Oleh
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi II DPR RI, Anggota Pansus RUU Pemilu DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(Dimuat di Majalah Parlementaria DPR RI)
Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Melalui Pemilu rakyat dapat berpatisipasi langsung dalam menentukan kepemimpinan nasional dan arah pemerintahan dalam mewujudkan good governance. Melalui pemilu yang langsung, umum, babas, rahasia, jujur, dan adil negara telah menjamin prinsip dasar demokrasi, yaitu keterbukaan dan tanggung jawab (akuntabilitas).
Pemilu berkualitas adalah pemilu yang memenuhi prinsip demokrasi dalam dua arasnya sekaligus yakni prosedural dan subtansial. Secara prosedur pemilu dilaksanakan secara tertib oleh penyelenggara yang profesional dan diikuti oleh peserta pemilu (partai politik dan perseorangan) yang terseleksi. Rakyat dapat menyalurkan hak pilihnya di hari pemilihan. Secara subtansial pemilu harus bermakna bagi peningkatan kualitas berdemokrasi, masyarakat memilih berdasarkan kesadaran penuh di atas pemahaman politik, bukan hasil mobilisasi. Peserta pemilu sadar betul bahwa pemilu merupakan sarana penegakan kedaulatan rakyat sehingga suara rakyat demikian bernilai dan berbuah kinerja politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Demokrasi subtansial menjamin akuntabilitas kepemimpinan yang dipilih langsung lewat pemilu.
Sistem yang ingin dibangun oleh pemilu yang demokratis tentu saja sistem yang menjamin partisipasi politik rakyat. Partisipasi tersebut diafirmasi oleh pemerintahan terpilih (eksekutif maupun legislatif) dalam perumusan dan implementasi kebijakan negara. Logika demokrasi adalah logika partisipasi aktif rakyat. Pola interaksi antara negara dan masyarakat sangat dinamis. Terjadi suatu interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Peran negara dalam pengambilan keputusan lebih sebagai mediator atas kompleksitas kepentingan dari kalangan rakyat. Dan pemilu merupakan sarana awal partisipasi politik rakyat.
Perbaikan di Level Undang-Undang
Pemilu 2009 sebentar lagi kita jelang. Dua aspek penting yang harus dicermati dalam menyongsong pemilu 2009 adalah aspek penyelenggara dan penyelenggaraan. Dari sudut penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta struktur hirarkhisnya di daerah untuk pertama kalinya pada pemilu 2009 mendatang merupakan institusi yang baru, yang lebih independen dan lebih profesional sebagaimana ditegaskan dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan, penyelenggara pemilu saat ini memiliki kewenangan penuh menjalankan pemilu melalui instrumen aturan pelaksanaan yang dibuatnya tanpa sedikitpun intervensi pemerintah dan pihak manapun. Penyelenggara pemilu telah pula ditegaskan independensi dan hierarkhinya dengan penyelenggara pemilu di daerah dan memiliki kedudukan permanent (tetap) untuk KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. Anggota penyelenggara pemilu diseleksi secara profesional oleh suatu tim seleksi independen. Kita berharap kualitas anggota KPU dan Bawaslu yang independen benar-benar terealisir dalam penyelenggaraan Pemilu 2009. Penyelenggara harus netral dari semua peserta pemilu dengan mendasarkan putusan pada objektivitas peraturan perundang-undangan.
Dari sudut penyelenggaraan, telah lahir UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta dalam proses penyelesaian/finalisasi UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. UU No 10 Tahun 2008 memberikan aturan yang bersifat progresif meskipun terdapat catatan dalam beberapa hal. Hal positif dan progresif tersebut antara lain dalam aspek: sistem pemilu yakni penegasan sistem proporsional yang lebih menjamin akuntabilitas wakil rakyat dengan penentuan calon terpilih yang mengarah pada suara terbanyak; mekanisme perwujudan keterwakilan perempuan yang lebih maju dengan sistem zipper dalam daftar calon, yakni di setiap tiga orang calon terdapat satu calon perempuan di setiap dapil; dan penyederhanan sistem kepartaian bagi efektifitas pemerintahan melalui pemberlakuan ambang batas partai politik dapat menempatkan wakilnya di parlemen (DPR).
UU No 10 Tahun 2008 mempertajam misi UU Nomor 12 Tahun 2003 untuk mewujudkan keseimbangan keterwakilan penduduk dengan akuntabilitas wakil rakyat. Penajaman akuntabilitas wakil rakyat kepada konstituen dapat dilihat pada cara pemberian suara, keabsahan suara, dan penentuan calon terpilih. Jika sebelumnya tanda coblos di surat suara hanya pada kolom nama calon dinyatakan tidak sah, kini pemberian satu tanda hanya pada kolom nomor urut calon, atau hanya pada kolom nama calon, atau hanya pada kolom nama parpol dinyatakan sah.
Jika sebelumnya nomor urut calon dalam penetapan calon terpilih tidak berlaku hanya untuk calon yang mencapai jumlah suara sah yang sama atau melebihi BPP, kini nomor urut calon tidak berlaku untuk calon yang mencapai jumlah suara sah minimal 30 persen dari BPP. Rumusan UU No 10 Tahun 2008 ini akan memacu setiap calon memperoleh suara sebanyak-banyaknya, diperkirakan lebih banyak anggota DPR hasil Pemilu 2009 akan terpilih berdasarkan jumlah suara yang diperoleh.
Sistem ini diperkirakan juga mendorong pemilih memberikan suara kepada calon yang dikehendaki sehingga pada Pemilu 2009 diperkirakan akan lebih banyak pemilih memberi tanda pada kolom nomor urut calon atau pada kolom nama calon daripada di kolom nama partai. Dengan ini diharapkan para pemilih/konstituen pada setiap dapil akan menuntut pertanggungjawaban kepada wakil rakyat dan para wakil rakyat akan berupaya mempertanggungjawabkan tugasnya kepada konstituen.
Mencermati Persiapan Pemilu 2009
Kesuksesan pemilu terletak pertama-tama pada kesiapan penyelenggara dan mempersiapkan setiap tahapan. UU No 10 Tahun 2008 pasal 4 Ayat (2) menetapkan 10 tahapan pemilu yang meliputi:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
f. kabupaten/kota;
g. masa kampanye;
h. masa tenang;
i. pemungutan dan penghitungan suara;
j. penetapan hasil Pemilu; dan
k. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
l. DPRD kabupaten/kota.
Di luar tahapan tersebut, faktor kesiapan logistik pemilu merupakan faktor penting yang harus dicermati. Pembuatan aturan teknis pelaksanaan dan konsistensi penyelenggara dalam mengawal dan melaksanakan setiap tahapan dan mengadakan logistik pemilu berdasarkan UU Pemilu merupakan faktor penting kesuksesan pemilu mendatang. Terkait hal ini, KPU harus segera menuntaskan sekian aturan pelaksanaan pemilu yang dimandatkan oleh UU Pemilu dan mensosialisasikannya kepada publik. Sementara kritik yang berkembang, KPU lamban dalam menyelesaikan peraturan KPU, bahkan sejumlah peraturan baru selesai atau sulit diakses publik padahal sudah masuk tahapan.
Penyelenggara pemilu harus menyadari bahwa pemilu merupakan pengejawantahan partisipasi rakyat, sehingga perspektif atau sudut pandang penyelenggaraan pemilu haruslah berupaya melakukan optimalisasi partisipasi dan penggunaan hak pilih oleh rakyat. Oleh karena itu, kerja-kerja sosialisasi dan penggalangan partisipasi rakyat dalam pemilu harus menjadi pekerjaan utama penyelenggara. Hak pilih rakyat harus menjadi determinant factor dan batu pijakan (miles stone) dari kerja-kerja penyelenggara. Hak pilih ini tidak boleh dicederai atas nama apapun, apalagi terhambat oleh persoalan-persoalan administrasi (pendaftaran pemilih).
Itulah sebabnya dalam beberapa kesempatan rapat kerja Komisi II DPR dengan KPU dan Bawaslu, penulis dan hampir semua anggota Komisi II mempertanyakan dan mementingkan kerja KPU dalam pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Para anggota Komisi secara khusus meminta perpanjangan penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang menurut jadwal KPU akan dietapkan tanggal 24 Oktober 2008. Hal ini penting untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengevaluasi daftar pemilih. Mengingat masih terdapat laporan banyak diantara masyarakat di berbagai daerah yang belum terdafatar sebagai pemilih. Sementara itu, akurasi dan validitas daftar pemilih yang disusun KPU masih diragukan banyak pihak. Hal ini harus menjadi perhatian penuh KPU untuk memperbaikinya.
KPU diharapkan mengefektifkan sosialisasi DPS-DPT melalui berbagaimacam cara dan melibatkan seluruh stakeholder masyarakat termasuk partai politik. Pasal 36 Ayat (4) UU No 10 Tahun 2008 jelas memerintahkan PPS agar salinan DPS diserahkan kepada wakil peserta pemilu. Demikian juga dalam penyusunan DPT, wakil peserta pemilu juga berhak mendapatkan salinan DPT (vide: Pasal 38 Ayat (4)). Hal ini bermakna agar peserta pemilu ikut berpartisipasi dalam mensosialisasikan DPS-DPT kepada masyarakat. Tentu semua berharap agar di Pemilu mendatang tidak ada calon pemilih yang kehilangan hak pilihnya akibat tidak terdaftar dalam daftar pemilih.
Dalam perspektif yang sama, penyelenggara pemilu diharapkan memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengevaluasi daftar calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, UU No 10 Tahun 2008 Pasal 71 Ayat (3) mewajibkan KPU mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) di sekurang-kurangnya satu media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan daerah.
Pengumuman ini penting bukan hanya sebagai sarana publik mengevaluasi daftar calon bermasalah, lebih dari itu penting sebagai sarana public, khususnya pemilih, untuk mengenal calon wakil mereka di lembaga legislatif. Pengenalan ini penting dalam kerangka political constituency karena kepada para calon pemilih akan memberikan mandatnya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan mereka. UU No 10 Tahun 2008 jelas memberikan ruang bagi publik untuk mengenal, mengkaji, dan mengevaluasi calon sebelum memutuskan pilihan di bilik suara pada 9 April 2009 mendatang. Relasional pemilih dan yang dipilih sudah dimulai sejak pengumuman daftar calon. Selanjutnya diharapkan pemilih sudah mulai melakukan tracking rekam jejak calon, pada saat yang bersamaan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD harus lebih aktif mengenalkan dirinya kepada masyarakat.
Hal krusial lainnya yang mendapatkan atensi publik adalah soal cara pemberian suara dan format surat suara. Terkait pemberian suara, UU No 10 Tahun 2008 Pasal 153 menentukan pemberian suara dengan menandai satu kali. Adapun cara menandai diserahkan kepada KPU dengan memperhatikan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu. Pada awalnya KPU mengusulkan satu cara pemberian suara yaitu mencontreng. Namun cara baru ini dikhawatirkan belum tersosialisasi dengan baik sehingga dikhawatirkan akan banyak kendala dan kesalahan di lapangan yang menyebabkan banyak suara tidak sah. Penulis pribadi meminta KPU mempertimbangkan model mencoblos untuk digunakan kembali mengingat cara baru membutuhkan edukasi yang tidak sebentar, padahal waktu Pemilu semakin dekat. Namun demikian, Penulis menyambut baik keputusan KPU yang pada akhirnya mengabsahkan cara pemberian suara selain mencontreng, yaitu dengan menyilang, melingkari, atau mencoblos. Lebih dari itu, KPU harus tetap memperhatikan dan mencarikan solusi bagi kelompok difabel seperti tunanetera dan tunaaksara yang tetap berharap model mencoblos karena lebih memudahkan bagi mereka.
Terkait format surat suara, prinsip yang harus dikedepankan KPU, selain aspek sekuritas, adalah kemudahan bagi pemilih ketika membuka surat suara di bilik suara, mengingat lonjakan kontestan Pemilu 2009 dari pemilu sebelumnya yaitu sebanyak 38 Parpol (plus 6 Parpol Lokal untuk Aceh). KPU harus melakukan simulasi yang cermat dan menjamin semua lambang Parpol dan daftar calon terbaca dengan jelas.
Faktor kesipan logistik pemilu berikut proses tendernya juga harus menjadi perhatian penyelenggara, mengingat poin inilah yang mencuatkan kasus hukum KPU periode 2004. KPU harus menjamin kuantitas dan kualitas logistik berikut ketepatan waktu pengadaannya melalui proses tender yang profesional dan memilih rakanan yang kompeten dan kredibel. Desakan publik agar KPU tidak menyertakan calon rekanan yang bermasalah pada Pemilu 2004 harus diakomodir oleh KPU. Berbeda dari Pemilu 2004, pada Pemilu mendatang anggota KPU tidak lagi menangani pengadaan perlengkapan pemungutan suara. Pengadaan perlengkapan pemungutan suara berikut proses tendernya merupakan tugas Sekretariat Jenderal (vide: UU No 22 Tahun 2007 Pasal 67 Ayat (2) dan UU No 10 Tahun 2008 Pasal 142 Ayat (4)). Sementara KPU hanya berwenang menetapkan bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan suara (vide: UU No 10 Tahun 2008 Pasal 142 Ayat (3)).
Penutup
Kesadaran pemilih (secara otonom) untuk menggunakan hak pilihnya menjadi parameter kesuksesan Pemilu 2009. Sayangnya berdasarkan sejumlah analisa, survei, dan laporan media, potensi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (voting turnout), dengan berbagai alasannya, cukup tinggi. Oleh karena itu seluruh elemen (penyelenggara, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, ormas) dan khususnya partai politik peserta pemilu harus giat mensosialisasikan Pemilu mendatang. Bagi calon anggota legislatif dan parpol, musim kampanye harus secara otimal dimanfaatkan sebagai sarana mensosialisasikan visi, misi, program kerja dan komitmenya dalam memperbaiki bangsa, sambil mengeleminir pengedepanan faktor primordial dalam mendapatkan dukungan. Dengan demikian, kita berharap pendidikan politik rakyat semakin maju, masyarakat pemilih menjadi semakin objektif dan rasional, dan proses transisi demokrasi akan semakin cepat kita tuntaskan.
Menyongsong Persiapan Pemilu 2009
H. Jazuli Juwaini, MA, Rabu, 28 Januari 2009
Label:
Persiapan Pemilu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar