Berpolitik adalah sarana menuju keteraturan
dan sebuah cara menuju peradaban
-Ibnu Khaldun-
Apa yang ada di benak masyarakat ketika disebut satu kata DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat? Jawabnya beragam. Ada yang mengatakan, DPR adalah lembaga legislasi karena produk undang-undang lahir dari lembaga ini. Ada yang menyebut secara normatif, DPR adalah lembaga perwakilan rakyat, dimana anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Mereka mewakili lebih dari 230 juta lebih penduduk Indonesia. Namun, sebagian besar menyebut DPR adalah lembaga politik, karena anggotanya berasal dari unsur partai politik.
Anggota DPR sering disebut sebagai politisi ketimbang sebutan lainnya. Sayangnya istilah politisi - dan juga politik - cenderung berkonotasi negatif. Padahal politik adalah hal lumrah dalam kehidupan, bahkan kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Setiap orang pada dasarnya adalah insan politik (rajulun siyasi). Politik dan politisi menjadi negatif karena yang muncul di permukaan lebih banyak praktek (langgam) politik yang pragmatis dan oportunis, bukan politik untuk perubahan ke arah kebaikan. Padahal Ibnu Khaldun (salah satu ilmuwan besar politik Islam) mengatakan: berpolitik adalah sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.
Politik oleh sebagian orang disebut sebagai the power of possibility, kekuatan kemungkinan. Apapun ’mungkin’ dalam politik. Sayangngya ’kekuatan kemungkinan’ itu sering disalahartikan berupa aksentuasi berkonotasi negatif, antara lain: ”Dalam politik tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Atau adagium terkenal Lord Acton: ”Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Atau politik ala machiavelis yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan (kekuasaan). Lebih parah lagi, kalangan politisi lebih sering menampilkan perilaku negatif (negative behavior) ketimbang politik yang santun, bermoral, dan bermartabat.
Politik dan politisi sesungguhnya bermakna netral. Man behind the politic yang menjadikan politik itu baik atau buruk. Jika politisi berlaku profesional dan amanah, maka ia akan senantiasa menghadirkan perubahan ke arah perbaikan. Sebaliknya, jika politisi berlaku khianat dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, maka politik hanya akan menjadi bencana bagi masyarakat dan peradaban.
Ketika tahun 1998 kita menyuarakan reformasi dengan mengganti rezim dan menggulingkan otoritarianisme orde baru, seharusnya tahap berikutnya yang mesti dilakukan adalah menghadirkan rezim baru yang diisi oleh orang-orang yang sadar akan politik perubahan. Mereka menjelma menjadi politisi baik sebagai antitesa politisi busuk yang menghancurkan negara ini di masa lalu. Semakin banyak politisi baik yang terlibat dalam politik perubahan, semakin cepat cita-cita bangsa kita ke arah yang lebih baik tercapai – menjadi negara yang demokratis, adil, makmur, dan sejahtera.
Dalam konteks ini, kehadiran insan politik (politisi) di Senayan sebagai anggota DPR harus dimaknai sebagai upaya terlibat dalam politik perubahan. Menjadi anggota dewan hanyalah bermakna primus interpares – orang pertama diantara masyarakatnya. Sama sekali bukan menjadi yang paling utama, paling mulia, paling hebat, dibandingkan masyarakat kebanyakan. Dia akan menjadi utama dan mulia apabila dapat menampilkan politik kebaikan dan mampu menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik (reformasi).
Politik adalah sarana menuju masyarakat utama, kata Plato dan Aristoteles. Untuk itu insan politik harus menjadi insan utama. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip dan etik para politisi. Kehadiran anggota dewan di DPR hanyalah sarana untuk meraih masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum. Politik legislasi, politik anggaran, dan politik pengawasan dewan harus diarahkan pada pemenuhan tujuan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum tersebut, yang notabene menjadi tujuan kita dalam bernegara.
Menjadi anggota dewan bukanlah tujuan, karena pragmatisme dan oportunisme muncul dari sana. Menjadi anggota dewan harus dijadikan kesempatan/peluang untuk menghadirkan perubahan, bukan peluang memanfaatkan kekuasaan dan jabatan. Dengan demikian kekuasaan dan jabatan bisa dipertanggungjawabkan (dengan amanah).
Islam mengajarkan kita agar politisi senantiasa menampilkan langgam politik shahihah (moralis). Sebaliknya melarang langgam politik fasidah (merusak). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menghadirkan perubahan serta menegakkan kebenaran dan kebaikan.
Sebaliknya, politik fasidah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran syari’ah. Politik jenis ini dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan (politik Machiavellis); dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menanggalkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keteraturan. Ia juga menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya.
Semua pihak harus mengakhiri segala upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanyalah cara untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan demi kemakmuran masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Kemakmuran dan martabat tidak mungkin dan tidak pernah bisa dibangun di atas penistaan moral dan etika. Oleh karena itu, mari kita berhenti bereksperimentasi politik yang hanya mengedepankan ambisi kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika.
Setiap orang, termasuk para pejabat negara, politisi, kader dan aktivis partai, adalah khalifah di muka bumi dalam perannya masing-masing. Sebagai khalifah mereka mengemban amanah dakwah. Yah, mereka ada juru dakwah yang (harus) menyeru pada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Dalam hal ini kita akan menemukan hubungan fungsional atau bahkan hubungan organik antara politik dan dakwah. Dakwah merupakan upaya rekonstruksi masyarakat ke arah kebaikan (al-haq). Semua bidang kehidupan merupakan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia merupakan alat dakwah. Kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, gerakan-gerakan sosial budaya, aktivitas keilmuan dan teknologi, pendidikan, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, adalah dakwah itu sendiri. Sehingga kehadiran politisi di DPR sesungguhnya adalah untuk tujuan dakwah: menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Wallahu a’lam.
(Naskah ini diambil dari Prolog Buku "Memimpin Perubahan" karya H. Jazuli Juwaini, MA)
DPR DAN POLITIK PERUBAHAN
H. Jazuli Juwaini, MA, Rabu, 28 Januari 2009
Label:
Visi Politik Parlemen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar