Selamat Datang Undang-Undang Pelayanan Publik

DPR RI segara mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Publik menjadi undang-undang (UU) pada rapat paripurna mendatang, setelah RUU tersebut mendapat pengesahan dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Rabu (17/6).

Hal ini patut kita syukuri karena pertama, pembahasan RUU ini telah berlangsung lama, sejak tahun 2005, ketika pertama kali RUU masuk ke DPR RI sebagai prioritas legislasi nasional. Kedua, subtansi RUU ini sangat penting karena berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat terkait pelayanan publik dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar. Hadirnya negara dengan segala instrumennya pada prinsipnya adalah untuk melayani warganya. Oleh karena itu, hadirnya UU ini merupakan tonggak bagi perbaikan pelayanan publik di negeri ini, yang harus kita akui masih jauh dari harapan.

Raison d’ etre
Pada hakekatnya, pelayanan publik adalah berbagai aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara berkaitan dengan barang dan jasa publik yang harus disediakan negara. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Meskipun selama 64 tahun bangsa ini telah mengupayakan terwujudnya cita-cita bangsa tersebut, namun bagi sebagian besar kalangan masyarakat cita-cita mulia ini masih jauh dari kenyataan. Rendahnya pelayanan publik di negeri ini telah menghadirkan krisis kepercayaan di tengah masyarakat, sampai-sampai mereka merasakan tidak ada negara dalam kehidupan mereka, kalaupun ada: negara sedang tidur.

Oleh karenanya alasan utama lahirnya UU Pelayanan Publik harus mampu menjawab realitas pelayanan publik yang jauh dari harapan di negeri ini. Realitas pelayanan publik kita antara lain tergambar dari proses yang lama dan berbelit, berbiaya mahal, pelayanan seadanya, sikap pelayan publik yang tidak professional, serta proses penyelesaian sengketa pelayanan yang lama dan cenderung merugikan penerima layanan.

Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik berkat sorotan media secara luas sesungguhnya merupakan fenomena puncak gunung es yang menyembul ke permukaan. Seperti kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni di Serpong Tangerang, lalu muncul kasus dugaan malpraktek medis di rumah sakit yang sama, serta berbagai kasus malpraktek birokrasi yang sering kita dengar dan rasakan sendiri, hal ini merepresentasikan tumpukan persoalan dengan kompleksitas yang tinggi dari minimnya peran birokrasi pemerintah, baik sebagai penyelenggara pelayanan publik secara langsung maupun sebagai regulator.

Realitas pelayanan publik tersebut kita jadikan refleksi serta contoh kasus dalam menyusun pasal demi pasal dalam RUU ini, selain tentu saja kita juga melihat best practice pelayanan publik di sejumlah tempat dan daerah berikut standar-standar pelayanan publik yang berlaku secara nasional maupun internasional. Hasil dari pembahasan tersebut insya Allah sudah tercermin di dalam naskah RUU yang sebentar lagi akan disahkan menjadi undang-undang ini.

Subtansi Penting
Terkait subtansi RUU secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, RUU memberikan defenisi dan ruang lingkup yang jelas terkait pelayanan publik. Pelayanan publik dalam RUU dijelaskan meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Hal ini meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan social, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Lalu siapa penyenggara pelayanan publik yang dicakup dalam RUU ini? Yang menarik, di dalamnya bukan saja mencakup penyedia jasa publik oleh instansi pemerintah, tapi juga oleh badan usaha maupun korporasi yang melaksanakan misi pelayanan publik. Defenisi dan cakupan ini menarik karena menjangkau pelaku pelayanan publik swasta sepanjang yang bersangkutan melaksanakan misi pelayanan publik.

Kedua, RUU memberikan pengaturan yang jelas terkait manajemen organisasi penyelenggara pelayanan publik. Di dalamnya memuat siapa yang bertanggung jawab dan mengkoordinir pelakasanaan pelayanan publik, berikut manajemen pengelolaannya sehingga pelayanan publik memenuhi unsur akuntabilitas publik.

Ketiga, RUU menegaskan hak, kewajiban, dan larangan bagi penyelenggara serta hak dan kewajiban bagi masyarakat. Pelanggaran atas hak, kewajiban, dan larangan tersebut mengandung konsekuensi sanksi yang dirumuskan dalam RUU ini yang dinilai secara cermat akan memberikan efek jera.

Keempat, RUU mengatur jelas dan tegas aspek penyelenggaraan pelayanan publik menyangkut standar pelayanan yang harus dipatuhi dan bagaimana standar pelayanan tersebut dilaksanakan secara konsekuen oleh penyelenggara pelayanan publik. Serta menyangkut pengelolaan pelayanan publik secara umum terkait manajemen informasi, manajemen sarana dan fasilitas, manajemen pelayanan, manajemen biaya dan tarif, manajemen pengaduan, hingga manajemen penilaian dan evaluasi pelayanan publik.

Kelima, RUU menegaskan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik. Partisipasi masyarakat tersebut dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki ruang deliberasi dalam menentukan pelayanan yang mereka inginkan.

Keenam, RUU menjamin hak-hak masyarakat dalam melakukan pengaduan terkait pelayanan publik. RUU memberikan banyak alternatif saluran pengaduan pelayanan publik yaitu langsung kepada penyelenggara dan/atau kepada ombudsman dan/atau kepada dewan perwakilan rakyat sesuai tingkatannya, maupun ke pengadilan jika berupa pelanggaran hukum. Mekanisme pengaduan ke masing-masing lembaga tersebut diatur secara jelas, berikut kewajiban masing-masing lembaga untuk memproses pengaduan dengan tahapan, proses, dan limit waktu yang jelas. Khusus menyangkut lembaga ombudsman, RUU ini memberikan penegasan kewajiban untuk membentuk ombudsman di setiap daerah. Hal ini untuk menjamin pengawasan pelayanan publik hingga ke daerah-daerah.

Dan ketujuh, RUU memberikan sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Jenis-jenis sanksi berupa teguran tertulis, penurunan gaji, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian dari jababatan baik dengan hormat maupun tidak hormat sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan. Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik bisa dikenakan sanksi pembekuan misi dan/atau izin hingga pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Sebaliknya, bagi penerima layanan terdapat ketentuan mendapatkan ganti rugi jika terdapat kerugian sebagaimana diatur dalam RUU ini.

Komitmen Pemimpin dan Aparatur Negara
RUU tentang Pelayanan Publik hanyalah konsep di atas kertas jika pemimpin negara dan aparaturnya tidak memiliki kemauan kuat untuk mengubah kultur birokrasi yang ada. Paradigma birokrasi yang dikembangkan haruslah merupakan paradigma pelayanan. Aparatur negara harus secara tegas menyatakan dirinya sebagai pelayanan masyarakat (civil servant) dan menanggalkan segala kultur aparat atau pejabat yang selalu dan melulu minta dihormati dan dilayani. Kehormatan bagi aparatur adalah ketika mereka mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

RUU Pelayanan Publik telah memberikan aturan yang jelas dan tegas yang diharapkan dapat menjadi panduan (guidance) sekaligus payung hukum bagi siapapun penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan. Pada saat yang sama RUU juga menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik secara baik dan berkualitas. Wallahua’lam.

Baca Selengkapnya......

PEMILU, WAKIL RAKYAT, DAN PERUBAHAN

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS

9 April mendatang, seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih akan memberikan suaranya di tempat-tempat pemungutan suara. Dalam tinjauan pragmatisme politik, pemilu boleh jadi merupakan ajang kontestasi partai politik meraih simpati rakyat. Namun, dalam tinjauan politik perubahan, pemilihan umum sangat penting karena menentukan arah masa depan bangsa. Pilihan rakyat saat ini akan menentukan masa depan pemerintahan (kesejahteraan, pelayanan publik, dan kemajuan bangsa) lima tahun yang akan datang.

Namun sayang, realitas perpolitikan seringkali menampakkan kecenderungan negatif, yang bisa dilihat dari perilaku elit yang korup dan tidak profesional. Sehingga ada semacam apatisme di kalangan masyarakat jika berurusan dengan soal-soal politik dan pemilu. Tulisan ini ingin meluruskan pemaknaan politik sehingga rakyat tidak akan ragu memasuki bilik suara dan memilih wakil rakyat untuk perubahan yang lebih baik.

Anggota DPR sering disebut sebagai wakil rakyat, dan acapkali dinamai sebagai politisi ketimbang sebutan lainnya. Sayangnya istilah politisi - dan juga politik - cenderung berkonotasi negatif. Padahal politik adalah hal lumrah dalam kehidupan, bahkan kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Setiap orang pada dasarnya adalah insan politik. Politik dan politisi menjadi negatif karena yang muncul di permukaan lebih banyak praktek (langgam) politik yang pragmatis dan oportunis, bukan politik untuk perubahan ke arah kebaikan. Ibnu Khaldun (salah satu ilmuwan besar politik Islam) menegaskan: berpolitik adalah sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.

Politik dan politisi sesungguhnya bermakna netral. Orang di balik politik yang menjadikan politik itu baik atau buruk. Jika politisi berlaku profesional dan amanah, maka ia akan senantiasa menghadirkan perubahan ke arah perbaikan. Sebaliknya, jika politisi berlaku khianat dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, maka politik hanya akan menjadi bencana bagi masyarakat dan peradaban.

Ketika tahun 1998 kita menyuarakan reformasi dengan mengganti rezim dan menggulingkan otoritarianisme orde baru, seharusnya tahap berikutnya yang mesti dilakukan adalah menghadirkan rezim baru yang diisi oleh orang-orang yang sadar akan politik perubahan. Mereka menjelma menjadi politisi baik sebagai antitesa politisi busuk yang menghancurkan negara ini di masa lalu. Semakin banyak politisi baik yang terlibat dalam politik perubahan, semakin cepat cita-cita bangsa kita ke arah yang lebih baik tercapai – menjadi negara yang demokratis, adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam konteks ini, kehadiran insan politik (politisi) sebagai anggota DPR/DPD/DPRD harus dimaknai sebagai upaya terlibat dalam politik perubahan. Menjadi anggota dewan hanyalah bermakna orang pertama diantara masyarakatnya. Sama sekali bukan menjadi yang paling utama, paling mulia, paling hebat, dibandingkan masyarakat kebanyakan. Dia akan menjadi utama dan mulia apabila dapat menampilkan politik kebaikan dan mampu menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik (reformasi).

Menjadi anggota dewan bukanlah tujuan, karena pragmatisme dan oportunisme muncul dari sana. Menjadi anggota dewan harus dijadikan kesempatan/peluang untuk menghadirkan perubahan, bukan peluang memanfaatkan kekuasaan dan jabatan. Dengan demikian kekuasaan dan jabatan bisa dipertanggungjawabkan (dengan amanah).

Islam mengajarkan kita agar politisi senantiasa menampilkan langgam politik shahihah (moralis). Sebaliknya melarang langgam politik fasidah (merusak). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menghadirkan perubahan serta menegakkan kebenaran dan kebaikan.

Sebaliknya, politik fasidah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran syari’ah. Politik jenis ini dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan; dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menanggalkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keteraturan. Ia juga menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya.

Semua pihak harus mengakhiri segala upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanyalah cara untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan demi kemakmuran masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Kemakmuran dan martabat tidak mungkin dan tidak pernah bisa dibangun di atas penistaan moral dan etika. Oleh karena itu, mari kita berhenti bereksperimentasi politik yang hanya mengedepankan ambisi kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika. Politik yang bermoral hanya bisa ditegakkan jika setiap politisi memahami peran dan kedudukannya sebagai khalifah. Sebagai khalifah mereka mengemban amanah pemakmuran masyarakat, bangsa, dan negara.

Bagi rakyat pemilih, harus dipahamkan bahwa pemilu adalah manifestasi kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat secara langsung menentukan masa depan bangsa. Mari kita jadikan momentum Pemilu 2009 untuk menghasilkan wakil rakyat yang bersih, peduli, amanah, dan professional. Jangan gadaikan masa depan bangsa dengan memilih calon yang membeli suara rakyat dengan uang receh (money politics) dan sejenisnya.

Baca Selengkapnya......

Menjadikan Pemilu Bermakna

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI 2004-2009/Caleg DPR RI Dapil Banten III


Pemilu 2009 kali ini sesungguhnya memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia khususnya setelah bangsa ini melewati fase reformasi di tahun 1997. Dua kali pemilu setelah reformasi, yakni Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, dicatat dengan tinta emas oleh dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis, meski ada kekurangan di sana-sini. Indonesia menjadi satu negara yang sukses melewati transisi demokrasi tanpa berdarah-darah sebagaimana umumnya dialami negara-negara dunia ketiga lainnya. Hal ini, di satu sisi, menunjukkan kedewasaan politik rakyat Indonesia untuk tidak memilih jalan kekerasan (chaos), namun di sisi lain hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelembagaan politik kita.

Kesuksesan pemilu 1999 dan pemilu 2004 semestinya menjadi titik tolak bagi kita untuk menatap dan melaksanakan pemilu 2009. Masa transisi yang cukup gemilang kita lewati semestinya berlanjut pada fase konsolidasi demokrasi yang lebih solid dan mapan. Artinya, jika di pemilu 1999 dan pemilu 2004 kita masih berkutat pada soal-soal prosedural demokrasi yakni soal teknis pemilu yang luber jurdil, sudah semestinya di pemilu yang akan datang kita harus beranjak pada soal-soal demokrasi subtansial, yaitu bagamaina pemilu dapat menghasilkan kesejahteraan rakyat.

Pemilu untuk kesejahteraan bermakna: bukan hanya pemilu harus berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan, akan tetapi pemilu memang harus ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan. Harga ekonomi (economic cost) yang digelontorkan untuk penyelenggaraan pemilu harus dimaknai sebagai investasi untuk menghasilkan (return of investment) kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif sehingga mampu mensejahterakan rakyat.

Dalam kerangka tujuan di atas maka seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pemilu harus berperan aktif dengan memahami dan memaknai pemilu 2009 lebih dari sekadar pesta demokrasi lima tahunan.
Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Penyelenggara harus mencanangkan target pemilu bukan sekadar memenuhi ukuran-ukuran prosedural demokrasi, seperti pemilu tepat jadwal, logostik terdistribusi, pemilih terdaftar, pemilih tahu mekanisme memilih atau tahu gambar atau nama celeg, serta soal-soal teknis lainnya.
Persoalan-persoalan teknis tersebut perlu/penting tapi tidak cukup (necessary but not sufficient). Lebih dari itu, penyelenggara memiliki tugas penting untuk memastikan setiap pemilih memahami pilihannya dan secara sadar menggunakan hak pilihnya. Oleh karenanya, mengacu pada UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, KPU diwajibkan untuk mengumumkan nama-nama caleg dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Sayangnya, DCT yang dipublikasikan KPU dan dapat diakses publik tidak memuat profil lengkap para calon sehingga tergambar rekam jejak atau track record-nya.

Kedua, partai politik dan caleg. Parpol dan caleg merupakan aktor penting, disamping pemilih, dalam setiap perhelatan pemilu. Sebagai peserta pemilu, parpol dan caleg memainkan peran meraih simpati pemilih agar memperoleh suara dan akhirnya menjadi caleg terpilih (aleg). Peran terpenting yang harus dilakukan parpol dan caleg adalah mengenalkan diri dengan faktor-faktor yang rasional objektif seperti rekam jejak, kontribusi, program riil, dan menjalin ikatan dengan pemilih berdasarkan faktor-faktor objektif dimaksud, bukan dengan paksaan atau imbalan materi (money politics).

Ketiga, pemilih. Pemilihlah aktor sesungguhnya dari pemilu mengingat pemilu berdasarkan konstitusi kita adalah manifestasi dari kadaulatan rakyat. Melalui pemilu rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan melalui figur-figur yang dipilih di balik bilik suara. Jika pemilih memilih calon yang berkualitas dengan komitmen dan kontribusi yang jelas, maka pemerintahan akan berjalan sesuai mandat rakyat tersebut. Sebaliknya, jika rakyat memilih orang yang salah, tidak memiliki rekam jejak atau bahkan memiliki rekam jejak negatif, yang hanya pandai merayu dengan janji-janji kosong, maka pemerintahan tidak akan berjalan amanah dan profesional.

Pemilih harus didorong untuk mengenal calon – sebelum akhirnya memilih – berdasarkan pertimbangan kualitas, kredibilitas, rekam jejak, dan program riil pada masyarakat. Antara pemilih dengan yang dipilih memiliki ikatan kontraktual yang secara kritis harus terus dijaga: pemilih selalu memantau pemenuhan program dan janji caleg serta mengingatkan jika terlewat atau terlupakan. Sementara yang dipilih (parpol atau caleg) harus selalu menjaga amanah rakyat yang telah dibebankan kepadanya lewat pemilu.

Tiga aktor pemilu di atas bisa ditambahkan dengan peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif memberikan edukasi pemilu agar lebih bermakna. Penulis mendukung sepenuhnya inisiatif sejumlah LSM yang melakukan kampanye publik untuk memilih wakil yang tepat dan tolak politisi bermasalah atau politisi busuk. LSM semestinya juga dapat memahamkan masyarakat soal kriteria wakil rakyat yang tepat untuk dipilih.

Akhirnya, jika semua pihak berpartisipasi konstruktif untuk melembagakan demokrasi yang semakin bermakna dan tidak dengan sengaja menodai nilai-nilai pemilu yang luber jurdil, maka transisi demokrasi kita hari ini akan semakin cepat menghasilkan konsolidasi demokrasi bagi kesejahteraan rakyat.

Baca Selengkapnya......

Mempercepat Agenda Reformasi Birokrasi

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi Pemerintahan dan Aparatur DPR RI

Mesin utama pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan adalah birokrasi. Wujud utama pemerintahan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat atau warga negara adalah birokrasi. Demikian sentralnya posisi birokrasi sehingga membicarakan efektifitas pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak bisa dilepaskan dari efektifitas kinerja birokrasi.

Lembaga-lembaga internasional dan para pakar pemerintahan merumuskan konsepsi tentang (birokrasi) pemerintahan dalam dua kategori: good governance dan bad governance. Ambil contoh UNDP menetapkan sembilan prinsip good governance, yaitu: partisipasi, ketaatan hukum (rule of law), transparansi, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan (equity), efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis. Bank Dunia menyederhanakan prinsip good governance menjadi empat, yaitu: akuntabilitas, partisipasi, rule of law, dan transparansi. Birokrasi pemerintahan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut dengan sendirinya masuk dalam kategori bad governance.
Dimana letak Indonesia dalam parameter good governance? Nyatanya, Indonesia belum masuk dalam kategori good governance. Good governance baru sebatas menjadi agenda pemerintah. Birokrasi di Indonesia sering dianggap masih membawa nilai-nilai patrimonial, rekrutmen pegawai belum berdasarkan merit system, tidak memberikan hukuman dan ganjaran berdasarkan prestasi, dan tidak efisien. Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia dikenal sebagai suatu negara dengan biaya ekonomi tinggi.
Penyebabnya ialah pelayanan buruk yang diberikan kepada masyarakat umum. Pelayanan buruk tersebut dikarenakan adanya peraturan yang berlebihan, minimnya transparansi, serta tingkah laku para birokrat yang tidak mendukung untuk menciptakan hukum dan peraturan yang dapat dipatuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat (World Bank, 1992). Karena itu maka tak terlalu mengejutkan jika Indonesia dikategorikan sebagai suatu pemerintahan yang buruk (bad governance).

Capaian kinerja birokrasi tersebut harus mendorong semua pihak, khususnya pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memprioritaskan agenda reformasi birokrasi. Apa saja langkah-langkah percepatan yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya?

Langkah Percepatan Reformasi Birokrasi

Pertama, budaya melayani, bukan dilayani. Warisan sejarah yang feodalistik baik semasa penjajahan Belanda muapun warisan rezim orde baru memang membentuk karakter birokrasi yang berorientasi ke atas atau melayani atasan. Budaya ini harus dikikis dengan budaya baru birokrasi pelayanan. Di negara-negara maju para pegawai pemerintahan disebut sebagai civil servant atau pelayanan masyarakat. Sementara di kita, masih kuat persepsi pegawai sebagai abdi negara yang cenderung menyimpang dalam praktek sebagai abdi penguasa. Istilah pejabat publik semestinya juga harus direvisi dengan pelayanan masyarakat sebagaimana dalam Islam, khalifah sering disebut sebagai qodimatul ummah.

Kedua, proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, dan remunerasi yang professional berdasarkan meritokrasi (merit system) atau keahlian. Birokrasi bukan perusahaan keluarga yang sistem kerja, pengelolaan keuangan, rekrutmen pegawai, dan promosi jabatan bisa berdasarkan kedekatan dan afiliasi keluarga atau keturunan. Birokrasi adalah institusi pemerintah yang harus dijaga dan terjaga netralitasnya dari kepentingan parsial maupun kepentingan politik manapun. Kepentingan birokrasi hanyalah pelayanan optimal terhadap warga negara. Sehingga pelanggaran fatal jika proses birokrasi diintervensi oleh kepentingan politik pegawai atau pejabat publik, baik dalam proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, maupun remunerasi .

Ketiga, pengembangan sistem akuntabilitas. Indikator good governance yang terpenting menurut saya adalah pada poin akuntabiltas karena akuntabilitas dengan kandungan maknanya mencakup poin lainnya khususnya transparansi. Akuntabilitas birokrasi meliputi kinerja pelayanan, keuangan, dan administrasi. Malpraktek birokrasi sering terjadi karena sistem akuntabilitas yang tidak berjalan. Rumusnya sederhana: kewenangan tanpa akuntabilitas akan menghasilkan korupsi.

Keempat, mengingat akuntabilitas seringkali diabaikan maka diperlukan satu sistem pengawasan. Melalui pengawasan akuntabilitas efektif bisa ditegakkan. Dalam konteks ini pengawasan bisa dilakukan oleh beberapa pilar: pengawasan internal (inspektorat), pengawasan eksternal (penegak hukum, lembaga auditor, ombudsmen), dan pengawasan media massa dan opini publik. Birokrasi yang sehat harus memberikan keleluasaan kepada tiga pilar tersebut untuk turut serta secara aktif dalam menegakkan akuntabilitas birokrasi.

Kelima, keempat hal di atas harus ditopang oleh suatu sistem regulasi (perundang-undangan) komprehensif dan sinergis dari pusat hingga daerah yang mementingkan dimensi pelayanan publik. Sejumlah daerah kabupaten/kota telah melakukan terobosan dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) Pelayanan Publik, sebut saja di Yogja, Sragen, Malang. Perda tersebut berisi standar pelayanan publik dan kontrak pelayanan antara pemda setempat dengan masyarakat. Terobosan semacam ini harus kita apresiasi dan harus dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain.

Di tingkat pusat, Komisi II DPR RI saat ini tengah menyelesaikan RUU Pelayanan Publik yang dalam waktu dekat akan disahkan menjadi UU. RUU tersebut diharapkan dapat menjadi payung bagi pelaksanaan pelayanan publik, khususnya oleh birokrasi pemerintahan. Dengan sistem regulasi yang komprehensif dan sinergis diharapkan reformasi birokrasi memiliki pijakan yang kuat.

Terakhir, mengingat warisan kultur feodal yang masih kuat, pelayanan publik yang masih lamban, praktek suap dan korupsi yang masih menggurita dalam birokrasi kita maka langkah-langkah shock therapy perlu digalakkan. Langkah ini, antara lain, tengah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyingkap kasus-kasus korupsi birokrasi dan menjebloskan ke penjara para pejabat publik yang korup. Sayangnya KPK masih belum banyak menjangkau birokrasi eksekutif terlebih di daerah. Karenanya saya mendukung perluasan KPK untuk dibentuk di setiap provinsi dan segera dituntaskannya UU tentang Tipikor agar sinergis dengan upaya percepatan reformasi birokrasi yang sedang berjalan. )i(

Baca Selengkapnya......

Pendidikan Untuk Semua

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS


Realitas pendidikan Indonesia hari ini belum menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Hal ini bisa dilihat dari segi pemerataan akses pendidikan dan dari kualitas mutu pendidikan yang berdampak pada daya saing sdm hasil pendidikan.

Dari segi pemerataan, kenyataannya, mayoritas rakyat belum bisa terlayani atau terjangkau pemerataan pendidikan secara baik khususnya di kalangan ekonomi menengah dan miskin. Bahkan, kalau dicermati, pendidikan di Indonesia masih berpihak pada orang-orang yang secara ekonomi tergolong mampu untuk menikmati fasilitas pendidikan berkualitas tinggi.

Pihak-pihak yang mendapatkan kesempatan menikmati sekolah unggulan atau favorit mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi (PT), mereka adalah anak-anak dari golongan keluarga kaya. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin sulit menjangkau pendidikan bermutu.

Dari segi mutu pendidikan dan kualitas sdm hasil pendidikan, posisi Indonesia masih jauh dari ideal. Hal ini bisa dilihat dari peringkat Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis oleh United Nations Development Program (UNDP). Menurut laporan tersebut memang ada kemajuan dalam pembangunan manusia (human development) di Indonesia dari tahun ke tahun. IPM tahun 1975 sebesar 0,471, tahun 1985 (0,585), tahun 1995 (0,670), dan tahun 2005 (0,728). Namun, kenaikan itu masih kalah dibandingkan dengan negara lain, setidaknya dengan sesama Negara ASEAN.

Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109.

Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tiga indikator yang merupakan indikator kualitas hidup manusia. Ketiganya adalah (1) Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; (2) Indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan (3) indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah.

Berkaitan dengan itu, hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat besar. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta).

Angka kemiskinan tersebut menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.

Berdasarkan data-data di atas nampak jelas, program peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan akses pendidikan harus menjadi prioritas utama khususnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada kelompok miskin. Karenanya pendidikan murah atau bahkan pendidikan gratis harus menjadi konsen kebijkaan publik.

Pendidikan Untuk Semua
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sesungguhnya telah menjadi komitmen bersama. Konstitusi telah mengamanatkan pendidikan merupakan hak warga Negara dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Konstitusi hasil amandemen telah pula mewajibkan pemerintah untuk mengalokasi minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Meskipun demikian, pemerintah tak kunjung mampu memenuhi amanat tersebut karena cekaknya dana APBN sampai akhirnya, di tahun 2009, 20% anggaran pendidikan terpenuhi dengan memasukkan komponen gaji guru dan dosen.

Strategi pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN terus dilakukan oleh pemerintah mengingat Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 menyatakan bahwa selama anggaran pendidikan belum mencapai 20% sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, maka APBN akan selalu bertentangan dengan UUD 1945.

Amanat konstitusi yang diperkuat dengan Putusan MK tersebut sesungguhnya memberikan pesan yang kuat bagi setiap pengambil kebijakan tentang pentingnya pendidikan yang secara implementatif semestinya dapat diwujudkan melalui kemudahan setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan dengan dana yang ditanggung negara.

Sejalan dengan hal tersebut, program pendidikan gratis telah menjadi tema penting sejalan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all). UUD 1945 dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan wajib belajar 9 tahun dan bersamaan dengan itu mewajibkan penggratisan biayanya. Sejumlah daerah telah menggratiskan biaya pendidikan SD dan SMP sebagaimana amanat UUD dan UU tersebut, sebut saja seperti: Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana, dan Kota Yogjakarta. Namun sebagian yang lain belum bisa memenuhi dengan dalih keterbatasan anggaran. Kita yakin pendidikan gratis 9 tahun bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan jika pemerintah pusat dan setiap pemda memiliki komitmen terhadap dunia pendidikan.

Langkah-langkah strategis bisa dilakukan antara lain dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah, pengetatan anggaran, dan pemangkasan anggaran departemen/dinas sehingga benar-benar efektif menunjang program pendidikan gratis.

Bersamaan dengan komitmen pemerintah tersebut, peran partisipatif warga masyarakat melalui kemadirian lokal dan komunitas harus terus didukung. Lahirnya inisiatif sekolah rakyat, sekolah komunitas, dan lain sebagainya sangat membantu mewujudkan tujuan pendidikan untuk semua, sekaligus membantu mengatasi ketaksanggupan pendanaan pemerintah.

Baca Selengkapnya......

Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI/Tim Perumus UU Pembentukan Kota Tangsel



Sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memiliki potensi ideal ditinjau dari berbagai aspek, baik secara ekonomi, sosial politik, kemandirian, manajemen, tata pemerintahan, maupun dari segi kesiapan sdm aparatur dan masyarakat. Dengan potensi ideal tersebut semestinya pemerintahan kota dapat melaksanakan pembangunan secara cepat, tepat sasaran, dan lebih memfokuskan diri pada pelayanan publik dan mengatasi disparitas yang ada.

Dalam rangka ikut memberikan sumbangan pemikiran terhadap proses pembangunan Kota Tangsel, dimana penulis dalam kapasitas sebagai Anggota Komisi Pemerintahan DPR RI ikut mendorong dan membahas UU Pembentukan Kota Tangsel, berikut diulas sejumlah parameter/indikator pokok agar pembentukan daerah otonom, khususnya Kota Tangsel, dapat memenuhi tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pertama, indikator ekonomi. Status otonomi yang diberikan kepada Tangsel harus memberikan dampak langsung pada peningkatan perkapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hak otonomi yang dimiliki sangat memungkinkan daerah untuk berkreasi dalam pembangunan dengan memperhitungkan secara cermat potensi ekonomi. Pemerintah Kota Tangsel harus melakukan perencanaan pembangunan secara bertahap dengan parameter yang tepat. Prioritas pembangunan harus disusun secara cermat mulai dari pembangunan infrastruktur dasar dan seterusnya.

Kedua, indikator sosial politik. Harus dipahami betul bahwa aspirasi pembentukan Tangsel bukan hanya dimonopoli oleh sekelompok elit tertentu, akan tetapi muncul sebagai kesadaran sosial politik seluruh warga dalam rangka membangun dan mensejahterakan daerah. Sehingga siapapun pemimpin Tangsel harus bekerja keras untuk mewujudkan aspirasi kolektif warga masyarakat tersebut. Dengan pemahaman ini, status otonomi Tangsel harus mendorong semakin kuatnya kohesi sosial politik diantara masyarakat. Di sejumlah daerah otonom baru, status otonomi justru menyebabkan perpecahan bahkan berujung konflik horizontal. Hal ini terjadi karena aspirasi otonomi dimaknai sekadar kepentingan politik kekuasaan.

Ketiga, indikator kemandirian. Dalam UU pembentukan daerah otonom baru selalu dimandatkan masa transisi, dimana secara finansial dan administrasi, setiap daerah otonom, termasuk Kota Tangsel, mendapatkan subsidi dari daerah dan/atau provinsi induk. Dalam jangka tertentu, daerah otonom baru harus semakin mantap dan kuat dalam melepaskan diri dari ketergantungan terhadap daerah induk maupun pemerintah pusat. Kemandirian dimaksud bukan hanya secara finansial dan dukungan administrasi pemerintahan akan tetapi tercermin dalam tiga hal yaitu: (1) menyelesaikan masalah sendiri/orientasi masyarakat setempat; (2) dengan inisiatif dan prakarsa solutif masyarakat setempat; serta (3) dengan memanfaat potensi sumber daya setempat.

Keempat indikator organisasi dan manajemen. Status otonomi harus berdampak pada peningkatan dan pertumbuhan organisasi dan manajemen daerah yang berdampak langsung pada kualitas pembangunan. Dengan otonomi seharusnya manajemen daerah harus menjadi semakin efektif dan efisien dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berbagai potensi sumber daya: sumber daya masyarakat, sumber daya aparatur, sumber daya finansial, sumber daya organisasi perangkat, serta prasarana dasar harus semakin tertata dan menghasilkan perbaikan dari waktu ke waktu. Di beberapa daerah pemekaran, keterbatasan SDM Aparatur, Finansial, Organisasi perangkat, dan sarana-prasarana dasar seringkali menjadi masalah besar dan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Patut disyukuri segala potensi sumber daya dimaksud insya Allah tidak ada kendala di Kota Tangsel.

Kelima, indikator jangkauan dan pelayanan. Salah satu alasan utama pembentukan daerah otonom adalah adanya realitas tidak efektif dan efisiennya pelayanan publik, terutama karena jauhnya jarak pemerintahan. Status otonomi harus menjadikan jangkauan pelayanan kepada masyarakat semakin efisien dan efektif karena masyarakat dapat langsung mendapatkan layanan oleh aparat setempat (di daerahnya). Artinya, masyarakat semakin mudah dan murah memenuhi kebutuhannya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pemkot Tangsel harus memantapkan tujuan dasar pemerintahan dalam era otonomi yaitu pelayanan. Pemerintah adalah pelayanan masyarakat (civil servant), bukan abdi negara (yang cenderung melayani penguasa) sebagaimana langgam yang selama ini terjadi.

Keenam, indikator kualitas pelayanan publik. Setelah jangkauan pelayanan semakin dekat, maka kualitas pelayanan harus meningkat sejalan dengan penguatan hak otonomi yang dimiliki daerah otonom baru. Ketersediaan pelayanan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, peningkatan daya beli masyarakat, transportasi dan komunikasi, kependudukan dan lainnya harus secara kualitatif dan kuantitatif mengalami peningkatan. Status otonomi yang tidak berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat harus menjadi tanda tanya besar bagi indikator keberhasilan pembentukan daerah otonom. Pemkot Tangsel dituntut untuk dapat mewujudkan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bahkan, bila menghitung potensi PAD yang dimiliki Kota Tangsel, semestinya kebutuhan dasar tersebut dapat digratiskan.

