus memberikan prioritas yang proporsional terhadap ketiga tahap penanggulangan bencana tersebut, khususnya pada tahap mitigasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi yang selama ini acapkali terbengkalai.
Kaitannya dengan proses mitigasi, pemerintah harus mengoptimalkan peran partisipatif dari seluruh stakholder bencana, salah satunya dengan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi. Kerjasama dengan perguruan tinggi dapat dilakukan agar dapat mendekati bencana dengan teori ilmu pengetahuan yang ada, yang sebetulnya bisa dijadikan dasar bagi kita untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam rangka perencanaan dan aplikasi penanganan masalah kebencanaan yang lebih baik. Oleh karenanya partisipasi perguruan tinggi menjadi signifikan dalam konteks ini.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bersama dalam kerjasama itu antara lain pentingnya pendataan daerah rawan bencana, pembuatan modul dan sistem informasi dalam penanganan bencana, pelatihan penanganan bencana yang berbasis komunitas dan pemulihan sosial pasca bencana. Dengan pola kerjasama yang sinergis, kita berharap peran pemerintah dalam menanggulangi bencana tidak sekadar menjadi ‘pemadam kebakaran' jika terjadi bencana. Pemerintah dapat lebih berperan pada tahap prabencana dan mampu mengembangkan kesiagaan bencana nasional, khususnya kemampuan pengelolaan bencana.
Sinergi pemerintah dengan seluruh stakeholder kebencanaan juga bisa diarahkan dalam perumusan strategi dan program pendidikan guna mengantisipasi bencana alam sekaligus membangun jaringan stakeholders yang berperan dalam program antisipasi dan pendidikan kebencanaan. Hal ini bisa ditindaklanjuti dengan membentuk satuan tugas (satgas) antisipasi dan pendidikan kebencanaan guna mempercepat dan mengefektifkan implementasi program pendidikan kebencanaan, serta memberdayakan masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang rawan bencana alam, sehingga korban jiwa dan ekonomi dapat direduksi.
Ketidakberdayaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam mengakibatkan besarnya kerugian jiwa dan ekonomi setiap terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan longsor. Karenanya, suatu strategi dan program pendidikan bencana alam sangat mendesak untuk segera dirumuskan, sebagai upaya antisipasi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan strategi yang tepat, diharapkan program pendidikan untuk antisipasi bencana alam dapat dilakukan secara efektif, dan pada akhirnya masyarakat Indonesia dapat lebih berdaya dalam menghadapi serta menyikapi bencana alam.
Media : Koran Radar Banten
Edisi : Rabu, 15 Desember 2010
Rubrik : Wacana Publik