Penguatan Kapasitas Penanggulangan Bencana

Senin, 20 Desember 2010
Penguatan Kapasitas Penanggulangan Bencana

Sejumlah gunung berapi di beberapa daerah dalam status awas dan waspada. Gempa bumi juga masih mengancam di sejumlah wilayah. Letak dan kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, menjadi penyebab sering terjadinya bencana di Indonesia baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam, maupun faktor manusia.
Kita sebenarnya telah memiliki perangkat regulasi penanggulangan bencana yang komprehensif, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. UU juga mengamanatkan pembentukan lembaga penanggulangan bencana baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dalam praktek, meskipun UU telah menggariskan ketentuan penanggulangan bencana yang sistematis dan komprehensif, kegiatan penanggulangan bencana masih dominan dilakukan pada tahap tanggap darurat. Persoalan mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi nampak belum menjadi prioritas utama dari aktivitas penanggulangan bencana. Penanganan bencana juga masih mengalami persoalan di sana-sini menyangkut koordinasi, kecepatan pertolongan, ketepatan bantuan, dan kemerataan distribusi (logistik) bantuan.

Faktor Kelembagaan
Berdasarkan UU 24/2007, telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dalam proses pembentukan badan serupa di tingkat daerah di seluruh Indonesia. BNPB juga segera membentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) sebanyak 12 buah unit, di sejumlah kawasan. Rinciannya, di pulau Sumatera dua unit, Sulawesi dua, Kalimantan dua, Jawa-Bali tiga, NTT-NTB satu, Papua dua, dan Maluku satu.
Untuk Indonesia dengan potensi bencana yang luar biasa besar, kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana saat ini masih jauh dari ideal dan perlu ditingkatkan. Dalam kerangka peningkatan tersebut, lembaga penanggulangan bencana baik di tingkat pusat maupun daerah haruslah memiliki cetak biru (blue print) penguatan kapasitas kelembagaan dan standar penanganan bencana yang cepat, tanggap, dan profesional sesuai dengan standar internasional (ISO). Hal ini tentu saja harus didukung oleh pendanaan yang terukur dalam APBN dan APBD.
Kita mendambakan satu lembaga penanggulangan bencana yang didukung SDM terlatih yang siap diterjunkan ke medan tersulit sekalipun, dilengkapi peralatan yang standar dan canggih, dan memiliki pusat aktivitas yang menghimpun segala sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka penanggulangan bencana. Di beberapa negara, pusat penanggulangan bencana mereka bermarkas di pangkalan undara, lengkap dengan peralatan canggihnya, bahkan beberapa didudukung dengan pesawat khusus dan kapal tanker yang berfungsi sebagai penyuplai logistik dan rumah sakit darurat, sebagaimana yang pernah kita saksikan saat mereka ikut membantu dalam proses tanggap darurat Tsunami Aceh-Nias.
Tentu lembaga yang kita miliki tidak mesti langsung seideal mereka, akan tetapi penguatan kapasitas kelembagaan dan penyiapan daya dukung penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara terukur dan terencana sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak bencana yang lebih parah.
Dari segi dukungan anggaran, harus terukur kebutuhan dana berdasarkan kalkulasi dampak bencana. Pendanaan harus direncanakan dengan baik bukan hanya untuk kepentingan tanggap darurat, tetapi juga untuk mitigasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi. Dalam aspek ini perlu digaris-bawahi bahwa tidak boleh ada hambatan teknis dalam pencairan anggaran karena yang dihadapi adalah kedaruratan bencana yang membutuhkan respon cepat guna menyelamatkan kehidupan. Namun di sisi lain, pengelolaan dana bencana harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.
Selanjutnya format dan sistem koordinasi lintas lembaga penanggulangan bencana baik di tingkat pusat maupun daerah harus terus ditingkatkan. Banyaknya lembaga yang menangani bencana dapat menimbulkan tumpang tindih dan kebingungan menyangkut domain tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan bencana.
Koordinasi juga perlu ditingkatkan dengan lembaga-lembaga non-pemerintah yang juga melaksanakan tugas kebencanaan dengan menghimpun dan menyalurkan sumber daya dan bantuan bagi penanggulangan bencana. Hal ini harus dikelola dengan baik dan perlu dibangun format komunikasi dan koordinasi yang efektif sehingga tidak menjadi masalah baru dalam proses penanggulangan bencana.

