Urgensi Aturan Kerukunan Beragama
H. Jazuli Juwaini, MA, Rabu, 09 Februari 2011Selasa, 23 November 2010
Urgensi Aturan Kerukunan Beragama
Negara secara tegas menjamin kebebasan beragama setiap warga negara dan hal ini termaktub di dalam konstitusi.
Namun di sisi lain, umat beragama wajib mengembangkan sikap penghormatan, penghargaan, dan toleransi antarumat beragama dengan kesadaran dan komitmen menjalan aturan dalam kehidupan beragama yang disepakati bersama. Hal ini penting agar pengamalan kebebasan beragama berjalan dengan baik dan bertanggung jawab.
Merawat Kerukunan
Kerukunan antarumat beragama perlu dirawat. Merawatnya dengan berbagai macam cara, tapi yang terpenting cara itu harus didasari atas kesadaran bersama untuk menjaga segala potensi yang merusak bagunan kerukunan. Oleh karena itu setiap umat beragama harus menyadari bahwa kunci utama merawat bangunan itu adalah dengan saling berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka dan dialogis baik secara informal maupun secara formal.
Secara informal sudah selayaknya dikembangkan forum-forum silaturahmi antarumat beragama yang diinisiasi oleh pemuka-pemuka agama dan disosialisasikan kepada umat masing-masing agama. Di lingkungan masyarakat, interaksi yang terbuka antarumat juga perlu dilakukan secara intensif sebagai bagian dari amal sholeh setiap umat beragama. Karenanya sikap tertutup, tidak bergaul, arogan, dan eksklusif harus dieliminir. Para pemuka agama, kepala lingkungan, tokoh setempat, dan warga masyarakat harus tidak segan-segan menegur dan menasihati warganya yang berperilaku demikian.
Secara formal interaksi dialogis antarumat dapat dilakukan, misalnya, dalam upaya bersama untuk mengatur lalu lintas kehidupan umat dalam menjalankan kebebasan beragama yang bersinggungan dengan kebebasan umat lain di dalam masyarakat. Dalam konteks ini, proses lahirnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang antara lain mengatur pendirian rumah ibadah merupakan contoh baik dari interaksi dan komunikasi dialogis diantara umat beragama di Indonesia.
Proses pembentukan PBM melibatkan para wakil resmi umat beragama di tingkat pusat. Mereka berkomunikasi secara dialogis dalam semangat mewujudkan aturan bersama guna menjaga kerukunan antar umat khususnya dalam hal pendirian rumah ibadah. Para pemuka agama menyadari pentingnya aturan bersama ini karena realitas masyarakat kita yang plural dan majemuk dalam agama, tradisi, budaya, dan adat istiadat. Tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap kerukunan antarumat juga berbeda-beda sehingga seringkali terjadi gesekan terkait isu-isu sensitif termasuk dalam konteks pendirian rumah ibadah.
Yang lebih menggembirakan, berdasarkan pemaparan Menteri Agama di hadapan Komisi VIII dalam kesempatan Raker di DPR RI, draf PBM yang pada awalnya disiapkan oleh pemerintah, pada saat ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006, hampir 90 persen isinya mengalami perubahan subtantif berdasarkan masukan dan musyawarah di antara pemuka-pemuka agama. Bahkan setelah satu tahun dilakukan sosialisasi, para pemuka agama menilai PBM masih multitafsir sehingga diperlukan penjelasan berdasarkan latar belakang (original intent) setiap pasalnya. Pemerintah pun kembali memfasilitasi pemuka-pemuka agama untuk menjelaskan secara bersama-sama setiap pasal dari PBM dan dirumuskan dalam bentuk tanya jawab sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa proses PBM sangat partisipatif dan konstruktif karena membuka ruang seluas-luasnya bagi para pemuka agama untuk mewujudkan aturan bersama berdasarkan kesepakatan bersama di antara pemeluk agama. Pemerintah juga sangat bijaksana dengan tidak mengintervensi subtansi PBM khususnya yang mengatur lalu lintas pelaksanaan ajaran agama.
Pemerintah mampu menempatkan diri sebagai fasilitator yang baik dalam rangka terwujudnya kerukunan antarumat beragama karena sesungguhnya tanggung jawab utama untuk mewujudkan kerukunan antarumat harus muncul dari kalangan umat beragama. Kewajiban pemerintah adalah memberikan fasilitas perlindungan dan pelayanan agar setiap umat menjalankan aturan bersama yang disepakati sepanjang menyangkut lalu lintas kehidupan antarumat beragama dalam menjalankan ajaran agama masing-masing.
Penulis menyambut baik upaya penguatan regulasi tentang kerukunan antarumat beragama menjadi undang-undang dan usulannya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Yang terpenting upaya semacam ini tetap harus mengedepankan partisipasi pemuka-pemuka agama sehingga prosesnya berdasarkan kesepahaman dan kesadaran diantara umat beragama.
Dalam hal ini bukan subtansi ajaran agamanya yang diatur, karena hanya Tuhan yang berhak mengaturnya, tetapi persinggungan-persinggungan antarumat beragama dalam menjalankan ajaran itu yang perlu diatur sehingga setiap orang beragama tidak bisa memberlakukan aturannya sepihak mengingat ada umat agama dan masyarakat lain yang bertetangga dan hidup berdampingan dengannya dengan ajaran agama, tradisi, adat-istiadat yang berbeda-beda.
Aturan dalam kehidupan antarumat beragama penting dan harus ditegakkan agar tidak terjadi tirani mayoritas dan arogansi minoritas atau sebaliknya. Tidak boleh mayoritas memaksakan kehendak. Tidak pula minoritas sewenang-wenang dengan kehendaknya. Prinsip kesetaraan dan persamaan di hadapan hukum harus menjadi pedoman karena kita negara hukum. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, umat beragama, dan pihak-pihak terkait harus berkomitmen menjalankan aturan secara konsekuen. Tidak boleh ada kepentingan politik subjektif yang menghalangi pendirian rumah ibadah misalnya, sepanjang secara prosedural telah memenuhi aturan dan perundang-undangan. Wallahua’lam. (*)
Media : Harian Radar Banten
Edisi : Sabtu, 30 Oktober 2010
Rubrik : Wacana Publik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar