Perjalanan otonomi daerah (otda) di Indonesia memiliki simpul-simpul kritikal sebagai berikut. Pertama, otonomi daerah telah menjadi kesadaran sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak awal kemerdekaan. Hampir semua UUD dan pemerintahan yang berlaku di negeri ini selalu mencantumkan otonomi sebagai bagian dari asas penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini tak lepas dari kesadaran para pemimpin bangsa bahwa untuk mengatur negara yang demikian luas, yang terbagi dalam berbilang daerah, dengan karagaman potensi di masing-masing daerah, konsep otonomi merupakan konsep yang representatif bagi Indonesia. Kedua, meski telah menjadi kesadaran sejarah dan bernegara, implementasi otda selalu berfluktuasi dan terjadi tarik menarik antara dua kutub desentralisasi dan sentralisasi (dekonsentrasi). Hal ini mengikuti corak kepemimpinan pada masanya serta konteks politik yang mengikutinya.
Ketiga, reformasi politik pada tahun 1997 telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam paradigma, konsep, dan implementasi otonomi daerah. Kran demokrasi terbuka mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat lokal (daerah). Masyarakat berani angkat bicara, memperjuangkan hak-haknya, termasuk hak daerah untuk mendapatkan otonominya, yang selama ini dikooptasi oleh rezim sentralitis dan otoriter (authoritarian regime) orde baru. Era reformasi kemudian dimaknai sebagai capaian terbesar dalam pelaksanaan otonomi daerah sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Inilah era decentralization boom. Diantara capaian yang dimaksud adalah: adanya delegasi kewenangan dan keuangan secara ekstensif dari pusat ke daerah, pengelolaan sumber daya alam dan potensi daerah serta format bagi hasil (perimbangan) pusat-daerah yang lebih berkeadilan, tersalurnya inisitif dan kreativitas (masyarakat) daerah dalam pembangunan, bergairahnya kehidupan dan demokrasi di daerah, hadirnya era pemilihan kepala daerah langsung (pilkadasung), dll.
Keempat, penguatan otonomi di level konsep (hukum perundangan) tidak didukung oleh kesiapan pemerintahan (baik pusat maupun daerah) dan masyarakat. Sehingga capaian otonomi dalam praktek lebih tepat dimaknai sebagai euphoria. Gejala ini sebenarnya adalah hal yang wajar mengingat bangsa Indonesia sedang menjalani proses transisi dari kepolitikan yang otoriter dan sentralistis menuju kepolitikan yang demokratis dan desentralistis. Namun demikian, gejala ini tetap harus diwaspadai.
Ketidaksiapan pemerintahan dan masyarakat ditandai dengan sejumlah fakta, antara lain: Pertama, kegamangan dalam memaknai hakikat otonomi yang dalam praktek menyebabkan meluasnya konflik kewenangan antara pusat dan daerah dan antarpemerintah di daerah. Kedua, kegamangan dalam menempatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan dalam konteks otonomi, sehingga sering terjadi hubungan yang bersifat disharmoni dan cenderung konfliktual.
Ketiga, kecenderungan diabaikannya sistem negara kesatuan yang menuntut kesalinghubungan dan koordinasi antar tingkat pemerintahan. Pemerintahan daerah adalah subsistem dari pemerintahan nasional sehingga mutlak adanya koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi. Pernah terjadi dalam paruh pertama pelaksanaan otonomi pasca reformasi, otonomi seolah-olah dimaknai sebagai ‘keterpisahan’ (mengarah pada quasi sovereignty). Di sisi lain, ada keengganan pemerintah pusat untuk memberikan otonomi sepenuh hati kepada daerah. Sehingga ada nuansa-nuansa resentralisasi dalam paruh kedua pelaksanaan otonomi pasca reformasi. Keempat, terjadinya penyimpangan pelaksanaan otonomi (desentralisasi) sebagai desentralisasi korupsi. Gejala ini merupakan dampak langsung dari kooptasi otonomi oleh elit-elit politik – baik di pusat maupun daerah. Otonomi yang seharusnya dimaknai sebagai proses otonomisasi masyarakat, sehingga berkesejahteraan, dibajak oleh segelintir elit untuk memuaskan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Apa dampaknya? Bukan kesejahteraan masyarakat yang dihasilkan, tetapi meluaskan kegagalan dalam pengelolaan otonomi di banyak daerah.
Perwajahan negatif (negative side) dari otonomi tersebut tentu saja tidak boleh menjadikan kita surut dalam memperjuangkan otonomi. Capaian otonomi yang demikian ekstensif harus menjadi point of no return (satu titik tanpa balik), melainkan satu capaian yang harus terus dikembangkan dengan pengelolaan dan penataan yang lebih baik.