Faktor Kesiagaan Bencana
UU 24/2007 jelas menegaskan bahwa penanggulangan bencana bukan sekadar aksi tanggap darurat. Akan tetapi juga meliputi proses mitigasi (prabencana) dan rekontruksi-rehabilitasi (pascabencana). Berbagai lembaga penanggulangan bencana harus memberikan prioritas yang proporsional terhadap ketiga tahap penanggulangan bencana tersebut, khususnya pada tahap mitigasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi yang selama ini acapkali terbengkalai.
Kaitannya dengan proses mitigasi, pemerintah harus mengoptimalkan peran partisipatif dari seluruh stakholder bencana, salah satunya dengan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi. Kerjasama dengan perguruan tinggi dapat dilakukan agar dapat mendekati bencana dengan teori ilmu pengetahuan yang ada, yang sebetulnya bisa dijadikan dasar bagi kita untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam rangka perencanaan dan aplikasi penanganan masalah kebencanaan yang lebih baik. Oleh karenanya partisipasi perguruan tinggi menjadi signifikan dalam konteks ini.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bersama dalam kerjasama itu antara lain pentingnya pendataan daerah rawan bencana, pembuatan modul dan sistem informasi dalam penanganan bencana, pelatihan penanganan bencana yang berbasis komunitas dan pemulihan sosial pasca bencana. Dengan pola kerjasama yang sinergis, kita berharap peran pemerintah dalam menanggulangi bencana tidak sekadar menjadi ‘pemadam kebakaran' jika terjadi bencana. Pemerintah dapat lebih berperan pada tahap prabencana dan mampu mengembangkan kesiagaan bencana nasional, khususnya kemampuan pengelolaan bencana.
Sinergi pemerintah dengan seluruh stakeholder kebencanaan juga bisa diarahkan dalam perumusan strategi dan program pendidikan guna mengantisipasi bencana alam sekaligus membangun jaringan stakeholders yang berperan dalam program antisipasi dan pendidikan kebencanaan. Hal ini bisa ditindaklanjuti dengan membentuk satuan tugas (satgas) antisipasi dan pendidikan kebencanaan guna mempercepat dan mengefektifkan implementasi program pendidikan kebencanaan, serta memberdayakan masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang rawan bencana alam, sehingga korban jiwa dan ekonomi dapat direduksi.
Ketidakberdayaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam mengakibatkan besarnya kerugian jiwa dan ekonomi setiap terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan longsor. Karenanya, suatu strategi dan program pendidikan bencana alam sangat mendesak untuk segera dirumuskan, sebagai upaya antisipasi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan strategi yang tepat, diharapkan program pendidikan untuk antisipasi bencana alam dapat dilakukan secara efektif, dan pada akhirnya masyarakat Indonesia dapat lebih berdaya dalam menghadapi serta menyikapi bencana alam.


Media : Koran Radar Banten
Edisi : Rabu, 15 Desember 2010
Rubrik : Wacana Publik

Baca Selengkapnya......

Selamat Datang Undang-Undang Pelayanan Publik

DPR RI segara mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Publik menjadi undang-undang (UU) pada rapat paripurna mendatang, setelah RUU tersebut mendapat pengesahan dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Rabu (17/6).

Hal ini patut kita syukuri karena pertama, pembahasan RUU ini telah berlangsung lama, sejak tahun 2005, ketika pertama kali RUU masuk ke DPR RI sebagai prioritas legislasi nasional. Kedua, subtansi RUU ini sangat penting karena berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat terkait pelayanan publik dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar. Hadirnya negara dengan segala instrumennya pada prinsipnya adalah untuk melayani warganya. Oleh karena itu, hadirnya UU ini merupakan tonggak bagi perbaikan pelayanan publik di negeri ini, yang harus kita akui masih jauh dari harapan.

Raison d’ etre
Pada hakekatnya, pelayanan publik adalah berbagai aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara berkaitan dengan barang dan jasa publik yang harus disediakan negara. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Meskipun selama 64 tahun bangsa ini telah mengupayakan terwujudnya cita-cita bangsa tersebut, namun bagi sebagian besar kalangan masyarakat cita-cita mulia ini masih jauh dari kenyataan. Rendahnya pelayanan publik di negeri ini telah menghadirkan krisis kepercayaan di tengah masyarakat, sampai-sampai mereka merasakan tidak ada negara dalam kehidupan mereka, kalaupun ada: negara sedang tidur.

Oleh karenanya alasan utama lahirnya UU Pelayanan Publik harus mampu menjawab realitas pelayanan publik yang jauh dari harapan di negeri ini. Realitas pelayanan publik kita antara lain tergambar dari proses yang lama dan berbelit, berbiaya mahal, pelayanan seadanya, sikap pelayan publik yang tidak professional, serta proses penyelesaian sengketa pelayanan yang lama dan cenderung merugikan penerima layanan.

Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik berkat sorotan media secara luas sesungguhnya merupakan fenomena puncak gunung es yang menyembul ke permukaan. Seperti kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni di Serpong Tangerang, lalu muncul kasus dugaan malpraktek medis di rumah sakit yang sama, serta berbagai kasus malpraktek birokrasi yang sering kita dengar dan rasakan sendiri, hal ini merepresentasikan tumpukan persoalan dengan kompleksitas yang tinggi dari minimnya peran birokrasi pemerintah, baik sebagai penyelenggara pelayanan publik secara langsung maupun sebagai regulator.

Realitas pelayanan publik tersebut kita jadikan refleksi serta contoh kasus dalam menyusun pasal demi pasal dalam RUU ini, selain tentu saja kita juga melihat best practice pelayanan publik di sejumlah tempat dan daerah berikut standar-standar pelayanan publik yang berlaku secara nasional maupun internasional. Hasil dari pembahasan tersebut insya Allah sudah tercermin di dalam naskah RUU yang sebentar lagi akan disahkan menjadi undang-undang ini.

Subtansi Penting
Terkait subtansi RUU secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, RUU memberikan defenisi dan ruang lingkup yang jelas terkait pelayanan publik. Pelayanan publik dalam RUU dijelaskan meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Hal ini meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan social, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Lalu siapa penyenggara pelayanan publik yang dicakup dalam RUU ini? Yang menarik, di dalamnya bukan saja mencakup penyedia jasa publik oleh instansi pemerintah, tapi juga oleh badan usaha maupun korporasi yang melaksanakan misi pelayanan publik. Defenisi dan cakupan ini menarik karena menjangkau pelaku pelayanan publik swasta sepanjang yang bersangkutan melaksanakan misi pelayanan publik.

