Suara Terbanyak, Prinsip Keadilan, dan Penguatan Demokrasi

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Pansus Pemilu DPR RI dari Fraksi PKS
(Dimuat di Harian Satelit News)


Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan sistem nomor urut dalam menentukan anggota legislatif terpilih seperti yang sebelumnya diatur dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD. Menurut MK, Pasal 214 huruf a, b, c, d, e yang menentukan pemenang pemilu legislatif adalah yang memiliki suara di atas 30% bilangan pembagi pemilih (BPP) dan menduduki nomor urut lebih kecil adalah inkonstitusional. Menurut MK, pasal di atas menguntungkan caleg dengan nomor urut kecil, dan memangkas hak politik rakyat sebagai pemilih.

Putusan MK tersebut mengubah kontestasi politik menjelang Pemilu 2009. Di satu sisi hal ini dinilai meningkatkan suhu persaingan antar celeg dalam internal parpol sehingga berpotensi mengancam soliditas partai dan pada saat yang sama meningkatkan potensi konflik di dalam parpol. Namun di sisi yang lain, Putusan MK ini disambut secara antusias dan positif oleh berbagai kalangan dan dianggap mempunyai implikasi positif bagi rakyat dan bagi partai politik (parpol).

Putusan MK dinilai sebagai kemenangan bagi demokrasi karena dalam Pemilu 2009, suara rakyat akan menjadi lebih berpengaruh dibandingkan putusan dan negosiasi elite parpol sebagaimana langgam yang berlaku sebelumnya. Bagi para calon, Putusan MK mencerminkan keadilan bagi setiap calon. Caleg yang berada pada nomor urut besar memiliki peluang yang sama dengan caleg pada nomor urut di atasnya (nomor urut kecil).

Mengingat Putusan MK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lain, maka sikap yang paling tepat adalah melaksanakan secara konsekuen, menegaskan nilai positifnya, sambil mengantisipasi potensi negatif yang akan muncul.

Dinamika Internal Parpol Menguat
Putusan MK mengurangi peran parpol dalam menentukan calon terpilih. Jika sebelumnya parpol tidak saja hanya berwenang mengajukan daftar nama celeg, namun juga turut menentukan keterpilihan caleg melalui syarat tertentu (batasaan BPP 30%), pada model suara terbanyak penentuan calon terpilih didasarkan pada murni pilihan rakyat. Hal ini mengurangi peran parpol yang selama ini jamak berlaku.

Padahal, model nomor urut dalam tingkat tertentu merupakan mekanisme yang dinilai cukup efektif dalam menegakkan disiplin anggota (Aleg). Aleg memahami bahwa kehadirannya di lembaga legislatif tidak semata-mata peran kampanye dirinya sendiri, melainkan ditentukan parpol (melalui mekanisme nomor urut). Dari sana muncul loyalitas dan disiplin Aleg terhadap parpol.

Memang loyalitas dan disiplin parpol seringkali dipahami publik sebagai pengutamaan kepentingan parsial parpol, pada saat yang sama seringkali menafikan kepentingan rakyat. Hal ini dikritik oleh berbagai kalangan sebagai bentuk penyimpangan fungsi representasi. Aleg bukan lagi merepresentasikan (mewakili) rakyat, melainkan lebih mewakili kepantingan parpol. Sayangnya kepentingan parpol seringkali bertentangan dengan kepentingan rakyat. Yang benar semestinya, disiplin parpol ditegakkan dalam rangka perjuangan kepentingan rakyat. Sehingga jika terdapat Aleg yang melenceng dari garis parpol, yang sejalan dengan kepentingan rakyat, dapat dimintai pertanggung jawaban, bahkan diberikan sanksi yang tegas.