Ketujuh, indikator good local governance. Musuh utama kewenangan (otonomi) yang melimpah adalah kecenderungan korupsi oleh aparatur pemerintahannya. Oleh karena itu, status otonomi harus membawa efek pada perwujudan tata pemerintahan yang bersih dan baik, bukan sebaliknya justru menyebabkan semakin suburnya korupsi. Good local governance terbentuk jika akuntabilitas pemerintahan daerah semakin baik, transparansi semakin tinggi, prinsip rule of law semakin dapat ditegakkan, partisipasi masyarakat semakin meningkat, pemerintahan yang semakin efisien dan efektif, konflik kepentingan dalam birokrasi dapat dikurangi, dan pengisian jabatan-jabatan karir tidak dipenuhi dengan praktek KKN. Pemkot Tangsel harus mampu menjadi pioner pemerintahan yang bersih, minimal terukur dari kinerja pelaporan keuangan yang setiap tahun diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan terakhir, kedelapan, indikator responsiveness pemerintahan. Status otonomi harus mendorong pemerintahan daerah yang memiliki daya tanggap dalam merumuskan kebutuhan dan potensi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari rencana strategis, program dan implementasi program-program pembangunan. Jika tidak terdapat rencana strategis, program dan implementasi program yang inovatif, maka pembentukan daerah otonom tidak menumbuhkan daya tanggap daerah terhadap potensi dan kebutuhan daerah.

Kedelapan indikator sukses pembangunan daerah otonom baru di atas diharapkan dapat menjadi tolak ukur pembangunan Kota Tangsel yang sama-sama kita cintai. Berkah otonomi sudah sewajarnya tidak berhenti pada euforia pembentukannya semata, melainkan harus diisi dengan kerja-kerja nyata bagi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat Tangsel.

(dimuat di Satelit News, 21/3, Kolom Interupsi)

Baca Selengkapnya......

Suara Terbanyak dan Antisipasi Money Politics

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Pansus Pemilu DPR RI dari Fraksi PKS

Pada 23 Desember 2008 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan sistem nomor urut dalam menentukan anggota legislatif terpilih seperti yang sebelumnya diatur dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD. Dengan dihapusnya sistem nomor urut tersebut, MK menegaskan keberlakuan sistem suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih pada Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu-Pemilu setelahnya.

Putusan MK tersebut mengubah kontestasi persaingan antar caleg di internal partai politik. Di satu sisi hal ini dinilai mengancam soliditas partai dan pada saat yang sama meningkatkan potensi konflik di dalam parpol. Namun di sisi yang lain, hal ini mencerminkan keadilan bagi setiap calon.

Mengingat Putusan MK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lain, maka sikap yang paling tepat adalah melaksanakan secara konsekuen, menegaskan nilai positifnya, sambil mengantisipasi potensi negatit yang akan muncul.

Persaingan Makin ketat, Potensi Politik Uang Makin Tinggi
Secara postif, sistem suara terbanyak hasil Putusan MK dapat menegakkan keadilan baik bagi rakyat pemilih maupun bagi calon anggota legislatif (caleg). Dalam perspektif rakyat pemilih, suara terbanyak menjamin afirmasi suara mayoritas rakyat sebagai yang terpilih. Hal ini menegakkan prinsip demokrasi sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.

Putusan MK memangkas kewenangan parpol untuk menentukan calon terpilih, dan pada saat yang sama mengembalikan kewenangan itu kepada rakyat. Parpol cukup memiliki kewenangan dalam menominasikan seseorang menjadi calon, dan di sinilah domain parpol, sementara penentuan calon terpilih adalah domain rakyat.

Bagi caleg, siapapun dia dan dalam posisi atau di nomor berapa pun, dia memiliki potensi yang sama untuk meraih kepercayaan rakyat sebagai anggota DPR/DPRD. Desain sistem ini positif karena kompetisi didasarkan pada prinsip keadilan. Selanjutnya tinggal diatur agar kompetisi berlangsung secara adil (fair). Hal ini penting agar semangat keadilan yang dijadikan basis argumentasi konstitusional sistem suara terbanyak tidak sia-sia. Apalagi paska putusan MK sudah muncul geliat persaingan yang mengkhwatiran di antara caleg. Hal yang harus dicermati serius adalah soal kecenderungan menguatnya politik uang (money politics).

Potensi money politics diprediksi kian besar karena politik pemilihan kita masih mendasarkan pada hal-hal yang bersifat pragmatis. Calon anggota legislatif belum sepenuhnya dilihat berdasarkan kualitas dan komitmennya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Caleg-nya sendiri acapkali memanfaat segala hal untuk meraih elektabilitas, termasuk dalam hal ini penggunaan uang sebagai alat untuk merayu pemilih.
Rakyat cukup diberi uang dalam jumlah tertentu untuk memilih sebuah nama. Semakin besar uang yang digelontorkan, kian besar pula meraih suara terbanyak. Dalam hal ini, suara terbanyak adalah uang terbanyak. Seorang aktivis parpol tetapi tak punya uang, ia akan tersisih oleh “muka baru” tetapi pundi-pundi kekayaannya sangatlah banyak.
Suara terbanyak belum tentu identik dengan kualitas politisi yang terpilih duduk di DPR/DPRD. Dari sisi sirkulasi elite, sistem suara terbanyak memang sangat baik, namun dari sisi kualitas belum tentu ini menjamin kualitas parlemen kita mendatang. Dalam rangka penguatan demokrasi, tentu saja kita berharap agar sistem suara terbanyak dapat mendorong rakyat untuk memilih pemimpin yang berkualitas.
Barangkali sisi-sisi negatif ini yang patut dicermati KPU maupun Bawaslu/Panwaslu sebagai penyelenggara Pemilu. Pengawasan harus diperketat, daya cium terhadap pelanggaran ditingkatkan, dan pada akhirnya sanksi patut ditegakkan. Setidaknya orang akan berpikir panjang untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dengan cara tak patut.

Penyelenggara dan pengawas pemilu harus mengantisipasi dan dapat mencegah kemungkinan praktik jual-beli suara oleh para calon anggota legislatif yang merasa tidak populer. Sekadar antisipasi, belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, tempat yang dinilai rawan terjadinya jual-beli suara adalah di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dimana caleg yang curang dimungkinkan dapat mengotak-atik hasil pemilihan dengan ‘membeli’ petugas pemilu di lapangan. Dalam hal ini peran pengawas, saksi parpol, pemantau pemilu, dan masyarakat perlu diberdayakan untuk selalu mendorong transparansi dalam proses pemilihan dan penghitungan suara.

Keputusan di Tangan Rakyat
Eesensi Putusan MK adalah menegakkan prinsip bahwa keputusan penting di negeri ini ada di tangan rakyat. Suara terbanyak yang dipilih rakyat secara otomatis akan menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu upaya untuk meyakinkan rakyat agar memilih yang terbaik menjadi sangat penting. Kita berharap agar rakyat memberikan pilihan sesuai hati nurani dan mementingkan rekam jejak (track record) kualitas calon. Jangan memilih semata-mata karena popularitas, apalagi karena uang. Karena pilihan pada bulan April mendatang akan menentukan masa depan rakyat, minimal dalam lima tahun ke depan.

Dalam konteks tersebut, penerapan sistem suara terbanyak menuntut pendidikan politik publik yang lebih agresif dan penyediaan informasi yang lebih baik. Hal ini harus menjadi perhatian serius dari KPU selaku penyelenggara pemilu. KPU selama ini dikirik belum melakukan sosialisasi secara optimal. Paska Putusan MK, KPU harus segera menerbitkan aturan teknis pelaksanaan dan mendorong publik untuk memilih calon berdasarkan kualitas.

Pendidikan politik dan penyediaan informasi ini penting untuk menghindari terpilihnya caleg-caleg dengan kualitas seadanya. Dengan publik yang lebih terdidik dan memiliki informasi yang lebih banyak mengenai alternatif-alternatif yang tersedia dalam pemilu, pemilih akan membuat keputusan yang lebih baik dan bijak dalam menentukan pilihannya dalam pemilu mendatang.

Bagi para caleg, komitemen untuk tidak melakukan money politics harus menjadi kesadaran utama. Rasanya masih banyak cara lain dan legal untuk meraup suara rakyat itu. Jika seseorang punya rekam jejak bagus di mata rakyat, sekaligus punyak komitmen untuk memperbaiki nasib rakyat, agaknya punya peluang untuk meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya. Sekarang tinggal mengkomunikasikan rekam jejak itu dan menegaskan komitmen kepada rakyat.

Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Diterapkannya sistem suara terbanyak tidak serta-merta membawa perubahan positif bagi demokrasi Indonesia. Potensi-potensi positif yang ada dalam penerapan sistem ini baru akan terealisasi jika penerapan sistem suara terbanyak ini diikuti kebijakan-kebijakan lain.

Pertama, parpol sebagai pelaksana fungsi rekrutmen elit ke depan harus serius menominasikan calon yang benar-benar berkualitas, memiliki rekam jejak yang positif, dan memiliki pengabdian kepada masyarakat lewat aktivitas yang selama ini mereka lakukan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sekaligus mengikis kecenderungan berlakunya praktik money politics dalam meraih dukungan pemilih.

Kedua, pendidikan politik harus terus-menerus dilakukan dalam rangka mendorong rakyat untuk memberikan pilihan politik yang lebih objektif dan rasional. Hal ini bukan saja menjadi tanggung jawab penyelenggara atau lembaga swadaya masyarakat, namun yang jauh lebih penting hal ini sebenarnya menjadi tanggung jawab partai politik. Dalam UU tentang Partai Politik jelas ditegaskan bahwa salah satu fungsi parpol adalah melakukan pendidikan politik.

Jika dua hal ini dilakukan secara serius dan konsisten, kita akan mendapati sistem suara terbanyak akan kondusif meningkatkan derajat demokrasi menjadi lebih baik, berkualitas, dan bertanggung jawab.

Baca Selengkapnya......

Suara Terbanyak, Prinsip Keadilan, dan Penguatan Demokrasi

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Pansus Pemilu DPR RI dari Fraksi PKS
(Dimuat di Harian Satelit News)


Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan sistem nomor urut dalam menentukan anggota legislatif terpilih seperti yang sebelumnya diatur dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD. Menurut MK, Pasal 214 huruf a, b, c, d, e yang menentukan pemenang pemilu legislatif adalah yang memiliki suara di atas 30% bilangan pembagi pemilih (BPP) dan menduduki nomor urut lebih kecil adalah inkonstitusional. Menurut MK, pasal di atas menguntungkan caleg dengan nomor urut kecil, dan memangkas hak politik rakyat sebagai pemilih.

Putusan MK tersebut mengubah kontestasi politik menjelang Pemilu 2009. Di satu sisi hal ini dinilai meningkatkan suhu persaingan antar celeg dalam internal parpol sehingga berpotensi mengancam soliditas partai dan pada saat yang sama meningkatkan potensi konflik di dalam parpol. Namun di sisi yang lain, Putusan MK ini disambut secara antusias dan positif oleh berbagai kalangan dan dianggap mempunyai implikasi positif bagi rakyat dan bagi partai politik (parpol).

Putusan MK dinilai sebagai kemenangan bagi demokrasi karena dalam Pemilu 2009, suara rakyat akan menjadi lebih berpengaruh dibandingkan putusan dan negosiasi elite parpol sebagaimana langgam yang berlaku sebelumnya. Bagi para calon, Putusan MK mencerminkan keadilan bagi setiap calon. Caleg yang berada pada nomor urut besar memiliki peluang yang sama dengan caleg pada nomor urut di atasnya (nomor urut kecil).