Kedua, RUU memberikan pengaturan yang jelas terkait manajemen organisasi penyelenggara pelayanan publik. Di dalamnya memuat siapa yang bertanggung jawab dan mengkoordinir pelakasanaan pelayanan publik, berikut manajemen pengelolaannya sehingga pelayanan publik memenuhi unsur akuntabilitas publik.

Ketiga, RUU menegaskan hak, kewajiban, dan larangan bagi penyelenggara serta hak dan kewajiban bagi masyarakat. Pelanggaran atas hak, kewajiban, dan larangan tersebut mengandung konsekuensi sanksi yang dirumuskan dalam RUU ini yang dinilai secara cermat akan memberikan efek jera.

Keempat, RUU mengatur jelas dan tegas aspek penyelenggaraan pelayanan publik menyangkut standar pelayanan yang harus dipatuhi dan bagaimana standar pelayanan tersebut dilaksanakan secara konsekuen oleh penyelenggara pelayanan publik. Serta menyangkut pengelolaan pelayanan publik secara umum terkait manajemen informasi, manajemen sarana dan fasilitas, manajemen pelayanan, manajemen biaya dan tarif, manajemen pengaduan, hingga manajemen penilaian dan evaluasi pelayanan publik.

Kelima, RUU menegaskan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik. Partisipasi masyarakat tersebut dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki ruang deliberasi dalam menentukan pelayanan yang mereka inginkan.

Keenam, RUU menjamin hak-hak masyarakat dalam melakukan pengaduan terkait pelayanan publik. RUU memberikan banyak alternatif saluran pengaduan pelayanan publik yaitu langsung kepada penyelenggara dan/atau kepada ombudsman dan/atau kepada dewan perwakilan rakyat sesuai tingkatannya, maupun ke pengadilan jika berupa pelanggaran hukum. Mekanisme pengaduan ke masing-masing lembaga tersebut diatur secara jelas, berikut kewajiban masing-masing lembaga untuk memproses pengaduan dengan tahapan, proses, dan limit waktu yang jelas. Khusus menyangkut lembaga ombudsman, RUU ini memberikan penegasan kewajiban untuk membentuk ombudsman di setiap daerah. Hal ini untuk menjamin pengawasan pelayanan publik hingga ke daerah-daerah.

Dan ketujuh, RUU memberikan sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Jenis-jenis sanksi berupa teguran tertulis, penurunan gaji, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian dari jababatan baik dengan hormat maupun tidak hormat sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan. Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik bisa dikenakan sanksi pembekuan misi dan/atau izin hingga pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Sebaliknya, bagi penerima layanan terdapat ketentuan mendapatkan ganti rugi jika terdapat kerugian sebagaimana diatur dalam RUU ini.

Komitmen Pemimpin dan Aparatur Negara
RUU tentang Pelayanan Publik hanyalah konsep di atas kertas jika pemimpin negara dan aparaturnya tidak memiliki kemauan kuat untuk mengubah kultur birokrasi yang ada. Paradigma birokrasi yang dikembangkan haruslah merupakan paradigma pelayanan. Aparatur negara harus secara tegas menyatakan dirinya sebagai pelayanan masyarakat (civil servant) dan menanggalkan segala kultur aparat atau pejabat yang selalu dan melulu minta dihormati dan dilayani. Kehormatan bagi aparatur adalah ketika mereka mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

RUU Pelayanan Publik telah memberikan aturan yang jelas dan tegas yang diharapkan dapat menjadi panduan (guidance) sekaligus payung hukum bagi siapapun penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan. Pada saat yang sama RUU juga menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik secara baik dan berkualitas. Wallahua’lam.

Baca Selengkapnya......

PEMILU, WAKIL RAKYAT, DAN PERUBAHAN

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS

9 April mendatang, seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih akan memberikan suaranya di tempat-tempat pemungutan suara. Dalam tinjauan pragmatisme politik, pemilu boleh jadi merupakan ajang kontestasi partai politik meraih simpati rakyat. Namun, dalam tinjauan politik perubahan, pemilihan umum sangat penting karena menentukan arah masa depan bangsa. Pilihan rakyat saat ini akan menentukan masa depan pemerintahan (kesejahteraan, pelayanan publik, dan kemajuan bangsa) lima tahun yang akan datang.

Namun sayang, realitas perpolitikan seringkali menampakkan kecenderungan negatif, yang bisa dilihat dari perilaku elit yang korup dan tidak profesional. Sehingga ada semacam apatisme di kalangan masyarakat jika berurusan dengan soal-soal politik dan pemilu. Tulisan ini ingin meluruskan pemaknaan politik sehingga rakyat tidak akan ragu memasuki bilik suara dan memilih wakil rakyat untuk perubahan yang lebih baik.

Anggota DPR sering disebut sebagai wakil rakyat, dan acapkali dinamai sebagai politisi ketimbang sebutan lainnya. Sayangnya istilah politisi - dan juga politik - cenderung berkonotasi negatif. Padahal politik adalah hal lumrah dalam kehidupan, bahkan kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Setiap orang pada dasarnya adalah insan politik. Politik dan politisi menjadi negatif karena yang muncul di permukaan lebih banyak praktek (langgam) politik yang pragmatis dan oportunis, bukan politik untuk perubahan ke arah kebaikan. Ibnu Khaldun (salah satu ilmuwan besar politik Islam) menegaskan: berpolitik adalah sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.

Politik dan politisi sesungguhnya bermakna netral. Orang di balik politik yang menjadikan politik itu baik atau buruk. Jika politisi berlaku profesional dan amanah, maka ia akan senantiasa menghadirkan perubahan ke arah perbaikan. Sebaliknya, jika politisi berlaku khianat dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, maka politik hanya akan menjadi bencana bagi masyarakat dan peradaban.

Ketika tahun 1998 kita menyuarakan reformasi dengan mengganti rezim dan menggulingkan otoritarianisme orde baru, seharusnya tahap berikutnya yang mesti dilakukan adalah menghadirkan rezim baru yang diisi oleh orang-orang yang sadar akan politik perubahan. Mereka menjelma menjadi politisi baik sebagai antitesa politisi busuk yang menghancurkan negara ini di masa lalu. Semakin banyak politisi baik yang terlibat dalam politik perubahan, semakin cepat cita-cita bangsa kita ke arah yang lebih baik tercapai – menjadi negara yang demokratis, adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam konteks ini, kehadiran insan politik (politisi) sebagai anggota DPR/DPD/DPRD harus dimaknai sebagai upaya terlibat dalam politik perubahan. Menjadi anggota dewan hanyalah bermakna orang pertama diantara masyarakatnya. Sama sekali bukan menjadi yang paling utama, paling mulia, paling hebat, dibandingkan masyarakat kebanyakan. Dia akan menjadi utama dan mulia apabila dapat menampilkan politik kebaikan dan mampu menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik (reformasi).

Menjadi anggota dewan bukanlah tujuan, karena pragmatisme dan oportunisme muncul dari sana. Menjadi anggota dewan harus dijadikan kesempatan/peluang untuk menghadirkan perubahan, bukan peluang memanfaatkan kekuasaan dan jabatan. Dengan demikian kekuasaan dan jabatan bisa dipertanggungjawabkan (dengan amanah).

Islam mengajarkan kita agar politisi senantiasa menampilkan langgam politik shahihah (moralis). Sebaliknya melarang langgam politik fasidah (merusak). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menghadirkan perubahan serta menegakkan kebenaran dan kebaikan.

Sebaliknya, politik fasidah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran syari’ah. Politik jenis ini dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan; dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menanggalkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keteraturan. Ia juga menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya.

Semua pihak harus mengakhiri segala upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanyalah cara untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan demi kemakmuran masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Kemakmuran dan martabat tidak mungkin dan tidak pernah bisa dibangun di atas penistaan moral dan etika. Oleh karena itu, mari kita berhenti bereksperimentasi politik yang hanya mengedepankan ambisi kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika. Politik yang bermoral hanya bisa ditegakkan jika setiap politisi memahami peran dan kedudukannya sebagai khalifah. Sebagai khalifah mereka mengemban amanah pemakmuran masyarakat, bangsa, dan negara.

Bagi rakyat pemilih, harus dipahamkan bahwa pemilu adalah manifestasi kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat secara langsung menentukan masa depan bangsa. Mari kita jadikan momentum Pemilu 2009 untuk menghasilkan wakil rakyat yang bersih, peduli, amanah, dan professional. Jangan gadaikan masa depan bangsa dengan memilih calon yang membeli suara rakyat dengan uang receh (money politics) dan sejenisnya.

Baca Selengkapnya......

Menjadikan Pemilu Bermakna

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI 2004-2009/Caleg DPR RI Dapil Banten III


Pemilu 2009 kali ini sesungguhnya memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia khususnya setelah bangsa ini melewati fase reformasi di tahun 1997. Dua kali pemilu setelah reformasi, yakni Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, dicatat dengan tinta emas oleh dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis, meski ada kekurangan di sana-sini. Indonesia menjadi satu negara yang sukses melewati transisi demokrasi tanpa berdarah-darah sebagaimana umumnya dialami negara-negara dunia ketiga lainnya. Hal ini, di satu sisi, menunjukkan kedewasaan politik rakyat Indonesia untuk tidak memilih jalan kekerasan (chaos), namun di sisi lain hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelembagaan politik kita.

Kesuksesan pemilu 1999 dan pemilu 2004 semestinya menjadi titik tolak bagi kita untuk menatap dan melaksanakan pemilu 2009. Masa transisi yang cukup gemilang kita lewati semestinya berlanjut pada fase konsolidasi demokrasi yang lebih solid dan mapan. Artinya, jika di pemilu 1999 dan pemilu 2004 kita masih berkutat pada soal-soal prosedural demokrasi yakni soal teknis pemilu yang luber jurdil, sudah semestinya di pemilu yang akan datang kita harus beranjak pada soal-soal demokrasi subtansial, yaitu bagamaina pemilu dapat menghasilkan kesejahteraan rakyat.

Pemilu untuk kesejahteraan bermakna: bukan hanya pemilu harus berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan, akan tetapi pemilu memang harus ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan. Harga ekonomi (economic cost) yang digelontorkan untuk penyelenggaraan pemilu harus dimaknai sebagai investasi untuk menghasilkan (return of investment) kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif sehingga mampu mensejahterakan rakyat.

Dalam kerangka tujuan di atas maka seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pemilu harus berperan aktif dengan memahami dan memaknai pemilu 2009 lebih dari sekadar pesta demokrasi lima tahunan.
Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Penyelenggara harus mencanangkan target pemilu bukan sekadar memenuhi ukuran-ukuran prosedural demokrasi, seperti pemilu tepat jadwal, logostik terdistribusi, pemilih terdaftar, pemilih tahu mekanisme memilih atau tahu gambar atau nama celeg, serta soal-soal teknis lainnya.
Persoalan-persoalan teknis tersebut perlu/penting tapi tidak cukup (necessary but not sufficient). Lebih dari itu, penyelenggara memiliki tugas penting untuk memastikan setiap pemilih memahami pilihannya dan secara sadar menggunakan hak pilihnya. Oleh karenanya, mengacu pada UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, KPU diwajibkan untuk mengumumkan nama-nama caleg dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Sayangnya, DCT yang dipublikasikan KPU dan dapat diakses publik tidak memuat profil lengkap para calon sehingga tergambar rekam jejak atau track record-nya.

Kedua, partai politik dan caleg. Parpol dan caleg merupakan aktor penting, disamping pemilih, dalam setiap perhelatan pemilu. Sebagai peserta pemilu, parpol dan caleg memainkan peran meraih simpati pemilih agar memperoleh suara dan akhirnya menjadi caleg terpilih (aleg). Peran terpenting yang harus dilakukan parpol dan caleg adalah mengenalkan diri dengan faktor-faktor yang rasional objektif seperti rekam jejak, kontribusi, program riil, dan menjalin ikatan dengan pemilih berdasarkan faktor-faktor objektif dimaksud, bukan dengan paksaan atau imbalan materi (money politics).

Ketiga, pemilih. Pemilihlah aktor sesungguhnya dari pemilu mengingat pemilu berdasarkan konstitusi kita adalah manifestasi dari kadaulatan rakyat. Melalui pemilu rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan melalui figur-figur yang dipilih di balik bilik suara. Jika pemilih memilih calon yang berkualitas dengan komitmen dan kontribusi yang jelas, maka pemerintahan akan berjalan sesuai mandat rakyat tersebut. Sebaliknya, jika rakyat memilih orang yang salah, tidak memiliki rekam jejak atau bahkan memiliki rekam jejak negatif, yang hanya pandai merayu dengan janji-janji kosong, maka pemerintahan tidak akan berjalan amanah dan profesional.

Pemilih harus didorong untuk mengenal calon – sebelum akhirnya memilih – berdasarkan pertimbangan kualitas, kredibilitas, rekam jejak, dan program riil pada masyarakat. Antara pemilih dengan yang dipilih memiliki ikatan kontraktual yang secara kritis harus terus dijaga: pemilih selalu memantau pemenuhan program dan janji caleg serta mengingatkan jika terlewat atau terlupakan. Sementara yang dipilih (parpol atau caleg) harus selalu menjaga amanah rakyat yang telah dibebankan kepadanya lewat pemilu.

Tiga aktor pemilu di atas bisa ditambahkan dengan peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif memberikan edukasi pemilu agar lebih bermakna. Penulis mendukung sepenuhnya inisiatif sejumlah LSM yang melakukan kampanye publik untuk memilih wakil yang tepat dan tolak politisi bermasalah atau politisi busuk. LSM semestinya juga dapat memahamkan masyarakat soal kriteria wakil rakyat yang tepat untuk dipilih.

Akhirnya, jika semua pihak berpartisipasi konstruktif untuk melembagakan demokrasi yang semakin bermakna dan tidak dengan sengaja menodai nilai-nilai pemilu yang luber jurdil, maka transisi demokrasi kita hari ini akan semakin cepat menghasilkan konsolidasi demokrasi bagi kesejahteraan rakyat.

Baca Selengkapnya......

Mempercepat Agenda Reformasi Birokrasi

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi Pemerintahan dan Aparatur DPR RI

Mesin utama pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan adalah birokrasi. Wujud utama pemerintahan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat atau warga negara adalah birokrasi. Demikian sentralnya posisi birokrasi sehingga membicarakan efektifitas pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak bisa dilepaskan dari efektifitas kinerja birokrasi.

Lembaga-lembaga internasional dan para pakar pemerintahan merumuskan konsepsi tentang (birokrasi) pemerintahan dalam dua kategori: good governance dan bad governance. Ambil contoh UNDP menetapkan sembilan prinsip good governance, yaitu: partisipasi, ketaatan hukum (rule of law), transparansi, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan (equity), efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis. Bank Dunia menyederhanakan prinsip good governance menjadi empat, yaitu: akuntabilitas, partisipasi, rule of law, dan transparansi. Birokrasi pemerintahan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut dengan sendirinya masuk dalam kategori bad governance.
Dimana letak Indonesia dalam parameter good governance? Nyatanya, Indonesia belum masuk dalam kategori good governance. Good governance baru sebatas menjadi agenda pemerintah. Birokrasi di Indonesia sering dianggap masih membawa nilai-nilai patrimonial, rekrutmen pegawai belum berdasarkan merit system, tidak memberikan hukuman dan ganjaran berdasarkan prestasi, dan tidak efisien. Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia dikenal sebagai suatu negara dengan biaya ekonomi tinggi.
Penyebabnya ialah pelayanan buruk yang diberikan kepada masyarakat umum. Pelayanan buruk tersebut dikarenakan adanya peraturan yang berlebihan, minimnya transparansi, serta tingkah laku para birokrat yang tidak mendukung untuk menciptakan hukum dan peraturan yang dapat dipatuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat (World Bank, 1992). Karena itu maka tak terlalu mengejutkan jika Indonesia dikategorikan sebagai suatu pemerintahan yang buruk (bad governance).

Capaian kinerja birokrasi tersebut harus mendorong semua pihak, khususnya pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memprioritaskan agenda reformasi birokrasi. Apa saja langkah-langkah percepatan yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya?

Langkah Percepatan Reformasi Birokrasi

Pertama, budaya melayani, bukan dilayani. Warisan sejarah yang feodalistik baik semasa penjajahan Belanda muapun warisan rezim orde baru memang membentuk karakter birokrasi yang berorientasi ke atas atau melayani atasan. Budaya ini harus dikikis dengan budaya baru birokrasi pelayanan. Di negara-negara maju para pegawai pemerintahan disebut sebagai civil servant atau pelayanan masyarakat. Sementara di kita, masih kuat persepsi pegawai sebagai abdi negara yang cenderung menyimpang dalam praktek sebagai abdi penguasa. Istilah pejabat publik semestinya juga harus direvisi dengan pelayanan masyarakat sebagaimana dalam Islam, khalifah sering disebut sebagai qodimatul ummah.

Kedua, proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, dan remunerasi yang professional berdasarkan meritokrasi (merit system) atau keahlian. Birokrasi bukan perusahaan keluarga yang sistem kerja, pengelolaan keuangan, rekrutmen pegawai, dan promosi jabatan bisa berdasarkan kedekatan dan afiliasi keluarga atau keturunan. Birokrasi adalah institusi pemerintah yang harus dijaga dan terjaga netralitasnya dari kepentingan parsial maupun kepentingan politik manapun. Kepentingan birokrasi hanyalah pelayanan optimal terhadap warga negara. Sehingga pelanggaran fatal jika proses birokrasi diintervensi oleh kepentingan politik pegawai atau pejabat publik, baik dalam proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, maupun remunerasi .

Ketiga, pengembangan sistem akuntabilitas. Indikator good governance yang terpenting menurut saya adalah pada poin akuntabiltas karena akuntabilitas dengan kandungan maknanya mencakup poin lainnya khususnya transparansi. Akuntabilitas birokrasi meliputi kinerja pelayanan, keuangan, dan administrasi. Malpraktek birokrasi sering terjadi karena sistem akuntabilitas yang tidak berjalan. Rumusnya sederhana: kewenangan tanpa akuntabilitas akan menghasilkan korupsi.

Keempat, mengingat akuntabilitas seringkali diabaikan maka diperlukan satu sistem pengawasan. Melalui pengawasan akuntabilitas efektif bisa ditegakkan. Dalam konteks ini pengawasan bisa dilakukan oleh beberapa pilar: pengawasan internal (inspektorat), pengawasan eksternal (penegak hukum, lembaga auditor, ombudsmen), dan pengawasan media massa dan opini publik. Birokrasi yang sehat harus memberikan keleluasaan kepada tiga pilar tersebut untuk turut serta secara aktif dalam menegakkan akuntabilitas birokrasi.

Kelima, keempat hal di atas harus ditopang oleh suatu sistem regulasi (perundang-undangan) komprehensif dan sinergis dari pusat hingga daerah yang mementingkan dimensi pelayanan publik. Sejumlah daerah kabupaten/kota telah melakukan terobosan dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) Pelayanan Publik, sebut saja di Yogja, Sragen, Malang. Perda tersebut berisi standar pelayanan publik dan kontrak pelayanan antara pemda setempat dengan masyarakat. Terobosan semacam ini harus kita apresiasi dan harus dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain.

Di tingkat pusat, Komisi II DPR RI saat ini tengah menyelesaikan RUU Pelayanan Publik yang dalam waktu dekat akan disahkan menjadi UU. RUU tersebut diharapkan dapat menjadi payung bagi pelaksanaan pelayanan publik, khususnya oleh birokrasi pemerintahan. Dengan sistem regulasi yang komprehensif dan sinergis diharapkan reformasi birokrasi memiliki pijakan yang kuat.

Terakhir, mengingat warisan kultur feodal yang masih kuat, pelayanan publik yang masih lamban, praktek suap dan korupsi yang masih menggurita dalam birokrasi kita maka langkah-langkah shock therapy perlu digalakkan. Langkah ini, antara lain, tengah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyingkap kasus-kasus korupsi birokrasi dan menjebloskan ke penjara para pejabat publik yang korup. Sayangnya KPK masih belum banyak menjangkau birokrasi eksekutif terlebih di daerah. Karenanya saya mendukung perluasan KPK untuk dibentuk di setiap provinsi dan segera dituntaskannya UU tentang Tipikor agar sinergis dengan upaya percepatan reformasi birokrasi yang sedang berjalan. )i(

Baca Selengkapnya......

Pendidikan Untuk Semua

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS


Realitas pendidikan Indonesia hari ini belum menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Hal ini bisa dilihat dari segi pemerataan akses pendidikan dan dari kualitas mutu pendidikan yang berdampak pada daya saing sdm hasil pendidikan.

Dari segi pemerataan, kenyataannya, mayoritas rakyat belum bisa terlayani atau terjangkau pemerataan pendidikan secara baik khususnya di kalangan ekonomi menengah dan miskin. Bahkan, kalau dicermati, pendidikan di Indonesia masih berpihak pada orang-orang yang secara ekonomi tergolong mampu untuk menikmati fasilitas pendidikan berkualitas tinggi.

Pihak-pihak yang mendapatkan kesempatan menikmati sekolah unggulan atau favorit mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi (PT), mereka adalah anak-anak dari golongan keluarga kaya. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin sulit menjangkau pendidikan bermutu.