Dengan model suara terbanyak, caleg berlomba meraih suara sebanyak-banyaknya dari pemilih. Mereka akan berusaha dengan segala upaya: dana, jaringan, dan lain sebagainya untuk meraih kemenangan. Implikasinya caleg akan lebih mengandalkan diri pribadi ketimbang parpol. Pada saat yang sama keterikatan caleg terhadap parpol relatif berkurang sehingga dikhawatirkan menurunkan derajat disiplin caleg terhadap parpol pada saat terpilih.
Persoalan kita hari ini adalah masih kuatnya budaya politik sebagian politisi yang tanpa ideologi dan bebas semaunya. Sebagian politisi karena potensi yang dimilikinya, apalagi berhadapan dengan parpol yang lemah dalam disiplin anggota, seringkali berjalan di luar fatsoen politik parpolnya. Dengan sistem suara terbanyak, bisa saja mereka bertentangan dengan garis partai saat pengambilan keputusan di DPR/DPRD. Saat ditegur atau akan diberi sanksi, bukan mustahil mereka dapat pindah fraksi karena partai bukanlah institusi yang penting bagi mereka, apalagi duduknya mereka di parlemen atas dasar pilihan suara terbanyak rakyat dan tidak ditentukan parpol. Tentu saja kita berharap fenomena seperti ini tidak terjadi pada anggota legislatif hasil pemilu mendatang. Jikapun terjadi kita berharap hal ini merupakan fenomena transisi, karena diyakini sistem suara terbanyak akan positif dalam jangka panjang bagi penguatan demokrasi.
Hal lain yang perlu diantisipasi pada masa transisi ini adalah soal manajemen konflik yang muncul akibat persaingan antar-caleg. Melalui sistem suara terbanyak, dinamika persaingan internal dalam partai akan menguat, persaingan antar caleg akan semakin ketat. Persaingan ini adalah hal yang wajar mengingat sistem suara terbanyak menjamin keadilan bagi setiap caleg untuk berkompetisi.

Pemilu ibarat pertandingan, di dalamnya ada kompetisi/persaingan. Namun sistem dan penyelenggara Pemilu harus menjamin kompetisi yang fair (fair competition). Kempetisi fair hanya muncul dari sikap ketaatan pada aturan, sehingga KPU sebagai penyelenggara dituntut untuk membuat aturan – sebagai tindak lanjut pemberlakukan suara terbanyak – yang mampu menjaga fairness, khususnya dalam kampanye, serta potensi konflik dalam penentuan calon terpilih.

Di sisi lain perlu kedewasaan politik baik dari parpol maupun dari para caleg. Segala potensi ketidakharmonisan internal semestinya dapat diantisipasi. Gesekan-gesekan bakal terjadi, tetapi untuk jangka panjang akan mendidik orang untuk semakin sportif dalam menerima kemenangan atau kekalahan. Sportivitas dalam politik sangat diperlukan bagi tegaknya sebuah demokrasi yang kuat dan sehat.

Kebutuhan Kader (Parpol) yang Mengakar
Sistem suara terbanyak mendorong kader parpol – terutama yang menjadi caleg – untuk semakin mengakar di masyarakat. Parpol juga akan semakin terdorong untuk mengajukan caleg-caleg yang berkualitas karena dalam pemilu-pemilu mendatang, figur caleg akan menjadi semakin penting dibandingkan dengan parpol itu sendiri. Bukan hanya caleg, parpol harus juga mulai mengakarkan pengaruhnya di masyarakat. Parpol harus semakin sibuk bekerja untuk masyarakat. Parpol tidak bisa hanya sibuk menjelang pemilu, di saat-saat kampanye, tetapi parpol dituntut untuk setiap hari berada di tengah-tengah masyarakat, bergelut dengan dinamika masyarakat, dan dituntut menyelesaikan (memberikan solusi) pelbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.

Dalam konteks tersebut, sistem suara terbanyak akan mendorong pelembagaan parpol yang semakin kuat. Parpol yang terlembaga diindikasikan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi yang dimilikinya konsekuen. Parpol akan semakin kuat melaksanakan prinsip political constituency, dimana politik adalah sarana memperbaiki kualitas kehidupan konstituen (masyarakat). Parpol akan semakin serius memikirkan dan memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakat. Dengan itu, parpol dituntut untuk menajamkan visi, misi, dan program yang riil dengan kebutuhan masyarakat.

Relasinya dengan pelaksanaan pemilu, parpol yang terlembaga semestinya memahami bahwa salah satu fungsi penting yang dimilikinya adalah sebagai agen rekrutmen elit. Parpol telah melaksanakan fungsi tersebut dengan menyusun daftar caleg yang akan ditawarkan kepada publik pada saat pemilu. Sebagai pemegang otoritas penentu caleg semestinya parpol telah menjaring caleg yang benar-benar berkualitas yang diseleksi melalui mekanisme yang demokratis. Jika mekanisme itu telah ditempuh, maka tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan parpol, karena siapapun yang terpilih adalah kader terbaik parpol.

Comments :

0 komentar to “Suara Terbanyak, Prinsip Keadilan, dan Penguatan Demokrasi”

Posting Komentar