Mengingat Putusan MK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lain, maka sikap yang paling tepat adalah melaksanakan secara konsekuen, menegaskan nilai positifnya, sambil mengantisipasi potensi negatif yang akan muncul.

Dinamika Internal Parpol Menguat
Putusan MK mengurangi peran parpol dalam menentukan calon terpilih. Jika sebelumnya parpol tidak saja hanya berwenang mengajukan daftar nama celeg, namun juga turut menentukan keterpilihan caleg melalui syarat tertentu (batasaan BPP 30%), pada model suara terbanyak penentuan calon terpilih didasarkan pada murni pilihan rakyat. Hal ini mengurangi peran parpol yang selama ini jamak berlaku.

Padahal, model nomor urut dalam tingkat tertentu merupakan mekanisme yang dinilai cukup efektif dalam menegakkan disiplin anggota (Aleg). Aleg memahami bahwa kehadirannya di lembaga legislatif tidak semata-mata peran kampanye dirinya sendiri, melainkan ditentukan parpol (melalui mekanisme nomor urut). Dari sana muncul loyalitas dan disiplin Aleg terhadap parpol.

Memang loyalitas dan disiplin parpol seringkali dipahami publik sebagai pengutamaan kepentingan parsial parpol, pada saat yang sama seringkali menafikan kepentingan rakyat. Hal ini dikritik oleh berbagai kalangan sebagai bentuk penyimpangan fungsi representasi. Aleg bukan lagi merepresentasikan (mewakili) rakyat, melainkan lebih mewakili kepantingan parpol. Sayangnya kepentingan parpol seringkali bertentangan dengan kepentingan rakyat. Yang benar semestinya, disiplin parpol ditegakkan dalam rangka perjuangan kepentingan rakyat. Sehingga jika terdapat Aleg yang melenceng dari garis parpol, yang sejalan dengan kepentingan rakyat, dapat dimintai pertanggung jawaban, bahkan diberikan sanksi yang tegas.

Dengan model suara terbanyak, caleg berlomba meraih suara sebanyak-banyaknya dari pemilih. Mereka akan berusaha dengan segala upaya: dana, jaringan, dan lain sebagainya untuk meraih kemenangan. Implikasinya caleg akan lebih mengandalkan diri pribadi ketimbang parpol. Pada saat yang sama keterikatan caleg terhadap parpol relatif berkurang sehingga dikhawatirkan menurunkan derajat disiplin caleg terhadap parpol pada saat terpilih.
Persoalan kita hari ini adalah masih kuatnya budaya politik sebagian politisi yang tanpa ideologi dan bebas semaunya. Sebagian politisi karena potensi yang dimilikinya, apalagi berhadapan dengan parpol yang lemah dalam disiplin anggota, seringkali berjalan di luar fatsoen politik parpolnya. Dengan sistem suara terbanyak, bisa saja mereka bertentangan dengan garis partai saat pengambilan keputusan di DPR/DPRD. Saat ditegur atau akan diberi sanksi, bukan mustahil mereka dapat pindah fraksi karena partai bukanlah institusi yang penting bagi mereka, apalagi duduknya mereka di parlemen atas dasar pilihan suara terbanyak rakyat dan tidak ditentukan parpol. Tentu saja kita berharap fenomena seperti ini tidak terjadi pada anggota legislatif hasil pemilu mendatang. Jikapun terjadi kita berharap hal ini merupakan fenomena transisi, karena diyakini sistem suara terbanyak akan positif dalam jangka panjang bagi penguatan demokrasi.
Hal lain yang perlu diantisipasi pada masa transisi ini adalah soal manajemen konflik yang muncul akibat persaingan antar-caleg. Melalui sistem suara terbanyak, dinamika persaingan internal dalam partai akan menguat, persaingan antar caleg akan semakin ketat. Persaingan ini adalah hal yang wajar mengingat sistem suara terbanyak menjamin keadilan bagi setiap caleg untuk berkompetisi.

Pemilu ibarat pertandingan, di dalamnya ada kompetisi/persaingan. Namun sistem dan penyelenggara Pemilu harus menjamin kompetisi yang fair (fair competition). Kempetisi fair hanya muncul dari sikap ketaatan pada aturan, sehingga KPU sebagai penyelenggara dituntut untuk membuat aturan – sebagai tindak lanjut pemberlakukan suara terbanyak – yang mampu menjaga fairness, khususnya dalam kampanye, serta potensi konflik dalam penentuan calon terpilih.

Di sisi lain perlu kedewasaan politik baik dari parpol maupun dari para caleg. Segala potensi ketidakharmonisan internal semestinya dapat diantisipasi. Gesekan-gesekan bakal terjadi, tetapi untuk jangka panjang akan mendidik orang untuk semakin sportif dalam menerima kemenangan atau kekalahan. Sportivitas dalam politik sangat diperlukan bagi tegaknya sebuah demokrasi yang kuat dan sehat.

Kebutuhan Kader (Parpol) yang Mengakar
Sistem suara terbanyak mendorong kader parpol – terutama yang menjadi caleg – untuk semakin mengakar di masyarakat. Parpol juga akan semakin terdorong untuk mengajukan caleg-caleg yang berkualitas karena dalam pemilu-pemilu mendatang, figur caleg akan menjadi semakin penting dibandingkan dengan parpol itu sendiri. Bukan hanya caleg, parpol harus juga mulai mengakarkan pengaruhnya di masyarakat. Parpol harus semakin sibuk bekerja untuk masyarakat. Parpol tidak bisa hanya sibuk menjelang pemilu, di saat-saat kampanye, tetapi parpol dituntut untuk setiap hari berada di tengah-tengah masyarakat, bergelut dengan dinamika masyarakat, dan dituntut menyelesaikan (memberikan solusi) pelbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.

Dalam konteks tersebut, sistem suara terbanyak akan mendorong pelembagaan parpol yang semakin kuat. Parpol yang terlembaga diindikasikan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi yang dimilikinya konsekuen. Parpol akan semakin kuat melaksanakan prinsip political constituency, dimana politik adalah sarana memperbaiki kualitas kehidupan konstituen (masyarakat). Parpol akan semakin serius memikirkan dan memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakat. Dengan itu, parpol dituntut untuk menajamkan visi, misi, dan program yang riil dengan kebutuhan masyarakat.

Relasinya dengan pelaksanaan pemilu, parpol yang terlembaga semestinya memahami bahwa salah satu fungsi penting yang dimilikinya adalah sebagai agen rekrutmen elit. Parpol telah melaksanakan fungsi tersebut dengan menyusun daftar caleg yang akan ditawarkan kepada publik pada saat pemilu. Sebagai pemegang otoritas penentu caleg semestinya parpol telah menjaring caleg yang benar-benar berkualitas yang diseleksi melalui mekanisme yang demokratis. Jika mekanisme itu telah ditempuh, maka tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan parpol, karena siapapun yang terpilih adalah kader terbaik parpol.

Baca Selengkapnya......

Menyongsong Persiapan Pemilu 2009

Oleh
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi II DPR RI, Anggota Pansus RUU Pemilu DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(Dimuat di Majalah Parlementaria DPR RI)


Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Melalui Pemilu rakyat dapat berpatisipasi langsung dalam menentukan kepemimpinan nasional dan arah pemerintahan dalam mewujudkan good governance. Melalui pemilu yang langsung, umum, babas, rahasia, jujur, dan adil negara telah menjamin prinsip dasar demokrasi, yaitu keterbukaan dan tanggung jawab (akuntabilitas).

Pemilu berkualitas adalah pemilu yang memenuhi prinsip demokrasi dalam dua arasnya sekaligus yakni prosedural dan subtansial. Secara prosedur pemilu dilaksanakan secara tertib oleh penyelenggara yang profesional dan diikuti oleh peserta pemilu (partai politik dan perseorangan) yang terseleksi. Rakyat dapat menyalurkan hak pilihnya di hari pemilihan. Secara subtansial pemilu harus bermakna bagi peningkatan kualitas berdemokrasi, masyarakat memilih berdasarkan kesadaran penuh di atas pemahaman politik, bukan hasil mobilisasi. Peserta pemilu sadar betul bahwa pemilu merupakan sarana penegakan kedaulatan rakyat sehingga suara rakyat demikian bernilai dan berbuah kinerja politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Demokrasi subtansial menjamin akuntabilitas kepemimpinan yang dipilih langsung lewat pemilu.

Sistem yang ingin dibangun oleh pemilu yang demokratis tentu saja sistem yang menjamin partisipasi politik rakyat. Partisipasi tersebut diafirmasi oleh pemerintahan terpilih (eksekutif maupun legislatif) dalam perumusan dan implementasi kebijakan negara. Logika demokrasi adalah logika partisipasi aktif rakyat. Pola interaksi antara negara dan masyarakat sangat dinamis. Terjadi suatu interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Peran negara dalam pengambilan keputusan lebih sebagai mediator atas kompleksitas kepentingan dari kalangan rakyat. Dan pemilu merupakan sarana awal partisipasi politik rakyat.


Perbaikan di Level Undang-Undang
Pemilu 2009 sebentar lagi kita jelang. Dua aspek penting yang harus dicermati dalam menyongsong pemilu 2009 adalah aspek penyelenggara dan penyelenggaraan. Dari sudut penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta struktur hirarkhisnya di daerah untuk pertama kalinya pada pemilu 2009 mendatang merupakan institusi yang baru, yang lebih independen dan lebih profesional sebagaimana ditegaskan dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan, penyelenggara pemilu saat ini memiliki kewenangan penuh menjalankan pemilu melalui instrumen aturan pelaksanaan yang dibuatnya tanpa sedikitpun intervensi pemerintah dan pihak manapun. Penyelenggara pemilu telah pula ditegaskan independensi dan hierarkhinya dengan penyelenggara pemilu di daerah dan memiliki kedudukan permanent (tetap) untuk KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. Anggota penyelenggara pemilu diseleksi secara profesional oleh suatu tim seleksi independen. Kita berharap kualitas anggota KPU dan Bawaslu yang independen benar-benar terealisir dalam penyelenggaraan Pemilu 2009. Penyelenggara harus netral dari semua peserta pemilu dengan mendasarkan putusan pada objektivitas peraturan perundang-undangan.

Dari sudut penyelenggaraan, telah lahir UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta dalam proses penyelesaian/finalisasi UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. UU No 10 Tahun 2008 memberikan aturan yang bersifat progresif meskipun terdapat catatan dalam beberapa hal. Hal positif dan progresif tersebut antara lain dalam aspek: sistem pemilu yakni penegasan sistem proporsional yang lebih menjamin akuntabilitas wakil rakyat dengan penentuan calon terpilih yang mengarah pada suara terbanyak; mekanisme perwujudan keterwakilan perempuan yang lebih maju dengan sistem zipper dalam daftar calon, yakni di setiap tiga orang calon terdapat satu calon perempuan di setiap dapil; dan penyederhanan sistem kepartaian bagi efektifitas pemerintahan melalui pemberlakuan ambang batas partai politik dapat menempatkan wakilnya di parlemen (DPR).

UU No 10 Tahun 2008 mempertajam misi UU Nomor 12 Tahun 2003 untuk mewujudkan keseimbangan keterwakilan penduduk dengan akuntabilitas wakil rakyat. Penajaman akuntabilitas wakil rakyat kepada konstituen dapat dilihat pada cara pemberian suara, keabsahan suara, dan penentuan calon terpilih. Jika sebelumnya tanda coblos di surat suara hanya pada kolom nama calon dinyatakan tidak sah, kini pemberian satu tanda hanya pada kolom nomor urut calon, atau hanya pada kolom nama calon, atau hanya pada kolom nama parpol dinyatakan sah.