Dari segi mutu pendidikan dan kualitas sdm hasil pendidikan, posisi Indonesia masih jauh dari ideal. Hal ini bisa dilihat dari peringkat Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis oleh United Nations Development Program (UNDP). Menurut laporan tersebut memang ada kemajuan dalam pembangunan manusia (human development) di Indonesia dari tahun ke tahun. IPM tahun 1975 sebesar 0,471, tahun 1985 (0,585), tahun 1995 (0,670), dan tahun 2005 (0,728). Namun, kenaikan itu masih kalah dibandingkan dengan negara lain, setidaknya dengan sesama Negara ASEAN.

Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109.

Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tiga indikator yang merupakan indikator kualitas hidup manusia. Ketiganya adalah (1) Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; (2) Indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan (3) indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah.

Berkaitan dengan itu, hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat besar. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta).

Angka kemiskinan tersebut menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.

Berdasarkan data-data di atas nampak jelas, program peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan akses pendidikan harus menjadi prioritas utama khususnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada kelompok miskin. Karenanya pendidikan murah atau bahkan pendidikan gratis harus menjadi konsen kebijkaan publik.

Pendidikan Untuk Semua
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sesungguhnya telah menjadi komitmen bersama. Konstitusi telah mengamanatkan pendidikan merupakan hak warga Negara dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Konstitusi hasil amandemen telah pula mewajibkan pemerintah untuk mengalokasi minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Meskipun demikian, pemerintah tak kunjung mampu memenuhi amanat tersebut karena cekaknya dana APBN sampai akhirnya, di tahun 2009, 20% anggaran pendidikan terpenuhi dengan memasukkan komponen gaji guru dan dosen.

Strategi pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN terus dilakukan oleh pemerintah mengingat Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 menyatakan bahwa selama anggaran pendidikan belum mencapai 20% sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, maka APBN akan selalu bertentangan dengan UUD 1945.

Amanat konstitusi yang diperkuat dengan Putusan MK tersebut sesungguhnya memberikan pesan yang kuat bagi setiap pengambil kebijakan tentang pentingnya pendidikan yang secara implementatif semestinya dapat diwujudkan melalui kemudahan setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan dengan dana yang ditanggung negara.

Sejalan dengan hal tersebut, program pendidikan gratis telah menjadi tema penting sejalan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all). UUD 1945 dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan wajib belajar 9 tahun dan bersamaan dengan itu mewajibkan penggratisan biayanya. Sejumlah daerah telah menggratiskan biaya pendidikan SD dan SMP sebagaimana amanat UUD dan UU tersebut, sebut saja seperti: Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana, dan Kota Yogjakarta. Namun sebagian yang lain belum bisa memenuhi dengan dalih keterbatasan anggaran. Kita yakin pendidikan gratis 9 tahun bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan jika pemerintah pusat dan setiap pemda memiliki komitmen terhadap dunia pendidikan.

Langkah-langkah strategis bisa dilakukan antara lain dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah, pengetatan anggaran, dan pemangkasan anggaran departemen/dinas sehingga benar-benar efektif menunjang program pendidikan gratis.

Bersamaan dengan komitmen pemerintah tersebut, peran partisipatif warga masyarakat melalui kemadirian lokal dan komunitas harus terus didukung. Lahirnya inisiatif sekolah rakyat, sekolah komunitas, dan lain sebagainya sangat membantu mewujudkan tujuan pendidikan untuk semua, sekaligus membantu mengatasi ketaksanggupan pendanaan pemerintah.

Baca Selengkapnya......

Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI/Tim Perumus UU Pembentukan Kota Tangsel



Sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memiliki potensi ideal ditinjau dari berbagai aspek, baik secara ekonomi, sosial politik, kemandirian, manajemen, tata pemerintahan, maupun dari segi kesiapan sdm aparatur dan masyarakat. Dengan potensi ideal tersebut semestinya pemerintahan kota dapat melaksanakan pembangunan secara cepat, tepat sasaran, dan lebih memfokuskan diri pada pelayanan publik dan mengatasi disparitas yang ada.

Dalam rangka ikut memberikan sumbangan pemikiran terhadap proses pembangunan Kota Tangsel, dimana penulis dalam kapasitas sebagai Anggota Komisi Pemerintahan DPR RI ikut mendorong dan membahas UU Pembentukan Kota Tangsel, berikut diulas sejumlah parameter/indikator pokok agar pembentukan daerah otonom, khususnya Kota Tangsel, dapat memenuhi tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pertama, indikator ekonomi. Status otonomi yang diberikan kepada Tangsel harus memberikan dampak langsung pada peningkatan perkapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hak otonomi yang dimiliki sangat memungkinkan daerah untuk berkreasi dalam pembangunan dengan memperhitungkan secara cermat potensi ekonomi. Pemerintah Kota Tangsel harus melakukan perencanaan pembangunan secara bertahap dengan parameter yang tepat. Prioritas pembangunan harus disusun secara cermat mulai dari pembangunan infrastruktur dasar dan seterusnya.

Kedua, indikator sosial politik. Harus dipahami betul bahwa aspirasi pembentukan Tangsel bukan hanya dimonopoli oleh sekelompok elit tertentu, akan tetapi muncul sebagai kesadaran sosial politik seluruh warga dalam rangka membangun dan mensejahterakan daerah. Sehingga siapapun pemimpin Tangsel harus bekerja keras untuk mewujudkan aspirasi kolektif warga masyarakat tersebut. Dengan pemahaman ini, status otonomi Tangsel harus mendorong semakin kuatnya kohesi sosial politik diantara masyarakat. Di sejumlah daerah otonom baru, status otonomi justru menyebabkan perpecahan bahkan berujung konflik horizontal. Hal ini terjadi karena aspirasi otonomi dimaknai sekadar kepentingan politik kekuasaan.

Ketiga, indikator kemandirian. Dalam UU pembentukan daerah otonom baru selalu dimandatkan masa transisi, dimana secara finansial dan administrasi, setiap daerah otonom, termasuk Kota Tangsel, mendapatkan subsidi dari daerah dan/atau provinsi induk. Dalam jangka tertentu, daerah otonom baru harus semakin mantap dan kuat dalam melepaskan diri dari ketergantungan terhadap daerah induk maupun pemerintah pusat. Kemandirian dimaksud bukan hanya secara finansial dan dukungan administrasi pemerintahan akan tetapi tercermin dalam tiga hal yaitu: (1) menyelesaikan masalah sendiri/orientasi masyarakat setempat; (2) dengan inisiatif dan prakarsa solutif masyarakat setempat; serta (3) dengan memanfaat potensi sumber daya setempat.

Keempat indikator organisasi dan manajemen. Status otonomi harus berdampak pada peningkatan dan pertumbuhan organisasi dan manajemen daerah yang berdampak langsung pada kualitas pembangunan. Dengan otonomi seharusnya manajemen daerah harus menjadi semakin efektif dan efisien dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berbagai potensi sumber daya: sumber daya masyarakat, sumber daya aparatur, sumber daya finansial, sumber daya organisasi perangkat, serta prasarana dasar harus semakin tertata dan menghasilkan perbaikan dari waktu ke waktu. Di beberapa daerah pemekaran, keterbatasan SDM Aparatur, Finansial, Organisasi perangkat, dan sarana-prasarana dasar seringkali menjadi masalah besar dan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Patut disyukuri segala potensi sumber daya dimaksud insya Allah tidak ada kendala di Kota Tangsel.

Kelima, indikator jangkauan dan pelayanan. Salah satu alasan utama pembentukan daerah otonom adalah adanya realitas tidak efektif dan efisiennya pelayanan publik, terutama karena jauhnya jarak pemerintahan. Status otonomi harus menjadikan jangkauan pelayanan kepada masyarakat semakin efisien dan efektif karena masyarakat dapat langsung mendapatkan layanan oleh aparat setempat (di daerahnya). Artinya, masyarakat semakin mudah dan murah memenuhi kebutuhannya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pemkot Tangsel harus memantapkan tujuan dasar pemerintahan dalam era otonomi yaitu pelayanan. Pemerintah adalah pelayanan masyarakat (civil servant), bukan abdi negara (yang cenderung melayani penguasa) sebagaimana langgam yang selama ini terjadi.

Keenam, indikator kualitas pelayanan publik. Setelah jangkauan pelayanan semakin dekat, maka kualitas pelayanan harus meningkat sejalan dengan penguatan hak otonomi yang dimiliki daerah otonom baru. Ketersediaan pelayanan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, peningkatan daya beli masyarakat, transportasi dan komunikasi, kependudukan dan lainnya harus secara kualitatif dan kuantitatif mengalami peningkatan. Status otonomi yang tidak berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat harus menjadi tanda tanya besar bagi indikator keberhasilan pembentukan daerah otonom. Pemkot Tangsel dituntut untuk dapat mewujudkan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bahkan, bila menghitung potensi PAD yang dimiliki Kota Tangsel, semestinya kebutuhan dasar tersebut dapat digratiskan.

Ketujuh, indikator good local governance. Musuh utama kewenangan (otonomi) yang melimpah adalah kecenderungan korupsi oleh aparatur pemerintahannya. Oleh karena itu, status otonomi harus membawa efek pada perwujudan tata pemerintahan yang bersih dan baik, bukan sebaliknya justru menyebabkan semakin suburnya korupsi. Good local governance terbentuk jika akuntabilitas pemerintahan daerah semakin baik, transparansi semakin tinggi, prinsip rule of law semakin dapat ditegakkan, partisipasi masyarakat semakin meningkat, pemerintahan yang semakin efisien dan efektif, konflik kepentingan dalam birokrasi dapat dikurangi, dan pengisian jabatan-jabatan karir tidak dipenuhi dengan praktek KKN. Pemkot Tangsel harus mampu menjadi pioner pemerintahan yang bersih, minimal terukur dari kinerja pelaporan keuangan yang setiap tahun diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan terakhir, kedelapan, indikator responsiveness pemerintahan. Status otonomi harus mendorong pemerintahan daerah yang memiliki daya tanggap dalam merumuskan kebutuhan dan potensi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari rencana strategis, program dan implementasi program-program pembangunan. Jika tidak terdapat rencana strategis, program dan implementasi program yang inovatif, maka pembentukan daerah otonom tidak menumbuhkan daya tanggap daerah terhadap potensi dan kebutuhan daerah.

Kedelapan indikator sukses pembangunan daerah otonom baru di atas diharapkan dapat menjadi tolak ukur pembangunan Kota Tangsel yang sama-sama kita cintai. Berkah otonomi sudah sewajarnya tidak berhenti pada euforia pembentukannya semata, melainkan harus diisi dengan kerja-kerja nyata bagi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat Tangsel.

(dimuat di Satelit News, 21/3, Kolom Interupsi)

Baca Selengkapnya......