Visi Politik Keummatan H. Jazuli Juwaini, MA

Menghadirkan Moralitas dalam Politik

Moral dan politik dewasa ini ibarat air dengan minyak. Keduanya sulit untuk dipertemukan dalam wadah yang sama. Moral dianggap sebagai aksen yang mewakili keserba-baikan, keserba-sucian dan keserba-murnian. Moral identik dengan agama dan ketuhanan. Ia mewakili dimensi spiritual-transendental yang dalam banyak hal dimonopoli oleh para nabi, sufi, kyai, dan alim ulama. Sementara, politik mewakili hal-hal yang kotor, licik, intrik, manipulasi dan sejenisnya. Ia adalah realitas mondial kemanusiaan yang menganut hukum homo homini lupus dalam rimba belantara persaingan kepentingan sesaat. Makanya, membicarakan moral dalam lanskap praktik politik menjadi naïf kalau bukan uthopia. “Anda tidak akan pernah bersih ketika terjun ke wilayah politik. Hanya ada dua kemungkinan, anda akan tercemar atau anda akan terdampar”, demikian kira-kira ungkapan untuk menggambarkan dunia hitam perpolitikan dewasa ini.

Seorang kyai atau ulama ketika memutuskan untuk terjun ke gelanggang politik akan kehilangan kharismanya sebagai kyai dan ulama di mata masyarakat. Ia, mau tidak mau-suka tidak suka, akan lebih dikenal sebagai politisi (baru) yang kurang lebih tidak ada bedanya dengan politisi-politisi lainnya. Sehingga tidak heran bila orang-orang alim-para ulama (termasuk ilmuwan dan/atau cendekiawan) selalu berusaha mengambil jarak diametral dari politik dan kekuasaan. Politik terlanjur menjadi dunia lain yang berpotensi besar mendegradasi moral dan integritas seseorang. Ia bahkan telah menjadi wilayah yang paling kecil diharapkan mampu menjadi teladan bagi upaya perbaikan (moral) masyarakat.

Apa yang salah dari pemahaman retak antara moral dan politik di atas? Tidak mungkinkah politik yang bermoral mengejawantah dalam praktik sehari-hari?. Mungkinkah politik menjadi sarana perbaikan yang paling bisa diharapkan kedepan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, agaknya kita harus kembali pada cara pandang (paradigma) kita terhadap politik dan perpolitikan sampai dengan saat ini dan mendekonstruksi makna politik menjadi lebih bernilai, bermakna, dan bermartabat.

Dalam dunia politik, untuk sekian puluh tahun, kita mengenal adagium “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Kita juga mengenal untuk sekian lama istilah “penghalalan segala cara dalam politik”. Istilah yang telah menjelma menjadi hukum dan kode etik politik ini lahir dari rahim pemikir politik yang paling berpengaruh sepanjang zaman—terutama bagi para diktator—Nicollo Machiavelli. Bukunya Ill Principe menjadi kitab suci para praktisi politik dan penguasa lalim saat ini. Kita juga hafal di luar kepala adagium yang mengatakan bahwa “Dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Kenyataan bahwa alam pikiran dan pengetahuan kita dijejali oleh sisi kelam dan keji dari politik masih ditambah oleh praktik politik dunia yang sering – untuk tidak mengatakan – selalu diwarnai oleh negative behavior dari para politisi dan penguasa. Dalam politik praktis kita tahu ada politik uang (money politic), manipulasi suara, pembunuhan karakter (character assassination), kongkalikong atau persekongkolan yang dibungkus dengan koalisi atas nama kepentingan bangsa dan negara, dan lain-lain.

Sementara, pada sisi lain, kenyataannya kita tidak pernah mengenal dan/atau diajarkan secara serius dimensi moral dari politik, bagaimana wajah politik yang santun, dan bahwa ada positive behavior dari sejumlah kecil politisi dan penguasa dalam praktik politik di masa lampau maupun saat ini. Secara agak sempurna kita telah terperangkap pada stigmatisasi terhadap suatu konsep, pemahaman, dan implementasi yang seharusnya netral menjadi bias negatif yang sangat mencolok dan berlebihan. Artinya, politik, pada dasarnya, memiliki potensi yang sama untuk menampakkan dua wajahnya: satu wajah jahatnya dan satu wajahnya yang moralis. Dan itu semua bermula dari kesalahan kita dalam memandang dan memaknai politik. Sehingga untuk mengubah kesalahan pemahaman tersebut kita harus mentransformasi dimensi paradigmatik kita tentang politik dan kekuasaan.

Kalau kita telusuri, jagad politik bukanlah sesuatu yang asing buat kita. Jauh-jauh hari Plato dan Aristoteles telah menyebut manusia sebagai “zoon politicon” atau makhluk politik. Dua karya magnum opus, Republic-nya Plato dan Politics-nya Aristoteles, menjelaskan bahwa sejatinya politik itu agung dan mulia yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum.

Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker 1961). Ibnu Khaldun, ilumuwan politik Islam, belakangan menegaskan bahwa kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Berpolitik dilukiskan sebagai sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.

Dengan demikian, politik pada dasarnya merupakan laku lahiriyah manusia yang menjadi sunnatullah eksistensinya di dunia. Secara fundamental, dalam khasanah doktrin Islam, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya yang mengemban tugas isti’maru al-ardh, memakmurkan bumi dengan syariat-Nya. Kalau khalifah kita artikan sebagai kekuasaan, maka untuk mencapai kekuasaan itu politik tidak mungkin dinihilkan. Artinya manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpolitik, karena Allah tidak mengirim atau membebankan amanah sebagai khalifah-Nya kepada selain manusia. Orang yang tidak dapat hidup berkelompok dan dengan modal kebebasannya tidak memiliki kebutuhan politik sama dengan binatang. Maka sifat politik adalah kekhususan manusia. Setiap manusia adalah rajulun siyasi (politisi). Manusia yang tidak mengerti politik adalah bukan lagi manusia dalam arti yang sesungguhnya.

Kenyataannya, mengacu pada doktrin Islam, yang terjadi dalam praksis politik memang ada politik yang benar dan sesuai syari’ah (shahihah) serta politik yang salah dan merusak (fasidah). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan.

Dalam alam demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi yang memberikan mandat kepada para pemimpin sebagian kedaulatannya. Mandat tersebut dengan demikian harus dipertanggungjawabkan secara etik dan moral kepada rakyat. Bahkan dalam Islam, esensi pertanggung jawaban sebuah amanah melampaui tuntutan demokrasi, yaitu bahwa Allah pemegang kedaulatan tertinggi dan pertanggungjawaban terpenting dan tertinggi ada di hadapan-Nya kelak (di lauhul mahfudz). Politik shahihah harus difahami dalam kerangka ini.

Secara diemetral, politik fasidah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran syari’ah. Politik jenis ini dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan (politik Machiavellis); dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menanggalkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keteraturan. Ia juga menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Keunggulan sekaligus kelemahan demokrasi, dalam hal ini, adalah bahwa ia menyediakan ruang yang sama bagi berlakunya dua langgam politik di atas. Prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan, termasuk kebebasan dalam berpolitik. Praktik politik fasidah selama mendapatkan legitimasi, yang tentunya telah dimanipulasi oleh politisi, masih memperoleh ruang dalam alam demokrasi. Apalagi jika legitimasi yang telah dimanipulasi demikian menggurita—sangat kuat dan mengakar luas—dalam masyarakat. Yang terjadi sesungguhnya adalah pemutarbalikan logika dan akal jernih politik; yang jelek kelihatan baik atau yang fasidah kelihatan shahihah. Inilah kekalahan sempurna moralitas politik vis-à-vis dekadensi moral politik.

Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya.

Semua pihak harus mengakhiri segala upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanyalah cara untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan demi kemakmuran masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Kemakmuran dan martabat tidak mungkin dan tidak pernah bisa dibangun di atas penistaan moral dan etika. Oleh karena itu, mari kita berhenti bereksperimentasi politik yang hanya mengedepankan ambisi kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika.

Setiap orang, termasuk para pejabat negara, politisi, kader dan aktivis partai, adalah khalifah di muka bumi dalam perannya masing-masing. Sebagai khalifah mereka mengemban amanah dakwah. Yah, mereka ada juru dakwah yang (harus) menyeru pada kebaikan dan mencegah kemunkaran.

Dalam hal ini kita akan menemukan hubungan fungsional atau bahkan hubungan organik antara politik dan dakwah. Dakwah merupakan upaya rekonstruksi masyarakat ke arah kebaikan (al-haq). Semua bidang kehidupan merupakan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia merupakan alat dakwah. Kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, gerakan-gerakan sosial budaya, aktivitas keilmuan dan teknologi, pendidikan, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, adalah dakwah.
Inilah esensi politik shahihah. Inilah titik temu antara politik dan moral. Inilah aktivitas politik yang mendatangkan kesejahteraan dan martabat. Yakni, ketika politik menjadi sarana dakwah kepada kebenaran dan kebaikan.

Comments :

0 komentar to “Visi Politik Keummatan H. Jazuli Juwaini, MA”

Posting Komentar