Jika sebelumnya nomor urut calon dalam penetapan calon terpilih tidak berlaku hanya untuk calon yang mencapai jumlah suara sah yang sama atau melebihi BPP, kini nomor urut calon tidak berlaku untuk calon yang mencapai jumlah suara sah minimal 30 persen dari BPP. Rumusan UU No 10 Tahun 2008 ini akan memacu setiap calon memperoleh suara sebanyak-banyaknya, diperkirakan lebih banyak anggota DPR hasil Pemilu 2009 akan terpilih berdasarkan jumlah suara yang diperoleh.

Sistem ini diperkirakan juga mendorong pemilih memberikan suara kepada calon yang dikehendaki sehingga pada Pemilu 2009 diperkirakan akan lebih banyak pemilih memberi tanda pada kolom nomor urut calon atau pada kolom nama calon daripada di kolom nama partai. Dengan ini diharapkan para pemilih/konstituen pada setiap dapil akan menuntut pertanggungjawaban kepada wakil rakyat dan para wakil rakyat akan berupaya mempertanggungjawabkan tugasnya kepada konstituen.

Mencermati Persiapan Pemilu 2009
Kesuksesan pemilu terletak pertama-tama pada kesiapan penyelenggara dan mempersiapkan setiap tahapan. UU No 10 Tahun 2008 pasal 4 Ayat (2) menetapkan 10 tahapan pemilu yang meliputi:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
f. kabupaten/kota;
g. masa kampanye;
h. masa tenang;
i. pemungutan dan penghitungan suara;
j. penetapan hasil Pemilu; dan
k. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
l. DPRD kabupaten/kota.

Di luar tahapan tersebut, faktor kesiapan logistik pemilu merupakan faktor penting yang harus dicermati. Pembuatan aturan teknis pelaksanaan dan konsistensi penyelenggara dalam mengawal dan melaksanakan setiap tahapan dan mengadakan logistik pemilu berdasarkan UU Pemilu merupakan faktor penting kesuksesan pemilu mendatang. Terkait hal ini, KPU harus segera menuntaskan sekian aturan pelaksanaan pemilu yang dimandatkan oleh UU Pemilu dan mensosialisasikannya kepada publik. Sementara kritik yang berkembang, KPU lamban dalam menyelesaikan peraturan KPU, bahkan sejumlah peraturan baru selesai atau sulit diakses publik padahal sudah masuk tahapan.

Penyelenggara pemilu harus menyadari bahwa pemilu merupakan pengejawantahan partisipasi rakyat, sehingga perspektif atau sudut pandang penyelenggaraan pemilu haruslah berupaya melakukan optimalisasi partisipasi dan penggunaan hak pilih oleh rakyat. Oleh karena itu, kerja-kerja sosialisasi dan penggalangan partisipasi rakyat dalam pemilu harus menjadi pekerjaan utama penyelenggara. Hak pilih rakyat harus menjadi determinant factor dan batu pijakan (miles stone) dari kerja-kerja penyelenggara. Hak pilih ini tidak boleh dicederai atas nama apapun, apalagi terhambat oleh persoalan-persoalan administrasi (pendaftaran pemilih).

Itulah sebabnya dalam beberapa kesempatan rapat kerja Komisi II DPR dengan KPU dan Bawaslu, penulis dan hampir semua anggota Komisi II mempertanyakan dan mementingkan kerja KPU dalam pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Para anggota Komisi secara khusus meminta perpanjangan penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang menurut jadwal KPU akan dietapkan tanggal 24 Oktober 2008. Hal ini penting untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengevaluasi daftar pemilih. Mengingat masih terdapat laporan banyak diantara masyarakat di berbagai daerah yang belum terdafatar sebagai pemilih. Sementara itu, akurasi dan validitas daftar pemilih yang disusun KPU masih diragukan banyak pihak. Hal ini harus menjadi perhatian penuh KPU untuk memperbaikinya.

KPU diharapkan mengefektifkan sosialisasi DPS-DPT melalui berbagaimacam cara dan melibatkan seluruh stakeholder masyarakat termasuk partai politik. Pasal 36 Ayat (4) UU No 10 Tahun 2008 jelas memerintahkan PPS agar salinan DPS diserahkan kepada wakil peserta pemilu. Demikian juga dalam penyusunan DPT, wakil peserta pemilu juga berhak mendapatkan salinan DPT (vide: Pasal 38 Ayat (4)). Hal ini bermakna agar peserta pemilu ikut berpartisipasi dalam mensosialisasikan DPS-DPT kepada masyarakat. Tentu semua berharap agar di Pemilu mendatang tidak ada calon pemilih yang kehilangan hak pilihnya akibat tidak terdaftar dalam daftar pemilih.

Dalam perspektif yang sama, penyelenggara pemilu diharapkan memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengevaluasi daftar calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, UU No 10 Tahun 2008 Pasal 71 Ayat (3) mewajibkan KPU mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) di sekurang-kurangnya satu media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan daerah.

Pengumuman ini penting bukan hanya sebagai sarana publik mengevaluasi daftar calon bermasalah, lebih dari itu penting sebagai sarana public, khususnya pemilih, untuk mengenal calon wakil mereka di lembaga legislatif. Pengenalan ini penting dalam kerangka political constituency karena kepada para calon pemilih akan memberikan mandatnya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan mereka. UU No 10 Tahun 2008 jelas memberikan ruang bagi publik untuk mengenal, mengkaji, dan mengevaluasi calon sebelum memutuskan pilihan di bilik suara pada 9 April 2009 mendatang. Relasional pemilih dan yang dipilih sudah dimulai sejak pengumuman daftar calon. Selanjutnya diharapkan pemilih sudah mulai melakukan tracking rekam jejak calon, pada saat yang bersamaan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD harus lebih aktif mengenalkan dirinya kepada masyarakat.

Hal krusial lainnya yang mendapatkan atensi publik adalah soal cara pemberian suara dan format surat suara. Terkait pemberian suara, UU No 10 Tahun 2008 Pasal 153 menentukan pemberian suara dengan menandai satu kali. Adapun cara menandai diserahkan kepada KPU dengan memperhatikan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu. Pada awalnya KPU mengusulkan satu cara pemberian suara yaitu mencontreng. Namun cara baru ini dikhawatirkan belum tersosialisasi dengan baik sehingga dikhawatirkan akan banyak kendala dan kesalahan di lapangan yang menyebabkan banyak suara tidak sah. Penulis pribadi meminta KPU mempertimbangkan model mencoblos untuk digunakan kembali mengingat cara baru membutuhkan edukasi yang tidak sebentar, padahal waktu Pemilu semakin dekat. Namun demikian, Penulis menyambut baik keputusan KPU yang pada akhirnya mengabsahkan cara pemberian suara selain mencontreng, yaitu dengan menyilang, melingkari, atau mencoblos. Lebih dari itu, KPU harus tetap memperhatikan dan mencarikan solusi bagi kelompok difabel seperti tunanetera dan tunaaksara yang tetap berharap model mencoblos karena lebih memudahkan bagi mereka.

Terkait format surat suara, prinsip yang harus dikedepankan KPU, selain aspek sekuritas, adalah kemudahan bagi pemilih ketika membuka surat suara di bilik suara, mengingat lonjakan kontestan Pemilu 2009 dari pemilu sebelumnya yaitu sebanyak 38 Parpol (plus 6 Parpol Lokal untuk Aceh). KPU harus melakukan simulasi yang cermat dan menjamin semua lambang Parpol dan daftar calon terbaca dengan jelas.

Faktor kesipan logistik pemilu berikut proses tendernya juga harus menjadi perhatian penyelenggara, mengingat poin inilah yang mencuatkan kasus hukum KPU periode 2004. KPU harus menjamin kuantitas dan kualitas logistik berikut ketepatan waktu pengadaannya melalui proses tender yang profesional dan memilih rakanan yang kompeten dan kredibel. Desakan publik agar KPU tidak menyertakan calon rekanan yang bermasalah pada Pemilu 2004 harus diakomodir oleh KPU. Berbeda dari Pemilu 2004, pada Pemilu mendatang anggota KPU tidak lagi menangani pengadaan perlengkapan pemungutan suara. Pengadaan perlengkapan pemungutan suara berikut proses tendernya merupakan tugas Sekretariat Jenderal (vide: UU No 22 Tahun 2007 Pasal 67 Ayat (2) dan UU No 10 Tahun 2008 Pasal 142 Ayat (4)). Sementara KPU hanya berwenang menetapkan bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan suara (vide: UU No 10 Tahun 2008 Pasal 142 Ayat (3)).

Penutup
Kesadaran pemilih (secara otonom) untuk menggunakan hak pilihnya menjadi parameter kesuksesan Pemilu 2009. Sayangnya berdasarkan sejumlah analisa, survei, dan laporan media, potensi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (voting turnout), dengan berbagai alasannya, cukup tinggi. Oleh karena itu seluruh elemen (penyelenggara, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, ormas) dan khususnya partai politik peserta pemilu harus giat mensosialisasikan Pemilu mendatang. Bagi calon anggota legislatif dan parpol, musim kampanye harus secara otimal dimanfaatkan sebagai sarana mensosialisasikan visi, misi, program kerja dan komitmenya dalam memperbaiki bangsa, sambil mengeleminir pengedepanan faktor primordial dalam mendapatkan dukungan. Dengan demikian, kita berharap pendidikan politik rakyat semakin maju, masyarakat pemilih menjadi semakin objektif dan rasional, dan proses transisi demokrasi akan semakin cepat kita tuntaskan.

Baca Selengkapnya......

Otonomi Sepenuh Hati

Perjalanan otonomi daerah (otda) di Indonesia memiliki simpul-simpul kritikal sebagai berikut. Pertama, otonomi daerah telah menjadi kesadaran sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak awal kemerdekaan. Hampir semua UUD dan pemerintahan yang berlaku di negeri ini selalu mencantumkan otonomi sebagai bagian dari asas penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini tak lepas dari kesadaran para pemimpin bangsa bahwa untuk mengatur negara yang demikian luas, yang terbagi dalam berbilang daerah, dengan karagaman potensi di masing-masing daerah, konsep otonomi merupakan konsep yang representatif bagi Indonesia. Kedua, meski telah menjadi kesadaran sejarah dan bernegara, implementasi otda selalu berfluktuasi dan terjadi tarik menarik antara dua kutub desentralisasi dan sentralisasi (dekonsentrasi). Hal ini mengikuti corak kepemimpinan pada masanya serta konteks politik yang mengikutinya.

Ketiga, reformasi politik pada tahun 1997 telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam paradigma, konsep, dan implementasi otonomi daerah. Kran demokrasi terbuka mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat lokal (daerah). Masyarakat berani angkat bicara, memperjuangkan hak-haknya, termasuk hak daerah untuk mendapatkan otonominya, yang selama ini dikooptasi oleh rezim sentralitis dan otoriter (authoritarian regime) orde baru. Era reformasi kemudian dimaknai sebagai capaian terbesar dalam pelaksanaan otonomi daerah sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Inilah era decentralization boom. Diantara capaian yang dimaksud adalah: adanya delegasi kewenangan dan keuangan secara ekstensif dari pusat ke daerah, pengelolaan sumber daya alam dan potensi daerah serta format bagi hasil (perimbangan) pusat-daerah yang lebih berkeadilan, tersalurnya inisitif dan kreativitas (masyarakat) daerah dalam pembangunan, bergairahnya kehidupan dan demokrasi di daerah, hadirnya era pemilihan kepala daerah langsung (pilkadasung), dll.

Keempat, penguatan otonomi di level konsep (hukum perundangan) tidak didukung oleh kesiapan pemerintahan (baik pusat maupun daerah) dan masyarakat. Sehingga capaian otonomi dalam praktek lebih tepat dimaknai sebagai euphoria. Gejala ini sebenarnya adalah hal yang wajar mengingat bangsa Indonesia sedang menjalani proses transisi dari kepolitikan yang otoriter dan sentralistis menuju kepolitikan yang demokratis dan desentralistis. Namun demikian, gejala ini tetap harus diwaspadai.

Ketidaksiapan pemerintahan dan masyarakat ditandai dengan sejumlah fakta, antara lain: Pertama, kegamangan dalam memaknai hakikat otonomi yang dalam praktek menyebabkan meluasnya konflik kewenangan antara pusat dan daerah dan antarpemerintah di daerah. Kedua, kegamangan dalam menempatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan dalam konteks otonomi, sehingga sering terjadi hubungan yang bersifat disharmoni dan cenderung konfliktual.

Ketiga, kecenderungan diabaikannya sistem negara kesatuan yang menuntut kesalinghubungan dan koordinasi antar tingkat pemerintahan. Pemerintahan daerah adalah subsistem dari pemerintahan nasional sehingga mutlak adanya koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi. Pernah terjadi dalam paruh pertama pelaksanaan otonomi pasca reformasi, otonomi seolah-olah dimaknai sebagai ‘keterpisahan’ (mengarah pada quasi sovereignty). Di sisi lain, ada keengganan pemerintah pusat untuk memberikan otonomi sepenuh hati kepada daerah. Sehingga ada nuansa-nuansa resentralisasi dalam paruh kedua pelaksanaan otonomi pasca reformasi. Keempat, terjadinya penyimpangan pelaksanaan otonomi (desentralisasi) sebagai desentralisasi korupsi. Gejala ini merupakan dampak langsung dari kooptasi otonomi oleh elit-elit politik – baik di pusat maupun daerah. Otonomi yang seharusnya dimaknai sebagai proses otonomisasi masyarakat, sehingga berkesejahteraan, dibajak oleh segelintir elit untuk memuaskan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Apa dampaknya? Bukan kesejahteraan masyarakat yang dihasilkan, tetapi meluaskan kegagalan dalam pengelolaan otonomi di banyak daerah.

Perwajahan negatif (negative side) dari otonomi tersebut tentu saja tidak boleh menjadikan kita surut dalam memperjuangkan otonomi. Capaian otonomi yang demikian ekstensif harus menjadi point of no return (satu titik tanpa balik), melainkan satu capaian yang harus terus dikembangkan dengan pengelolaan dan penataan yang lebih baik.

Buku ini menyajikan rentetan peristiwa dalam bingkai analisa tentang perjalanan otonomi daerah dan perwujudan otonomi yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Berjudul “Otonomi Sepenuh Hati,” buku ini berusaha merekonstruksi makna, konsep, dan implementasi otonomi dengan mengajukan sebuah argumen bahwa otonomi harus dimaknai sebagai proses otonomisasi masyarakat menuju kesejahteraan. Dengan dasar ini, para stakeholder harus menjalankan otonomi dengan sepenuh hati tanpa ada upaya untuk membajak otonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Pemerintah pusat dituntut untuk memberikan apa yang benar-benar menjadi hak dan kompetensi daerah. Sebaliknya, pemerintah daerah menerima dan mengoptimalkan dengan penuh komitmen apa-apa yang menjadi hak dan kompetensinya tersebut. Bukan hanya harmonisasi dalam level pemerintahan, otonomi daerah harus memberikan ruang partisipasi dan kontribusi bagi masyarakat, sehingga otonomi benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat.

Otonomi yang kita inginkan bukan otonomi tanpa batas, saling lepas, dan dimaknai sebagai keterpisahan antar satuan pemerintahan, karena kita berkomitmen pada negara kesatuan. Otonomi yang kita maksud juga bukan dalam langgam sentralistis seperti yang pernah kita alami sekian lama dalam cengekeraman orde baru. Otonomi yang kita inginkan adalah otonomi yang hakiki, otonomi dalam arti luas, nyata, dan bertanggung jawab yang sebenarnya, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk tujuan tersebut buku ini menyajikan refleksi atas perjalanan otonomi daerah di Indonesia dengan penekanan pada analisa evaluatif atas pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi berdasarkan dua paket undang-undang. Pertama, otonomi daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999. Kedua, otonomi daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004. Kedua paket undang-undang tersebut menandai era decentralization boom di Indonesia. Yang pertama lahir tepat setelah reformasi dengan segala konteks yang melatarinya. Yang kedua, merupakan revisi atas paket undang-undang otonomi yang pertama, lahir pada masa ‘konsolidasi demokrasi’ yang diawali dan ditandai dengan amandemen UUD 1945. Masing-masing paket undang-undang tersebut memiliki corak yang menonjol dengan nilai plus dan minusnya. Penulis berusaha menyajikan corak tersebut dalam buku ini.

Buku ini secara khusus berusaha mengevaluasi konsep dan implematasi otonomi berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004, sebagai paket undang-undang paling mutakhir yang mengatur otonomi daerah. Secara ringkas, evaluasi atas paket UU tersebut mencakup tujuh aspek penting, yaitu: aspek konsep negara kesatuan yang membingkai otonomi, aspek pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, aspek pengaturan mengenai pilkada, aspek perimbangan keuangan antara pusat dan darah, aspek pengaturan mengenai pemerintahan desa, dan aspek pengawasan dan pembinaan otonomi daerah. Hasil dari evaluasi tersebut diharapkan dapat memberikan perspektif perbaikan bagi pelaksanaan otonomi di masa yang akan datang.

Berkenaan dengan terbitnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004, maka dalam buku cetakan kedua ini penulis melakukan revisi yang bersifat parsial. Maksudnya, naskah asli (sebelum revisi) dalam cetakan pertama tetap ditampilkan dengan diberikan catatan di akhir pembahasan. Hal ini termaktub dalam pembahasan pada Bagian F (tentang Pemilihan Kepala Daerah Langsung) dalam Bab III dan pada analisa mengenai bab Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Bagian IV) dalam Bab IV. Selanjutnya, analisa dan pembahasan khusus UU No. 12 Tahun 2008 tersebut penulis lakukan di bab baru di buku ini (Bab V).

Dengan alur argumentasi di atas, buku ini terbagi menjadi enam bab sebagai berikut:

Bab I Kerangka Normatif Implementasi Otonomi Daerah: Menuju Otonomisasi Masyarakat
Bab II Konsep dan Implementasi Otonomi Daerah Era Transisi: Momentum Desentralisasi?
Bab III Bangunan Konsep UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004: Catatan Perubahan Atas UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999
Bab IV Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004
Bab V Analisa Terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Bab VI Meneguhkan Proses Otonomisasi Masyarakat

Penulis bersyukur kepada Allah SWT atas segala kemurahan-Nya sehingga buku ini dapat selesai dengan baik. Dengan segala kerendahan hati, buku ini penulis sajikan kepada pembaca yang budiman. Tentu saja masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, kritik dan masukan dalam bentuk analisa dan kajian yang lebih konstruktif dan komprehensif akan sangat bermanfaat bagi perbaikan pelaksanaan otonomi daerah di masa datang.

(Naskah ini diambil dari Pengantar Penulis Buku "Otonomi Sepenuh Hati: Catatan Perbaikan Implementasi Otonomi" karya H. Jazuli Juwaini, MA)

Baca Selengkapnya......

DPR DAN POLITIK PERUBAHAN

Berpolitik adalah sarana menuju keteraturan
dan sebuah cara menuju peradaban
-Ibnu Khaldun-

Apa yang ada di benak masyarakat ketika disebut satu kata DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat? Jawabnya beragam. Ada yang mengatakan, DPR adalah lembaga legislasi karena produk undang-undang lahir dari lembaga ini. Ada yang menyebut secara normatif, DPR adalah lembaga perwakilan rakyat, dimana anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Mereka mewakili lebih dari 230 juta lebih penduduk Indonesia. Namun, sebagian besar menyebut DPR adalah lembaga politik, karena anggotanya berasal dari unsur partai politik.

Anggota DPR sering disebut sebagai politisi ketimbang sebutan lainnya. Sayangnya istilah politisi - dan juga politik - cenderung berkonotasi negatif. Padahal politik adalah hal lumrah dalam kehidupan, bahkan kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Setiap orang pada dasarnya adalah insan politik (rajulun siyasi). Politik dan politisi menjadi negatif karena yang muncul di permukaan lebih banyak praktek (langgam) politik yang pragmatis dan oportunis, bukan politik untuk perubahan ke arah kebaikan. Padahal Ibnu Khaldun (salah satu ilmuwan besar politik Islam) mengatakan: berpolitik adalah sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.

Politik oleh sebagian orang disebut sebagai the power of possibility, kekuatan kemungkinan. Apapun ’mungkin’ dalam politik. Sayangngya ’kekuatan kemungkinan’ itu sering disalahartikan berupa aksentuasi berkonotasi negatif, antara lain: ”Dalam politik tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Atau adagium terkenal Lord Acton: ”Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Atau politik ala machiavelis yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan (kekuasaan). Lebih parah lagi, kalangan politisi lebih sering menampilkan perilaku negatif (negative behavior) ketimbang politik yang santun, bermoral, dan bermartabat.

Politik dan politisi sesungguhnya bermakna netral. Man behind the politic yang menjadikan politik itu baik atau buruk. Jika politisi berlaku profesional dan amanah, maka ia akan senantiasa menghadirkan perubahan ke arah perbaikan. Sebaliknya, jika politisi berlaku khianat dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, maka politik hanya akan menjadi bencana bagi masyarakat dan peradaban.

Ketika tahun 1998 kita menyuarakan reformasi dengan mengganti rezim dan menggulingkan otoritarianisme orde baru, seharusnya tahap berikutnya yang mesti dilakukan adalah menghadirkan rezim baru yang diisi oleh orang-orang yang sadar akan politik perubahan. Mereka menjelma menjadi politisi baik sebagai antitesa politisi busuk yang menghancurkan negara ini di masa lalu. Semakin banyak politisi baik yang terlibat dalam politik perubahan, semakin cepat cita-cita bangsa kita ke arah yang lebih baik tercapai – menjadi negara yang demokratis, adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam konteks ini, kehadiran insan politik (politisi) di Senayan sebagai anggota DPR harus dimaknai sebagai upaya terlibat dalam politik perubahan. Menjadi anggota dewan hanyalah bermakna primus interpares – orang pertama diantara masyarakatnya. Sama sekali bukan menjadi yang paling utama, paling mulia, paling hebat, dibandingkan masyarakat kebanyakan. Dia akan menjadi utama dan mulia apabila dapat menampilkan politik kebaikan dan mampu menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik (reformasi).

Politik adalah sarana menuju masyarakat utama, kata Plato dan Aristoteles. Untuk itu insan politik harus menjadi insan utama. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip dan etik para politisi. Kehadiran anggota dewan di DPR hanyalah sarana untuk meraih masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum. Politik legislasi, politik anggaran, dan politik pengawasan dewan harus diarahkan pada pemenuhan tujuan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum tersebut, yang notabene menjadi tujuan kita dalam bernegara.

Menjadi anggota dewan bukanlah tujuan, karena pragmatisme dan oportunisme muncul dari sana. Menjadi anggota dewan harus dijadikan kesempatan/peluang untuk menghadirkan perubahan, bukan peluang memanfaatkan kekuasaan dan jabatan. Dengan demikian kekuasaan dan jabatan bisa dipertanggungjawabkan (dengan amanah).

Islam mengajarkan kita agar politisi senantiasa menampilkan langgam politik shahihah (moralis). Sebaliknya melarang langgam politik fasidah (merusak). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menghadirkan perubahan serta menegakkan kebenaran dan kebaikan.

Sebaliknya, politik fasidah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran syari’ah. Politik jenis ini dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan (politik Machiavellis); dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menanggalkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keteraturan. Ia juga menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya.

Semua pihak harus mengakhiri segala upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanyalah cara untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan demi kemakmuran masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Kemakmuran dan martabat tidak mungkin dan tidak pernah bisa dibangun di atas penistaan moral dan etika. Oleh karena itu, mari kita berhenti bereksperimentasi politik yang hanya mengedepankan ambisi kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika.

Setiap orang, termasuk para pejabat negara, politisi, kader dan aktivis partai, adalah khalifah di muka bumi dalam perannya masing-masing. Sebagai khalifah mereka mengemban amanah dakwah. Yah, mereka ada juru dakwah yang (harus) menyeru pada kebaikan dan mencegah kemunkaran.

Dalam hal ini kita akan menemukan hubungan fungsional atau bahkan hubungan organik antara politik dan dakwah. Dakwah merupakan upaya rekonstruksi masyarakat ke arah kebaikan (al-haq). Semua bidang kehidupan merupakan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia merupakan alat dakwah. Kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, gerakan-gerakan sosial budaya, aktivitas keilmuan dan teknologi, pendidikan, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, adalah dakwah itu sendiri. Sehingga kehadiran politisi di DPR sesungguhnya adalah untuk tujuan dakwah: menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Wallahu a’lam.

(Naskah ini diambil dari Prolog Buku "Memimpin Perubahan" karya H. Jazuli Juwaini, MA)

Baca Selengkapnya......

Visi Politik Keummatan H. Jazuli Juwaini, MA

Menghadirkan Moralitas dalam Politik

Moral dan politik dewasa ini ibarat air dengan minyak. Keduanya sulit untuk dipertemukan dalam wadah yang sama. Moral dianggap sebagai aksen yang mewakili keserba-baikan, keserba-sucian dan keserba-murnian. Moral identik dengan agama dan ketuhanan. Ia mewakili dimensi spiritual-transendental yang dalam banyak hal dimonopoli oleh para nabi, sufi, kyai, dan alim ulama. Sementara, politik mewakili hal-hal yang kotor, licik, intrik, manipulasi dan sejenisnya. Ia adalah realitas mondial kemanusiaan yang menganut hukum homo homini lupus dalam rimba belantara persaingan kepentingan sesaat. Makanya, membicarakan moral dalam lanskap praktik politik menjadi naïf kalau bukan uthopia. “Anda tidak akan pernah bersih ketika terjun ke wilayah politik. Hanya ada dua kemungkinan, anda akan tercemar atau anda akan terdampar”, demikian kira-kira ungkapan untuk menggambarkan dunia hitam perpolitikan dewasa ini.

Seorang kyai atau ulama ketika memutuskan untuk terjun ke gelanggang politik akan kehilangan kharismanya sebagai kyai dan ulama di mata masyarakat. Ia, mau tidak mau-suka tidak suka, akan lebih dikenal sebagai politisi (baru) yang kurang lebih tidak ada bedanya dengan politisi-politisi lainnya. Sehingga tidak heran bila orang-orang alim-para ulama (termasuk ilmuwan dan/atau cendekiawan) selalu berusaha mengambil jarak diametral dari politik dan kekuasaan. Politik terlanjur menjadi dunia lain yang berpotensi besar mendegradasi moral dan integritas seseorang. Ia bahkan telah menjadi wilayah yang paling kecil diharapkan mampu menjadi teladan bagi upaya perbaikan (moral) masyarakat.

Apa yang salah dari pemahaman retak antara moral dan politik di atas? Tidak mungkinkah politik yang bermoral mengejawantah dalam praktik sehari-hari?. Mungkinkah politik menjadi sarana perbaikan yang paling bisa diharapkan kedepan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, agaknya kita harus kembali pada cara pandang (paradigma) kita terhadap politik dan perpolitikan sampai dengan saat ini dan mendekonstruksi makna politik menjadi lebih bernilai, bermakna, dan bermartabat.

Dalam dunia politik, untuk sekian puluh tahun, kita mengenal adagium “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Kita juga mengenal untuk sekian lama istilah “penghalalan segala cara dalam politik”. Istilah yang telah menjelma menjadi hukum dan kode etik politik ini lahir dari rahim pemikir politik yang paling berpengaruh sepanjang zaman—terutama bagi para diktator—Nicollo Machiavelli. Bukunya Ill Principe menjadi kitab suci para praktisi politik dan penguasa lalim saat ini. Kita juga hafal di luar kepala adagium yang mengatakan bahwa “Dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Kenyataan bahwa alam pikiran dan pengetahuan kita dijejali oleh sisi kelam dan keji dari politik masih ditambah oleh praktik politik dunia yang sering – untuk tidak mengatakan – selalu diwarnai oleh negative behavior dari para politisi dan penguasa. Dalam politik praktis kita tahu ada politik uang (money politic), manipulasi suara, pembunuhan karakter (character assassination), kongkalikong atau persekongkolan yang dibungkus dengan koalisi atas nama kepentingan bangsa dan negara, dan lain-lain.

Sementara, pada sisi lain, kenyataannya kita tidak pernah mengenal dan/atau diajarkan secara serius dimensi moral dari politik, bagaimana wajah politik yang santun, dan bahwa ada positive behavior dari sejumlah kecil politisi dan penguasa dalam praktik politik di masa lampau maupun saat ini. Secara agak sempurna kita telah terperangkap pada stigmatisasi terhadap suatu konsep, pemahaman, dan implementasi yang seharusnya netral menjadi bias negatif yang sangat mencolok dan berlebihan. Artinya, politik, pada dasarnya, memiliki potensi yang sama untuk menampakkan dua wajahnya: satu wajah jahatnya dan satu wajahnya yang moralis. Dan itu semua bermula dari kesalahan kita dalam memandang dan memaknai politik. Sehingga untuk mengubah kesalahan pemahaman tersebut kita harus mentransformasi dimensi paradigmatik kita tentang politik dan kekuasaan.

Kalau kita telusuri, jagad politik bukanlah sesuatu yang asing buat kita. Jauh-jauh hari Plato dan Aristoteles telah menyebut manusia sebagai “zoon politicon” atau makhluk politik. Dua karya magnum opus, Republic-nya Plato dan Politics-nya Aristoteles, menjelaskan bahwa sejatinya politik itu agung dan mulia yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum.

Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker 1961). Ibnu Khaldun, ilumuwan politik Islam, belakangan menegaskan bahwa kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Berpolitik dilukiskan sebagai sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.

Dengan demikian, politik pada dasarnya merupakan laku lahiriyah manusia yang menjadi sunnatullah eksistensinya di dunia. Secara fundamental, dalam khasanah doktrin Islam, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya yang mengemban tugas isti’maru al-ardh, memakmurkan bumi dengan syariat-Nya. Kalau khalifah kita artikan sebagai kekuasaan, maka untuk mencapai kekuasaan itu politik tidak mungkin dinihilkan. Artinya manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpolitik, karena Allah tidak mengirim atau membebankan amanah sebagai khalifah-Nya kepada selain manusia. Orang yang tidak dapat hidup berkelompok dan dengan modal kebebasannya tidak memiliki kebutuhan politik sama dengan binatang. Maka sifat politik adalah kekhususan manusia. Setiap manusia adalah rajulun siyasi (politisi). Manusia yang tidak mengerti politik adalah bukan lagi manusia dalam arti yang sesungguhnya.

Kenyataannya, mengacu pada doktrin Islam, yang terjadi dalam praksis politik memang ada politik yang benar dan sesuai syari’ah (shahihah) serta politik yang salah dan merusak (fasidah). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan.

Dalam alam demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi yang memberikan mandat kepada para pemimpin sebagian kedaulatannya. Mandat tersebut dengan demikian harus dipertanggungjawabkan secara etik dan moral kepada rakyat. Bahkan dalam Islam, esensi pertanggung jawaban sebuah amanah melampaui tuntutan demokrasi, yaitu bahwa Allah pemegang kedaulatan tertinggi dan pertanggungjawaban terpenting dan tertinggi ada di hadapan-Nya kelak (di lauhul mahfudz). Politik shahihah harus difahami dalam kerangka ini.

Secara diemetral, politik fasidah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran syari’ah. Politik jenis ini dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan (politik Machiavellis); dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menanggalkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keteraturan. Ia juga menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Keunggulan sekaligus kelemahan demokrasi, dalam hal ini, adalah bahwa ia menyediakan ruang yang sama bagi berlakunya dua langgam politik di atas. Prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan, termasuk kebebasan dalam berpolitik. Praktik politik fasidah selama mendapatkan legitimasi, yang tentunya telah dimanipulasi oleh politisi, masih memperoleh ruang dalam alam demokrasi. Apalagi jika legitimasi yang telah dimanipulasi demikian menggurita—sangat kuat dan mengakar luas—dalam masyarakat. Yang terjadi sesungguhnya adalah pemutarbalikan logika dan akal jernih politik; yang jelek kelihatan baik atau yang fasidah kelihatan shahihah. Inilah kekalahan sempurna moralitas politik vis-à-vis dekadensi moral politik.

Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya.

Semua pihak harus mengakhiri segala upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanyalah cara untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan demi kemakmuran masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Kemakmuran dan martabat tidak mungkin dan tidak pernah bisa dibangun di atas penistaan moral dan etika. Oleh karena itu, mari kita berhenti bereksperimentasi politik yang hanya mengedepankan ambisi kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika.

Setiap orang, termasuk para pejabat negara, politisi, kader dan aktivis partai, adalah khalifah di muka bumi dalam perannya masing-masing. Sebagai khalifah mereka mengemban amanah dakwah. Yah, mereka ada juru dakwah yang (harus) menyeru pada kebaikan dan mencegah kemunkaran.

Dalam hal ini kita akan menemukan hubungan fungsional atau bahkan hubungan organik antara politik dan dakwah. Dakwah merupakan upaya rekonstruksi masyarakat ke arah kebaikan (al-haq). Semua bidang kehidupan merupakan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia merupakan alat dakwah. Kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, gerakan-gerakan sosial budaya, aktivitas keilmuan dan teknologi, pendidikan, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, adalah dakwah.
Inilah esensi politik shahihah. Inilah titik temu antara politik dan moral. Inilah aktivitas politik yang mendatangkan kesejahteraan dan martabat. Yakni, ketika politik menjadi sarana dakwah kepada kebenaran dan kebaikan.

Baca Selengkapnya......