Buku ini menyajikan rentetan peristiwa dalam bingkai analisa tentang perjalanan otonomi daerah dan perwujudan otonomi yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Berjudul “Otonomi Sepenuh Hati,” buku ini berusaha merekonstruksi makna, konsep, dan implementasi otonomi dengan mengajukan sebuah argumen bahwa otonomi harus dimaknai sebagai proses otonomisasi masyarakat menuju kesejahteraan. Dengan dasar ini, para stakeholder harus menjalankan otonomi dengan sepenuh hati tanpa ada upaya untuk membajak otonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Pemerintah pusat dituntut untuk memberikan apa yang benar-benar menjadi hak dan kompetensi daerah. Sebaliknya, pemerintah daerah menerima dan mengoptimalkan dengan penuh komitmen apa-apa yang menjadi hak dan kompetensinya tersebut. Bukan hanya harmonisasi dalam level pemerintahan, otonomi daerah harus memberikan ruang partisipasi dan kontribusi bagi masyarakat, sehingga otonomi benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat.
Otonomi yang kita inginkan bukan otonomi tanpa batas, saling lepas, dan dimaknai sebagai keterpisahan antar satuan pemerintahan, karena kita berkomitmen pada negara kesatuan. Otonomi yang kita maksud juga bukan dalam langgam sentralistis seperti yang pernah kita alami sekian lama dalam cengekeraman orde baru. Otonomi yang kita inginkan adalah otonomi yang hakiki, otonomi dalam arti luas, nyata, dan bertanggung jawab yang sebenarnya, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk tujuan tersebut buku ini menyajikan refleksi atas perjalanan otonomi daerah di Indonesia dengan penekanan pada analisa evaluatif atas pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi berdasarkan dua paket undang-undang. Pertama, otonomi daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999. Kedua, otonomi daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004. Kedua paket undang-undang tersebut menandai era decentralization boom di Indonesia. Yang pertama lahir tepat setelah reformasi dengan segala konteks yang melatarinya. Yang kedua, merupakan revisi atas paket undang-undang otonomi yang pertama, lahir pada masa ‘konsolidasi demokrasi’ yang diawali dan ditandai dengan amandemen UUD 1945. Masing-masing paket undang-undang tersebut memiliki corak yang menonjol dengan nilai plus dan minusnya. Penulis berusaha menyajikan corak tersebut dalam buku ini.
Buku ini secara khusus berusaha mengevaluasi konsep dan implematasi otonomi berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004, sebagai paket undang-undang paling mutakhir yang mengatur otonomi daerah. Secara ringkas, evaluasi atas paket UU tersebut mencakup tujuh aspek penting, yaitu: aspek konsep negara kesatuan yang membingkai otonomi, aspek pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, aspek pengaturan mengenai pilkada, aspek perimbangan keuangan antara pusat dan darah, aspek pengaturan mengenai pemerintahan desa, dan aspek pengawasan dan pembinaan otonomi daerah. Hasil dari evaluasi tersebut diharapkan dapat memberikan perspektif perbaikan bagi pelaksanaan otonomi di masa yang akan datang.
Berkenaan dengan terbitnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004, maka dalam buku cetakan kedua ini penulis melakukan revisi yang bersifat parsial. Maksudnya, naskah asli (sebelum revisi) dalam cetakan pertama tetap ditampilkan dengan diberikan catatan di akhir pembahasan. Hal ini termaktub dalam pembahasan pada Bagian F (tentang Pemilihan Kepala Daerah Langsung) dalam Bab III dan pada analisa mengenai bab Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Bagian IV) dalam Bab IV. Selanjutnya, analisa dan pembahasan khusus UU No. 12 Tahun 2008 tersebut penulis lakukan di bab baru di buku ini (Bab V).
Dengan alur argumentasi di atas, buku ini terbagi menjadi enam bab sebagai berikut:
Bab I Kerangka Normatif Implementasi Otonomi Daerah: Menuju Otonomisasi Masyarakat
Bab II Konsep dan Implementasi Otonomi Daerah Era Transisi: Momentum Desentralisasi?
Bab III Bangunan Konsep UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004: Catatan Perubahan Atas UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999
Bab IV Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004
Bab V Analisa Terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Bab VI Meneguhkan Proses Otonomisasi Masyarakat
Penulis bersyukur kepada Allah SWT atas segala kemurahan-Nya sehingga buku ini dapat selesai dengan baik. Dengan segala kerendahan hati, buku ini penulis sajikan kepada pembaca yang budiman. Tentu saja masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, kritik dan masukan dalam bentuk analisa dan kajian yang lebih konstruktif dan komprehensif akan sangat bermanfaat bagi perbaikan pelaksanaan otonomi daerah di masa datang.
(Naskah ini diambil dari Pengantar Penulis Buku "Otonomi Sepenuh Hati: Catatan Perbaikan Implementasi Otonomi" karya H. Jazuli Juwaini, MA)
Otonomi Sepenuh Hati
H. Jazuli Juwaini, MA, Rabu, 28 Januari 2009
Label:
Visi Otonomi Daerah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar